This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Friday, February 29, 2008

Linguistik: Morfologi

Produktivitas

Makyun Subuki

27 Februari 2006

1. Pengertian dan Konsep Dasar

Aronoff dan Anshen (1998), dalam Spencer dan Zwicky (1998: 242-243), mendefinisikan produktifitas sebagai kesinambungan kemungkinan yang dapat memperkirakan penggunaan kata potensial (potential words). Haspelmath (2002: 39) dan Bauer (1988: 57) menghubungkan konsep produktif dengan pola morfologis (morphological patterns) yang dapat dipakai dalam pembentukan kata baru. Fromkin (2003: 88), yang berpendapat bahwa kaidah morfologi disebut produktif, jika kaidah-kaidah tersebut dapat digunakan secara bebas untuk membentuk kata-kata baru dari sederetan morfem bebas maupun morfem terikat. Fromkin (2003: 88) dan Katamba (1993: 66-67), yang berpendapat bahwa kaidah morfologi disebut produktif, jika kaidah tersebut dapat digunakan secara bebas untuk membentuk kata baru dari sederetan morfem bebas maupun morfem terikat. Semakin aplikatif suatu proses, maka semakin ia produktif, misalnya, dalam bahasa Inggris sufiks –able merupakan morfem yang dapat diimbuhkan pada verba apapun untuk membentuk ajektiva, dengan arti kurang lebih ‘able to be’ seperti pada accept+able, blam(e)+able, adapt+able, dan lain-lainnya. Produktifitas kaidah ini terbukti, dengan digunakannya afiksasi –able pada verba yang relatif baru seperti downloadable and faxable.

Konsep produktifitas di atas kemudian dihubungkan dengan berbagai konsep yang berbeda-beda oleh para linguis. Katamba (1993: 66) menghubungkan produktifitas dengan generalitas (generality). Berdasarkan hal ini, Katamba (1993: 67) dan Bauer (1988: 57) melihat produktifitas dalam dua tataran: pertama, menyangkut gradasi atau tingkatan, bukan dikotomi yang memisahkan antara yang produktif dan yang tidak produktif. Hal ini berkaitan dengan sebuah proses morfologis tertentu yang relatif lebih umum dibanding proses morfologis lainnya. Karena menurutnya, mungkin tidak ada satu proses pun yang dapat diaplikasikan ke semua bentuk dasar. Contoh, sufiks -ist pada bahasa Inggris yang dapat membentuk begitu banyak nomina yang salah satunya berarti ‘pemain,’ misalnya pada pianist dan guitarist, tidak dapat dipakai untuk menyebut pemain drum; sehingga yang terbentuk adalah drummer, dengan sufiks –er, bukan drummist; dan kedua, produktifitas tergantung pada dimensi waktu (synchronic notion). Suatu proses yang sangat lazim dalam kurun waktu tertentu bisa menjadi tidak lazim pada kurun waktu berikutnya. Misalnya, bentuk loadsa (kolokasi dari loads of) digunakan untuk bahasa informal di Inggris pada akhir tahun 1980-an, contohnya, loadsamoney. Pada tahun 1988, bentuk itu digunakan sebagai prefiks dalam pembentukan kata baru seperti loadsasermons, loadsaglasnost yang dimuat di harian yang terbit di London (Spiegel 1989: 230-1). Walaupun prefiks ini tetap eksis, dan ada upaya untuk mengembangkannya ke kata lain, namun menjelang tahun 1989 prefiks tersebut hanya dipakai pada segelintir kata dasar saja.

Berbeda dengan Katamba dan Bauer, Matthews (1991: 69) melihat produktifitas dari bentuk yang berubah-ubah. Atas dasar ini, ia melihat produktifitas dalam tiga tataran: pertama, secara keseluruhan, sebuah proses pembentukan (formation) bisa jadi merupakan proses yang paling produktif dibandingkan proses lainnya; kedua, dalam keadaan tertentu, sebuah proses lebih produktif dari proses lainnya; dan ketiga, dalam berbagai bentuk yang memiliki makna sama, yang lebih produktif bersaing dengan yang kurang produktif. Kemudian Matthews (1991: 69-70) memilah bentuk tersebut ke dalam bentuk yang produktif untuk menyebut bentuk yang masih sangat produktif, misalnya sufiks –able pada computable; tidak produktif untuk menyebut bentu yang sudah tidak digunakan lagi, misalnya bentuk –th pada growth. Aronoff dan Anshen (1998), dalam Spencer dan Zwicky (1998: 243) menyebut afiks jenis ini sebagai dead affixes atau completely unproductive affixes; dan semi produktif untuk jenis afiks idiosinkratik yang hanya dapat dilekatkan pada bentuk tertentu, misalnya sufiks –ant, yang diturunkan dari bahasa Latin sebagai bentuk akhiran present participleantem/-entem --sehingga hanya dilekatkan pada kata dasar yang berasal dari bahasa Latin--, tidak konsisten ditinjau dari segi pemilihan kata dasar dan makna kata Contoh kata yang dapat diberi sufiks ini adalah: communicant, defendant, dan applicant (Matthews 1991: 70). Berdasarkan pemilahan ini, Matthews (1991: 76) kemudian mengategorikan leksem menjadi established lexemes dan potential lexemes. Established lexemes adalah bentuk yang secara aktual merupakan bagian dari kosakata pembicara, sedangkan potential lexemes adalah setiap kata yang mungkin terbentuk dari proses yang produktif. Demikian juga halnya dengan accountant. Namun, Katamba (1993: 72) secara teoritis tidak mengakui konsep semi-produktifitas, karena sukar untuk menentukan proses pembentukan kata yang dapat diklasifikasikan sebagai semi-produktif.

Berbeda dengan ketiga linguis di atas, Haspelmath (2002: 39) melihat produktifitas melalui pengamatan yang lebih luas pada kompleksitas bentuk morfologis dalam bahasa. Pertama-tama, ia menghubungkan produktifitas dengan actual word (usual word) dan possible word (potential word) (Haspelmath 2002: 39 dan 98). Actual word merupakan kata yang terdapat dalam kamus, sedangkan possible word merupakan kata yang mungkin saja terbentuk berdasarkan pola morfologis (Haspelmath 2002: 39). Ia menghubungkan pemilahan tersebut dengan apa yang disebutnya Morphological competences yang berkaitan dengan kemungkinan proses morfologis yang terdapat dalam sistem kebahasaan dan morphological performances yang berkaitan dengan penggunaan sistem tersebut dalam komunikasi dan tujuan lainnya (Haspelmath 2002: 98). Kedua, ia menghubungkan produktivitas dengan dua peran dalam proses morfologis, yaitu: pertama, creative role yang mengacu pada proses morfologis dalam pembentukan kata baru yang tidak terdapat dalam leksikon; dan kedua, descriptive role yang digunakan untuk menyebut proses morfologis dalam pembentukan kata baru yang terdapat dalam leksikon (Haspelmath 2002: 41).

Konsep yang sering dihubungkan dengan produktivitas adalah kretivitas (creativity) yang juga ditanggapi berbeda-beda. Matthews (1991: 75) mengaitkan kreatifitas dengan kreasi individual kata demi pemakaian individu, sedangkan Haspelmath (2002: 100) menekankan pada pembentukan kata baru yang secara sengaja mengikuti pola yang tidak produktif. Sebagian linguis, sebagaimana diungkapkan Haspelmath (2002: 100), membedakan antara produktivitas dan kreativitas berdasarkan kesengajaan dan kesadaran. Namun atas dasar itu, Haspelmath (2002: 100-101) menolak pembedaan antara kreativitas dan produktivitas. Secara metodologis, ia menolak konsep ketaksadaran dan ketaksengajaan (unconscious dan unintentional) dalam produktifitas, sedangkan secara empirik ia menganggap terlalu banyak cara untuk menghasilkan neologisms yang tidak dapat dikenali lagi namun tidak langsung teramati. Ia lebih senang menggunakan kreatifitas dalam kaitannya dengan penyalahgunaan bahasa biasa dalam puisi (poetic lisence), bahkan Katamba (1993: 72) mengungkapkan bahwa kedua istilah ini kadang dapat disamakan.

Berkenaan dengan hal tersebut, Haspelmath (2002: 102) membedakan kreativitas menjadi creation by rule dan creation by analogy, sedangkan Katamba (1993: 72) membedakannya menjadi rule-governed creativity dan rule-bending creativity. Creation by rule dan rule-governed creativity merupakan kreativitas dalam penciptaan bentuk melalui proses yang sesuai dengan pola morfologis yang ada (Haspelmath 2002: 102 dan Katamba 1993: 73), sedangkan creation by analogy dan rule-bending creativity merupakan kebalikan dari keduanya.

2. Faktor Penghalang Produktifitas

Terdapat beberapa faktor yang menghambat produktifitas (blocking, preemption, dan atau restriction), yaitu faktor fonologis, morfologis, semantis (Katamba 1993: 74), pragmatik, sintaksis, kata pinjaman, dan sinonimi (Haspelmath 2002: 104-109).

2.1 Faktor Fonologis

Bentuk yang kompleks tidak dapat dibentuk jika menimbulkan kesukaran secara fonetis (Haspelmath 2002: 104) Misalnya, sufiks –ly merupakan sufiks derivasi yang dapat diberikan pada adjektiva untuk membentuk adverbia, seperti kind menjadi kindly, fierce menjadi fiercely, dan serious menjadi seriously. Namun sufiks ini tidak dapat diimbuhkan pada kata silly menjadi sillily, friendly menjadi friendlily, miserly menjadi miserlily. Nampaknya sufiks –ly ini cenderung dihindari bila suatu adjektiva berakhiran –ly agar tidak ada pengulangan pengucapan li /-lili/. Sufiks –ly ini banyak digunakan pada ajektiva yang tidak berakhiran –ly. Kesukaran fonetis ini juga menghalangi produktifitas bentuk transfiks tertentu pada akar yang mengandung salah satu dari tiga harf ‘illah (w, y, dan a) dalam bahasa Arab, misalnya bentuk transfiks ya--a- pada waqa’a ‘telah terjadi/jatuh’ menjadi yaqa’u ‘sedang terjadi/jatuh’ yang berbeda dari bentuk yaftahu ‘ia membuka’ dari fataha ‘telah membuka’ (al-Mishry t.th.: 530).

2.2 Faktor Morfologis

Dalam bahasa tertentu, terdapat pola morfologis yang menuntut kebersesuaian dengan bentuk dasarnya. Misalnya, dalam bahasa Ibrani pola nomina yang menunjukkan perbuatan berbentuk (CiC(C)uC) hanya dapat diturunkan dari verba yang berpola (CiC(C)eC), maka kata seperti tixnut ‘pemrograman’ dan dibur ’pembicaraan’ hanya dapat diturunkan dari bentuk verba tixnet ‘memrogram’ dan diber ‘berbicara’ (Haspelmath 2002: 106). Bentuk seperti ini juga terdapat dalam bahasa Arab, bentuk transfiks ya-u- pada verba berkala kini hanya akan menghasilkan transfiks -u--u- verba imperatif, misalnya yaktubu ‘ia (seorang laki-laki) menulis’ hanya akan menghasilkan uktub ‘(kepada seorang laki-laki) tulislah!’ (al-Ghulayayn 1912: 210).

2.3 Faktor Semantis

Proses morfologis kadang tidak menjadi produktif jika dihadapkan pada persoalan semantik. Contoh, penggunaan prefiks –un pada kata unill, unsad, unpessimistic, undirty dirasakan janggal. Hal ini disebabkan karena prefiks negative –un biasanya diimbuhkan pada ajektiva positif yang bentuk aslinya telah mengandung arti dari bentuk yang diberi afiks negatif tersebut. Contohnya:

benar salah

unwell unill

unloved unhated

unhappy unsad

unclean undirty

2.4 Faktor Pragmatik

Faktor pragmatik berkaitan dengan kepentingan suatu bentuk tertentu untuk hadir secara well-formed, baik secara fonologis maupun secara semantik (Haspelmath 2002: 105). Pemberian sufiks –in sebagai pembeda antara bentuk feminin dan maskulin pada binatang kecil, seperti pada wurm ‘cacing jantan’ dari wurmin ‘cacing betina’ dalam bahasa Jerman tidaklah produktif, karena pembedaan seperti ini dalam bahasa Jerman tidak terlalu berguna.

2.5 Faktor Sinonimi

Hubungan sinonimi dapat juga menghalangi produktifitas bentuk tertentu, misalnya sufiks –er pada typer tidak dapat diterima karena ada bentuk typist dalam bahasa Inggris, begitu juga prefiks+transfiks ma—a- sebagai nomina penanda tempat pada masjad ‘tempat sujud’ dalam bahasa Arab tidak produktif karena bersinonim dengan masjid ‘tempat sujud.’

2.6 Faktor Sintaksis

Haspelmath (2002: 106) mengungkapkan bahwa pada bahasa tertentu kondisi sintaksis menuntut kondisi tertentu dari kata. Dalam bahasa Kiribatese, pembentukan verba kausatif dengan menambah prefiks ka- hanya dapat dibentuk dari verba intransitif, misalnya nako ‘pergi’ menjadi kanakoa ‘mengirim/mengusir.’

Daftar Acuan

Al-Ghulayayn, Mushthafa. 1912. Jami’ ad-Durus al-‘Arabiyah (jilid pertama). Beirut: al-Maktabah al’Ashriyah.

Al-Mishry, Muhammad Baha’ ad-Din Abdillah ibn ‘Aqil al-‘Uqayly al-Hamadany. t.th. Syarh ibn ‘Aqil (jilid kedua). Jakarta: Dinamika Berkah Utama.

Aronoff, Mark dan Frank Anshen. 1998. “Morphology and the Lexicon: Lexicalization and Productivity” Dalam Spencer, Andrew dan Arnold M. Zwicky (ed). 1998. The Handbook of Morphology. Malden: Blackwell Publisher Ltd.

Bauer, Laurie. 1988. Introducing Linguistic Morphology. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Haspelmath, Martin. 2002. Understanding Morphology. New York: Oxford University Press Inc.

Katamba, Francis. 1993. Morphology. London: The Macmillan Press Ltd.

Matthews, P.H.. 1991. Morphology (edisi kedua). New York: Cambridge University Press.

Teori Komunikasi

Komunikasi dalam Teori Interaksionisme Simbolis,

Strukturasi, dan Konvergensi

Makyun Subuki

15 November 2006

Dalam tradisi interaksional, komunikasi dan arti bersifat sosial, sehingga penjelasan kognitif merupakan penjelasan yang bersifat sekunder. Dalam pandangan mereka, seluruh konvensi sosial menjadi mapan, bertahan, dan berubah melalui interaksi sosial.

1. Interaksionisme Simbolis

Interaksionalisme simbolis merupakan perkembangan teori sosiologi yang menaruh perhatian pada hal komunikasi dan masyarakat, bahwa makna dan struktur sosial tercipta dan terpelihara dalam interaksi sosial. Barbara Ballis Lal mengungkap enam premis dasar yang melandasi pemikiran interaksionisme simbolis, yaitu (1) orang selalu membuat keputusan dan bertindak berdasarkan pemahaman subjektif terhadap situasi di mana mereka berada; (2) kehidupan sosial terdiri bukan atas struktur, melainkan proses interaksi yang secara konstan berubah; (3) bahasa merupakan bagian dari kehidupan sosial yang memegang peran penting dalam usaha pemahaman manusia atas pengalaman mereka; (4) dunia terdiri atas objek sosial yang dinamai dan diberi arti secara sosial; (5) tindakan manusia selalu didasarkan atas interpretasi; dan (6) seperti halnya objek sosial, objek individual juga didefinisikan melalui interaksi sosial.

Aliran interaksionalisme simbolis terbagi dalam dua aliran, yaitu aliran Chicago dan aliran Iowa yang perbedaan keduanya akan dijelaskan di bawah.

1.1 Aliran Chicago

Aliran ini dirintis oleh Goerge Herbert Mead yang kemudian dilanjutkan oleh Herbert Blumer. Blumer percaya bahwa untuk mempelajari manusia tidak bisa menggunakan cara yang sama dengan cara mempelajari benda-benda. Mempelajari manusia harus dapat berempati terhadap subjek penelitiannya, memasuki struktur pengalamannya, dan berusaha memahami nilai yang dipercaya setiap orang. Oleh karena itu, dalam karya Mead, sebagai pelopor teori ini, disebut tiga konsep pokok yang, menurut Mead, merupakan aspek penting dalam memahami proses tindakan sosial (social act), meliputi masyarakat (society), diri (self), dan pikiran (mind).

Masyarakat terdiri atas laku kerja sama (cooperative behaviour) seluruh anggotanya. Kerja sama sendiri, menurut Mead, berarti pembacaan atas tindakan (action) dan maksud tindakan (intention) orang lain serta cara meresponnya yang dilakukan dengan cara patut. Pembacaan dilakukan dengan interpretasi, yaitu percakapan internal, terhadap tindakan dan maksud tindakan individual yang dilakukan melalui significant symbols atau isyarat yang maknanya disepakati secara sosial. Tindakan sosial, sebagai bentuk kerja sama sosial, terdiri atas tiga bagian yang saling berhubungan, yaitu isyarat permulaan, respons, dan hasil atau makna tindakan bagi para peserta komunikasi. Sebuah tindakan bersama (joint action), misalnya pernikahan, selalu terdiri atas kesalingterkaitan (interlinkage) dari interaksi yang lebih kecil. Dengan demikian, dapat dikatakan masyarakat terdiri atas jaringan tindakan sosial yang maknanya ditentukan oleh tindakan dan respons individual dengan menggunakan simbol.

Konsep pokok lain dalam teori Mead adalah diri (self). Pemahaman konsep diri yang paling pokok dalam teori ini adalah dengan role taking, yaitu berasumsi dengan perspektif orang lain (others) dan melalui generalisasi "yang lain" (generalized other), yaitu sejumlah perspektif yang kita gunakan untuk menilai diri kita sendiri. Dalam hal ini, keberadaan orang-orang terdekat (significant others) sangat penting, karena reaksi mereka memberi kita pengaruh yang penting. Diri memiliki dua sisi, pertama, Aku (I), merupakan sisi diri kita yang impulsif (takterkendali), tidak tertata, tidak terarah, dan tidak dapat diprediksi; dan kedua, aku (me), yaitu yang kita sebut sebagai generalized other, terdiri atas sejumlah pola konsisten dan tertata yang dibagi bersama orang lain (others). Setiap tindakan berasal dari dorongan Aku yang kemudian dikendalikan oleh aku. Dengan kata lain, Aku menentukan daya tindakan, sedangkan aku menentukan tujuan dan sekaligus menjadi pembimbing.

Konsep ketiga yang disebut Mead adalah pikiran. Menurutnya, pikiran bukanlah sesuatu, melainkan sebuah proses: kemampuan untuk menggunakan simbol dalam merespon diri sendiri, sehingga berpikir menjadi mungkin. Dalam hal ini, objek hanya dapat dianggap sebagai objek melalui proses berpikir simbolis. Lebih jauh, Blumer membedakan tiga macam objek, yaitu objek fisik (sesuatu atau things), objek sosial (people atau orang), dan objek abstrak (ideas atau ide-ide). Setiap orang memperlakukan objeknya secara berbeda, sehingga, misalnya, seorang PSK dapat dianggap sebagai things ketimbang people.

1.2 Aliran Iowa

Berbeda dengan Blumer yang menolak pendekatan objektif dalam penelitian manusia, Manford Kuhn, salah satu tokoh aliran Iowa, berpendapat bahwa metode objektif lebih mungkin berhasil daripada metode ‘lembut’ yang digunakan oleh Blumer. Kuhn berusaha mengembangkan setidaknya dua langkah baru, yaitu pertama, membuat konsep tentang diri (self) menjadi lebih konkret; dan kedua, membuat usaha tersebut mungkin. Namun demikian, ia tetap melandaskan pemikirannya pada premis dasar teori Mead. Bagi Kuhn, penamaan objek adalah penting, karena menamakan sesuatu selalu membawa serta maknanya. Oleh karena itu, pertama, ia menekankan pentingnya bahasa dalam berpikir dan berkomunikasi. Seperti juga Blumer dan Mead, Kuhn juga menekankan pentingnya kedudukan objek dalam dunia manusia. Baginya, objek merupakan aspek dari realitas seseorang, baik berupa sesuatu (things), kualitas (quality), peristiwa (event), maupun situasi (state of affairs).

Konsep kedua yang dikemukakan Kuhn adalah tentang perencanaan tindakan (plan of action), yaitu pola tingkah laku seseorang terhadap objek tertentu. Karena perencanaan diarahkan oleh sikap (attitude), yaitu pernyataan verbal yang menunjukkan nilai tujuan tindakan, maka sikap, bagi Kuhn, dapat diukur.

Konsep ketiga yang dikemukakan Kuhn, serupa dengan konsep significant other yang dikemukakan oleh Mead, adalah orientational other. Konsep ini mengacu pada orang tertentu yang memberikan pengaruh terhadap kehidupan seseorang. Orang-orang ini biasanya merupakan (1) orang yang mempunyai komitmen emosional dan psikologis dengan individu tertentu; (2) seseorang yang mempengaruhi kerangka konseptual, kosa kata, dan kategori seorang lainnya; (3) seorang yang berbeda dari orang tersebut; dan (4) orang-orang yang keberadaannya menjaga kelangsungan konsep diri orang tertentu.

Konsep terakhir yang dikemukakan oleh Kuhn adalah diri (self). Bagi Kuhn, konsep diri menyangkut perencanaan tindakan individual terhadap diri, meliputi identitas, kepentingan dan hal yang tidak disukai, tujuan, ideologi, dan evaluasi diri.

Kuhn juga mengajukan konsep pengujian sikap diri melalui dua puluh pernyataan (twenty statements self-attitude test). Hasil dari tes ini dianalisis dengan banyak cara, dua di antaranya adalah dengan ordering variable dan locus variable. Ordering variable menyatakan kepentingan yang relatif menonjol yang dimiliki oleh individu, sedangkan locus variable menyatakan perluasan tendensi yang secara umum dilakukan individu dalam mengidentifikasi kolompok konsensual. Penilaian dari test tersebut adalah dengan meletakkan pernyataan-pernyataan tersebut dalam dua kategori, konsensual dan subkonsensual. Pernyataan dianggap konsensual jika ia mengandung identifikasi kelas atau golongan, sedangkan jika mengandung identifikasi yang mengarah ke kualitas tertentu maka ia merupakan pernyataan subkonsensual.

1.3 Perluasan Interaksionisme: Erving Goffman

Dengan menggunakan analogi permainan drama, Goffman berasumsi bahwa setiap orang selalu berusaha memberi makna bagi peristiwa yang ditemuinya sehari-hari. Hal ini berarti bahwa interpretasi terhadap situasi merupakan definisi situasi. Definisi ini dapat dipecah menjadi dua, pertama, strip atau rangkaian tindakan; dan kedua, frame atau pola penataan dasar yang digunakan dalam mendefinisikan strip. Analisis bingkai (frame) berarti mengkaji bagaimana pengalaman ditata dalam diri seseorang melalui kerangka kerja (framework), yaitu model yang digunakan seseorang dalam memahami pengalamannya. Kerangka kerja dapat berupa kerangka kerja alami (natural framework), yaitu peristiwa alam yang terjadi tidak berdasarkan arahan, dan kerangka kerja sosial (social framework), yaitu peristiwa yang terjadi berdasarkan arahan dan dapat dikendalikan. Lebih jauh, Goffman membedakan kerangka kerja dua macam jenis keranka kerja, yaitu, pertama, kerangka kerja primer (primary framework), yaitu unit penataan dasar, misalnya makan dan berpakaian; dan kedua, kerangka kerja sekunder (secondary framework), penggunaan penataan dasar pada kerangka kerja primer demi tujuan tertentu.

Dalam konteks analisis bingkai ini aktivitas komunikasi dilihat berdasarkan perjumpaan muka (face engagement/encounter) yang terjadi dalam interaksi antarorang yang dilakukan secara terfokus. Dalam hal ini, isyarat memegang peran penting dalam pemaknaan hubungan, sepenting kebutuhan terhadap definisi mutual terhadap situasi. Goffman percaya bahwa diri secara literer terbatasi oleh dramatisasi. Sebab, seperti halnya audiens yang menangkap karakter yang dibawakan aktor melalui peran tertentu dalam pementasan drama, dalam menjumpai orang lain kita selalu menghadirkan karakter tertentu. Adapun dalam mendefinisikan situasi, menurut Goffman, kita biasa melakukannya melalui dua bagian proses, yaitu (1) berusaha mendapatkan informasi tentang orang lain dalam situasi tersebut; dan (2) memberikan informasi tentang diri kita. Pertukaran ini biasanya terjadi secara tidak langsung melalui observasi tingkah laku orang lain dan menstrukturkan tingkah laku pribadi untuk mendatangkan impresi pada diri orang lain.

2. Teori Struktrasi

Gagasan yang terdapat dalam interaksionisme simbolis secara umum berkaitan dengan mikroproses, yaitu interaksi aktual antarorang hingga tingkat kemungkinan yang paling kecil, yang berpengaruh membentuk makrostruktur masyarakat. Namun gagasan tersebut tidak membahas kebalikannya, yaitu pengaruh makrostruktur terhadap mikroproses. Teori strukturasi, yang dikemukakan oleh Anthony Giddens, berusaha menjelaskan secara lebih lengkap hubungan mikro-makro tersebut. Dalam pandangan Giddens tindakan manusia merupakan proses produksi dan reproduksi beragam sistem sosial. Dengan kata lain, dalam komunikasi, para pesertanya bertindak strategis untuk mencapai tujuan mereka yang kemudian menghasilkan struktur yang berbalik mempengaruhi tindakan mereka selanjutnya. Sebab, meskipun kita bertindak dalam rangka melengkapi keinginan kita, pada saat yang sama, tindakan tersebut menghasilkan konsekuensi yang tidak diinginkan (unintended consequences) yang menjadikan sebuah struktur sosial mapan dan mempengaruhi tindakan kita selanjutnya. Oleh karena itu, Donald Ellis menyebutkan bahwa interaksi dan struktur sosial merupakan entitas teranyam (braided entity). Dalam praktek aktual, di mana lebih dari sebuah struktur bertemu, dapat terjadi dua hal, pertama, mediasi, struktur yang satu memperantarai hadirnya struktur lain; dan kedua, kontradiksi, struktur yang satu mengatasi struktur yang lainnya.

Dalam pandangan Giddens, strukturasi mengandung tiga dimensi, yaitu pemahaman (interpretation/understanding), moralitas atau arahan yang tepat, dan kekuasaan dalam bertindak. Interpretasi menyatakan cara memahami sesuatu, moralitas menyatakan cara bagaimana seharusnya sesuatu dilakukan, dan kekuasaan menyatakan cara mencapai suatu keinginan.

3. Proses Simbolis dalam Teori Konvergensi

3.1 Kenneth Burke

Untuk memahami komunikasi dalam pandangan Burke, kita harus mengetahui konsepnya tentang tindakan yang berarti juga mengerti beberapa ide sentral yang dikemukakannya, seperti simbol, bahasa, dan komunikasi.

Tindakan dipahami oleh Burke seperti ia dipahami dalam drama, bahwa tindakan (action) berbeda dengan gerakan (motion). Tindakan terdiri atas tingkah laku yang bertujuan dan bermakna, sedangkan gerakan tidak. Ia memandang manusia sebagai makhluk biologis dan neurologis yang berbeda dari makhluk lain karena tingkah laku penggunaan simbol (symbol-using), yaitu kemampuan bertindak. Bagi Burke, manusia menciptakan simbol (symbol-creating) untuk menamai sesuatu, menggunakan simbol (symbol-using) untuk berkomunikasi, dan mengabaikan simbol (symbol-misusing) yang tidak menguntungkan.

Adapun dalam hal bahasa, Burke memandang setiap kata selalu bersifat emosional dan tidak pernah netral. Maksudnya, setiap sikap, putusan, dan perasaan kita selalu terdapat dalam bahasa yang kita gunakan. Untuk memahami ini, kita perlu menilik konsep Burke tentang rasa bersalah (guilt), yaitu perasaan dan tekanan yang terdapat pada diri seseorang akibat penggunaan simbol, misalnya kegelisahan, benci diri sendiri (self-hatred), dan kebencian. Menurut Burke guilt diakibatkan oleh tiga hal, yaitu (1) negatif, rasa bersalah dalam hal ini dipandang sebagai akibat dari mengikuti peraturan yang bertentangan dengan aturan lain; (2) prinsip perfeksi, dalam hal ini rasa bersalah dihasilkan dari ketidaksesuaian antara yang ideal dengan kenyataan; dan (3) prinsip hirarkis, dalam hal ini rasa bersalah merupakan hasil dari persaingan dan perbedaan yang pada akhirnya membentuk sebuah hirarki. Seluruh tindakan dan komunikasi, menurut Burke, didasari oleh guilt, yaitu untuk mengusir rasa bersalah.

Lebih jauh, dalam menjelaskan komunikasi, Burke menggunakan beberapa istilah yang bersinonim, yaitu konsubstansialitas (consubstantiality), identifikasi (identification), persuasi (persuasion), komunikasi (communication), dan retorika (rethoric). Konsubstansialitas menyatakan makna substansi yang dibagi bersama antarindividu dalam masyarakat, sedangkan identifikasi, lawan dari pembedaan (division), menyatakan peningkatan pemahaman yang bermaksud persuasi dan atau komunikasi yang efektif. Burke selanjutnya membedakan tiga macam identifikasi, yaitu (1) identifikasi material, merupakan hasil dari abstraksi yang meliputi, misalnya, benda, kebutuhan, dan kepemilikan yang terwujud dalam hal, seperti memiliki mobil yang sama; (2) identifikasi idealistik, merupakan hasil dari abstraksi yang meliputi, misalnya, nilai, sikap, perasaan, dan ide yang terwujud dalam hal, seperti menjadi anggota organisasi yang sama; dan (3) identifikasi formal, merupakan hasil dari abstraksi yang berasal dari pemaknaan peristiwa yang menempatkan kelompok-kelompok tertentu dalam pihak tertentu. Lebih singkat, menurut Burke komunikasi lebih sukses jika identifikasi lebih besar dari divisi. Komunikasi yang sukses dapat dilakukan dengan strategi, dalam hal ini berarti retorika, yang memiliki jumlah hampir tak terbatas.

Meskipun tidak menyebut beragam strategi yang mungkin digunakan seseorang dalam sebuah peristiwa retoris, Burke menyediakan kerangka kerja analisis dasar untuk mengkaji tindakan yang disebutnya lima sisi dramatis (dramatistic pentad), meliputi tindakan (act), adegan (scene) atau situasi dan seting kejadian, pelaku (agent), fungsi pelaku (agency), dan tujuan (purpose).

3.2 Teori Konvergensi Simbolis

Teori konvergensi simbolis dikembangkan oleh Ernest Boemann, John Cragan, dan Donald Shield. Teori yang dikenal juga dengan sebutan analisis tema fantasi (fantasy-theme analysis) ini berkaitan dengan kegunaan narasi dalam komunikasi. Tema fantasi merupakan bagian dari drama atau cerita besar yang lebih rumit yang disebut visi retoris (rethorical vision), yang secara esensial berarti pandangan tentang bagaimana sesuatu terjadi atau akan terjadi. Visi retoris membentuk cara kita memahami realitas dalam wilayah yang tidak bisa kita alami langsung, melainkan melalui reproduksi simbolis. Sebuah tema fantasi, bahkan visi retoris yang lebih besar, biasanya terdiri atas karakter (characters), bangunan cerita (plot line), seting atau scene yang terdiri atas lokasi, properti, lingkungan sosiokultural, dan sumber yang melegitimasi cerita (sanctioning agent).

Dalam keseharian, visi retoris menjadi mapan melalui tema fantasi yang dimiliki bersama dan membuat kelompok tersebut lebih peka terhadap cara memandang sesuatu. Dengan kata lain, visi retoris menjaga kesadaran bersama (shared consciousness) komunitas tertentu, sebab ia memiliki struktur dalam yang memperlihatkan dan mempengaruhi cara kita memandang realitas. Meskipun demikian, visi retoris dapat berubah, berkembang, atau bertambah melalui komunikasi publik yang biasanya menawarkan sebuah visi baru melalui tiga macam analogi, yaitu (1) analogi kebenaran, berhubungan dengan bagaimana kita dapat hidup secara bermoral; (2) analogi sosial, berkaitan dengan bagaimana seharusnya kita berhubungan dengan orang lain; dan (3) analogi pragmatis, berkaitan dengan cara kita melakukan sesuatu.

4. Catatan Kritis

Kritik terhadap interaksionalisme simbolis mencakup empat hal. Pertama, karena terlalu sibuk dengan abstraksi yang spekulatif, interaksionalisme simbolis lebih tepat dianggap sebagai filsafat sosial daripada teori sosial. Kedua, karena alasan yang sama, interaksionalisme simbolis dianggap mengabaikan banyak variabel eksplanatoris. Ketiga, banyak konsep dalam interaksionalisme simbolis digunakan dengan batasan yang kurang jelas, misalnya diri, Aku, aku, dan peran. Keempat, teori ini dituduh gagal menghubungkan konsep makna dengan diri

Daftar Acuan

Littlejohn, Stephen W,. 2002. Theories of Human Communication (edisi ketujuh). Belmont: Thomson Learning. Hal. 144-162

Teori Komunikasi

Komunikasi dalam Fenomenologi dan Hermeneutika
Makyun Subuki
26 September 2006

Komunikasi yang akan dikemukakan dalam tulisan ini berkaitan dengan teori-teori tentang pengalaman dan pemahaman. Asumsi inti yang melandasi teori tersebut adalah bahwa manusia secara aktif menginterpretasi pengalaman mereka dengan memberikan makna terhadap apa yang mereka lihat. Interpretasi dikenal juga sebagai verstehen (understanding), istilah dalam bahasa Jerman, yaitu proses pemberian makna aktif terhadap apa yang kita amati.

1. Fenomenologi

Fenomena merupakan penampakan objek, peristiwa, atau kondisi dalam persepsi. Dengan demikian, fenomenologi dapat diartikan sebagai kajian terhadap pengetahuan yang datang melalui kesadaran, yaitu cara kita memahami objek dan peristiwa melalui pengalaman secara sadar. Stanley Deetz mengemukakan secara ringkas tiga dasar asumsi dalam fenomenologi, yaitu (1) pengetahuan adalah kesadaran, maksudnya diperoleh secara sadar; (2) makna sesuatu bagi seseorang selalu terkait dengan hubungan sesuatu itu dengan kehidupan orang tersebut; dan (3) bahasa merupakan kendaraan makna.

Edmund Husserl, yang sering disebut sebagai bapak fenomenologi modern, menganggap bahwa penyingkapan realitas hanya mungkin dilakukan dengan pengalaman langsung yang sadar. Dengan ini, ia percaya bahwa kita dapat mengetahui sesuatu dengan baik melalui cara yang tidak bias dan membedakan manusia sebagai subjek dari benda sebagai objek. Anggapan ini ditolak oleh Merleau-Ponty, salah seorang pengikut Husserl. Menurut Merleau-Ponty, manusia, sebagai subjek yang mengetahui, adalah kesatuan fisik dan mental yang berhubungan dengan dunia di mana ia tinggal, oleh karena itu ia terpengaruh oleh dunianya dan sebaliknya memberikan makna bagi dunianya.

Cara kita memberikan makna bagi pengalaman kita adalah melalui komunikasi, sebab pengetahuan kita terkait dengan bahasa dan komunikasi. Alfred Schutz mengungkap tiga asumsi yang biasa kita buat dalam keseharian kita, yaitu (1) kita berasumsi bahwa realitas bersifat konstan; (2) kita berasumsi bahwa apa yang kita lihat adalah tepat; dan (3) kita berasumsi bahwa kita memiliki kuasa untuk mencapai tujuan kita. Pada kenyataannya, menurut Schutz, dunia kita merupakan dunia yang kita pelajari melalui komunitas kultural, dan hal itu berarti bahwa pengetahuan kita merupakan bagian dari situasi historis yang dikonstruksi secara sosial. Dengan demikian, dapat dipahami pula bahwa generalisasi, yang disebut Schutz tipifikasi (typifications), atau kategori-kategori yang berlaku dalam suatu budaya berbeda dari tipifikasi dalam budaya lainnya. Lebih lanjut, pengetahuan sosial, bagi Schutz, memiliki formula atau resep sosial (social recipes), yaitu tata cara yang dipahami dengan baik oleh masyarakat untuk bertindak sesuai dengan situasi yang menuntutnya.

Tokoh fenomenologi yang paling terkenal saat ini adalah Martin Heidegger, yang mencetuskan fenomenologi hermeneutis atau hermeneutika filosofis. Bagi Heidegger, yang terpenting adalah pengalaman natural terhadap hal yang tak dapat dielakkan. Oleh karena itu, bagi Heidegger, realitas sesuatu tidak diketahui melalui analisis atau reduksi, melainkan melalui pengalaman yang natural, yaitu melalui kegiatan berbahasa sehari-hari.

2. Hermeneutika

Hermeneutika merupakan kajian tentang pemahaman, dan lebih khusus pada interpretasi tindakan dan teks. Hermeneutika modern dipelopori oleh Friedrich Schleiermacher yang menggunakan pendekatan saintifik dalam analisis teks. Usaha Schleiermacher diteruskan oleh Wilhelm Dilthey yang percaya bahwa hermeneutika merupakan kunci untuk ilmu sosial dan kemanusiaan. Namun, ia menolak pendekatan saintifik yang dilakukan Schleiermacher, karena bagi Dilthey dunia manusia bersifat sosial dan historis serta tidak dapat diketahui secara objektif. Dengan ini Dilthey memulai relativisme historis yang umum berlaku dalam khazanah ilmu sosial saat ini.

Berkaitan dengan komunikasi, kita dapat menggunakan dua macam hermeneutika, yaitu hermeneutika sebagai perangkat memahami teks atau hermeneutika teks (text hermeneutics) dan hermeneutika sebagai perangkat memahami kebudayaan hermeneutika sosial atau hermeneutika kultural (social/cultural hermeneutics).

Teks dapat dipahami sebagai setiap artefak yang dapat diteliti dan diinterpretasi. Interpretasi dalam hal ini dipahami sebagai proses berjalan yang bergerak dari yang umum ke yang khusus dan sebaliknya, hal ini dapat disebut lingkaran hermeneutis (hermeneutics circle).

2.1 Paul Ricoeur

Bagi Ricoeur, teks tidak dapat ditafsirkan seperti peristiwa langsung ditafsirkan, sebab teks, termasuk wicara yang direkam, memiliki bentuk permanen yang terlepas dari situasi asli teks tersebut. Dengan kata lain, dengan melepaskan teks dari situasi, yang di sebut pen-jarak-an (distanciation), teks bisa memiliki makna yang berbeda dengan apa yang sebenarnya dikehendaki pengarangnya.

Lingkaran hermeneutis dalam pandangan Ricoeur memiliki dua aspek, yaitu eksplanasi (explanation) yang bersifat empiris dan analitis, yaitu menjelaskan peristiwa berdasarkan pola antarbagian yang terobservasi; dan pemahaman (understanding) yang bersifat sintetis, yaitu menjelaskan peristiwa secara keseluruhan berdasarkan interpretasi. Lebih mudahnya, dalam hermeneutika, menurut Ricoeur, seorang penafsir akan memecah belah teks menjadi bagian-bagian kecil, mencari pola-pola tertentu, dan memulai dari awal lagi untuk menjelaskan maknanya secara keseluruhan. Oleh karena itu, Ricoeur percaya adanya hubungan antara penafsir dan teks. Dalam hubungan ini, dengan keterbukaan penafsir terhadap makna teks (appropriation), teks bukan saja berbicara kepada penafsir, melainkan juga mempengaruhinya.

2.2 Stanley Fish

Menolak pandangan Ricoeur yang berpendapat bahwa makna terletak di dalam teks, Fish beranggapan, melalui reader-response theory, bahwa makna terlaak pada pembaca. Bagi Fish, teks hanya merangsang pembaca untuk melakukan pembacaan aktif, namun pada akhirnya pembacalah yang memberikan makna. Selanjutnya, Fish, dengan mengikuti pendekatan konstruksionisme sosial, mengemukakan bahwa setiap pembaca merupakan anggota dari masyarakat interpretif (interpretive communities), yaitu kelompok-kelompok yang saling berinteraksi, membentuk realitas dan makna secara bersama-sama, dan menggunakannya dalam proses pembacaan mereka. Artinya, menurut Fish, pemberian makna bukanlah perkara individual.

Baik Ricoeur maupun Fish, keduanya sependapat tentang pengabaian makna pengarang, naun Fish menolak distansiasi yang diajukan Ricoeur. Sebab, bagi Fish, pembaca selalu melekatkan makna mereka sendiri ke dalam teks, sehingga distansiasi tidak mungkin ada.

2.3 Hans-Georg Gadamer

Gadamer, yang merupakan murid Heidegger, beranggapan bahwa interpretasi secara natural merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari kita. Hal ini berarti bahwa pengalaman dan dunia merupakan jalinan yang secara virtual merupakan hal yang sama. Yang penting dalam pandangan Gadamer adalah bahwa setiap orang memahami pengalamannya berdasarkan praanggapan yang dibentuk oleh tradisi yang bersifat historis. Oleh karena itu, dalam pandangan Gadamer, kita secara simultan merupakan bagian dari masa lalu, masa kini, dan masa akan datang. Perubahan dalam hal ini dipandang sebagai hasil dari jarak temporal yang terbentuk melalui waktu yang mmpengaruhi kita cara mengantisipasi masa mendatang. Dengan demikian, pemahaman kita terhadap peristiwa dan objek sejarah diperkaya oleh jarak hisroris. Lebih jelasnya, pemaknaan teks, dalam pandangan Gadamer, merupakan hasil dialog dari makna yang kita miliki saat ini dan makna yang terdapat dalam teks secara historis. Proses interpretif tersebut bersifat paradoks, sebab di samping kita membiarkan teks berbicara, kita tidak dapat memahami teks terpisah dari prasangka dan praanggapan yang kita miliki.

Seperti Heidegger, Gadamer percaya bahwa pengalaman kita secara inheren terdapat dalam bahasa. Sebab perspektif tradisi yang kita gunakan untuk memahami dunia terdapat dalam kata-kata. Oleh karena itu, Gadamer berpendapat bahwa bahasalah yang menyediakan cara kita memahami pengalaman kita. Dengan kata lain, dalam komunikasi, hubungan terjadi bukan semata-mata interaksi antarpersonal, melainkan hubungan triadik, yaitu hubungan interaksi antarpersonal dan bahasa. Dengan cara ini, Gadamer menganggap bahwa fenomenologi dan hermeneutika merupakan proses yang tidak dapat dipisahkan.

3. Interpretasi Kebudayaan

Istilah lain bagi interpretasi kebudayaan adalah etnografi (etnography). Clifford Geertz menyebut interpretasi kebudayaan sebagai thick description, yaitu interpretasi kebudayaan dari sudut pelaku asli budayanya, dan membedakannya dari thin description, yaitu upaya interpretasi kebudayaan yang semata-mata mendeskripsikan pola tingkah laku berdasarkan sudut pandang yang hanya sedikit memiliki kesamaan dengan pelaku asli budayanya. Seperti seluruh jenis hermeneutika, Geertz juga membahas tentang lingkaran hermeneutis. Dalam pandangannya, interpretasi terkait dengan lingkaran hermeneutis yang mencakup pergerakan dari experience-near concept, yaitu makna budaya seperti dialami oleh pelaku aslinya menuju experience-distant concept, yaitu makna budaya bagi orang luar, dan sebaliknya.

Lebih jauh, Donald Carbaugh dan Sally Hasting menyebut empat proses yang terjadi dalam etnografi, meliputi: pertama, mengembangkan dasar orientasi terhadap budaya dan manifestasi budaya yang akan diteliti; kedua, mendefinisikan kategori aktivitas yang akan diteliti; ketiga, merancang teori yang bersifat spesifik demi kepentingan penelitian; dan keempat, mengaplikasikan teori dan, selanjutnya, mengujinya pada kasus tertentu.

3.1 Etnografi Komunikasi

Etnografi komunikasi pada dasarnya adalah aplikasi metode etnografis pada pola komunikasi kelompok tertentu. Gerry Phlipsen menyebut empat asumsi yang terdapat dalam etnografi komunikasi, yaitu: pertama, seluruh partisipan dalam masyarakat budaya tertentu turut menciptakan makan yang dimiliki bersama; kedua, setiap peserta komunikasi dalam kelompok budaya harus mengkoordiansikan tindakan mereka; ketiga, makna dan tindakan bersifat khas bagi masing-masing kebudayaan; dan keempat, selain makna, cara memahami kode dan tindakan dalam setiap budaya bisa jadi berbeda.

Menurut Hymes linguistik formal tidak akan mampu memahami bahasa secara utuh, sebab ia mengabaikan kenyataan bahasa dalam penggunaannya sehari-hari. Ia selanjutnya menyebut sembilan kategori yang dapat digunakan untuk membandingkan perbedaan antarbudaya, yaitu: (1) cara bertutur (ways of speaking) atau pola komunikasi; (2) kefasihan ideal penutur (ideal of the fluent speaker); (3) komunitas wicara (speech community); (4) situasi wicara (speech situation); (5) tindak tutur (speech act); (6) komponen tindak tutur; (7) peristiwa wicara (speech event); (8) kaidah bertutur dalam komunitas; dan (9) fungsi wicara dalam komunitas.

Berdasarkan pendapat Carbaugh, etnografi komunikasi setidaknya mengkaji tiga masalah, yaitu pertama, mengungkap identitas bersama (shared identity) komunitas yang tercipta melalui komunikasi; kedua, mengungkap makna bersama (shared meaning) bagi prestasi publik yang terlihat dalam kelompok; dan ketiga, mengeksplorasi kotradiksi dalam kelompok.

Untuk dapat sampai pada hal tersebut, terdapat tiga masalah yang harus dijelaskan terlebih dulu, yaitu pertama, masalah norma (questions of norms), berkaitan dengan cara komunikasi digunakan dalam memapankan aturan-aturan dan dengan cara kategori baik-buruk mempengaruhi proses komunikasi; kedua, persoalan bentuk (questions of forms), berkaitan dengan jenis-jenis komunikasi yang digunakan dalam masyarakat; dan ketiga, persoalan kode budaya (question of cultural codes), berkaitan dengan makna simbol dan tingkah laku yang digunakan dalam komunikasi dalam komunitas.

Berkenaan dengan kode, Philipsen menyebut beberapa klaim tentang hal yang disebutnya kode wicara (speech code), yaitu (1) kode bersifat distingtif; (2) kode wicara mengkonstitusi makna distingtif bagi cara bersikap sebagai pribadi, cara bergaul dengan orang lain, dan cara berkomunikasi; (3) kode membimbing para peserta komunikasi untuk mengalami secara sadar saat berinteraksi; (4) kode wicara tercakup dalam peristiwa wicara sehari-hari; dan (5) kode wicara memiliki kuasa yang dasar evaluasi dan pengarahan komunikasi oleh budaya.

3.2 Performance Etnography

Tampilan budaya (cultural performance) mencakup juga manipulasi media yang dapat dialami oleh indera. Tampilan publik dalam kebudayaan laksana drama sosial yang di dalamnya terdapat hubungan dan ide-ide yang bekerja. Seperti halnya drama yang memiliki batas-batas, makna merupakan batas atau pintu yang menghubungkan satu hal dan keadaan kepada hal dan keadaan lainnya. Menurut Victor Turner sebuah drama sosial biasanya mengalami proses tertentu, meliputi pertama, pelanggaran (breach), yaitu kekerasan atau serangan terhadap tatanan komunitas; kedua, krisis, yang digerakkan oleh pelanggaran; ketiga, proses perbaikan (redressive procedures); dan keempat, reintegrasi (reintegration).

Etnografi tampilan budaya ini dan mengatasi pendapat tradisional tentang bahasa dan memperluasnya hingga pada level penerapan (embodied practice). Bidang ini sangat berguna bagi bidang komunikasi, sebab komunikasi sering kali dipahami sebagai tampilan.

3.3 Kebudayaan dalam Organisasi

Organisasi, yang dapat dilihat sebagai cara hidup anggotanya, menciptakan juga realitas yang dimiliki bersama yang berbeda dari kebudayaan lain melalui interaksi para anggotanya. Sebab, tindakan yang mengarah pada tujuan (task-oriented action) tidak dipahami langsung secara objektif, melainkan melalui penguatan cara-cara tertentu yang secara sadar diperoleh dengan memahami pengalaman.

Pacanowsky dan O'Donnell Trujilo menyebuit empat ciri tampilan komunikasi, yaitu pertama, bersifat interaksional; kedua, bersifat kontekstual; ketiga, terdiri atas episode-episode; dan keempat, selalu berkembang. Selanjutnya, mereka menyebut tampilan komunikasi dalam organisasi, yaitu pertama, ritual, terulang secara reguler, meliputi personal ritual, task ritual, social ritual, dan organizational ritual; (2) gairah (passion), tampilan yang menjadikan ritula menjadi menarik dan menggairahkan, terdiri atas storytelling, yaitu penderiataan aktivitas yang berualng-ulang, dan passionate repartee, yaitu interaksi dramatis dengan penggunaan bahasa yang hidup; (3) sosialitas (sociality), yaitu hal yang membuat aturan sosial dapat bekerja; (4) politik organisasi (organizational politics), yaitu tampilan yang menciptakan kuasa dan pengaruh; dan (5) enkulturasi (enculturation), proses pengajaran budaya oeh anggota organisasi.

3.4 Kajian Media Interpretif

James Lull menyebut bidang ini dengan nama etnografi komunikasi masa (etnography of mass communication). Dalam kajian media tradisional, media dianggap sebagai saluran (channel) yang digunakan untuk mengirim informasi kepada audiens. Saat ini, pendekatan yang lazim dalam memahami media adalah memahami bahwa audiens adalah masyarakan interpretif yang memberi makna tersendiri bagi apa yang mereka lihat, dengar, dan saksikan. Mengikuti pendapat Fish, sebauah masyarakat interpretif ini akan mengembangkan sendiri pola konsumsinya, yaitu pemahaman umum tentang isi dari apa yang mereka lihat, dengar, baca, dan saksikan yang membentuk hasil yang juga dimiliki bersama. Thomas Lindolf lebih jauh melihat tiga dimensi, yang disebutnya genre, komunitas interpretif, yaitu pertama, isi (content), program ataupun media lain yang dikonsumsi oleh sebuah komunitas; kedua, interpretasi, yaitu pemaknaan bersama; dan ketiga, tindakan sosial (sacial action), yaitu tingkah laku yang merupakan akibat dari pemahaman terhadap media.

Diringkas dari

Littlejohn, Stephen W,. 2002. Theories of Human Communication (edisi ketujuh). Belmont: Thomson Learning. Hal. 184-202

Semiotik

Kebudayaan sebagai Signifying Order

Bagi Danesi dan Perron (1999: 68), tujuan utama semiotik adalah memahami kapasitas manusia dalam membuat dan memahami tanda, dan aktivitas penyusunan-pengetahuan (knowledge-making). Kapasitas dikenal sebagai semiosis, sedangkan aktivitas disebut representasi. Jadi, bagi Danesi dan Perron, kebudayaan bukan sekedar semiosis, karena menurut mereka semiosis merupakan kapasitas neurobiologis yang mendasari produksi dan komprehensi (pemahaman) tanda dari isyarat (signal) psikologis yang sederhana menuju simbol yang semakin kompleks.

Representasi merupakan penggunaan tanda secara sengaja untuk menyelidiki, mengklasifikasi, dan mengetahui dunia. Morris (1938 dan 1946), seperti dikutip oleh Danesi dan Perron (1999: 68), mengemukakan bahwa semiosis sebagai strategi fisik yang memproduksi sebagian besar tanda dasar (basic sign) membimbing anak untuk melakukan representasi, yaitu mengganti objek dengan tanda (displacement). Semakin ia tumbuh dewasa, ia menjadi semakin baik dalam menggunakan tanda untuk merepresentasi dunia dengan cara berbeda. Menurut Danesi dan Perron, secara figuratif dapat dinyatakan bahwa tanda mengkonstitusi "perekat representasional" (representational glue) yang menjadikan tubuh (body), pikiran (mind), dan dunia (world) saling berhubungan secara holistik.

Selanjutnya, menurut Danesi dan Perron (1999: 68), jika seorang anak menggunakan tanda sebagai alat efektif untuk berpikir, merencanakan, dan menegosiasikan makna bersama orang lain dalam situasi tertentu, maka ia akan mulai mengenal lingkup pengetahuan budayanya. Pertama-tama, seorang anak akan membandingkan usaha representasi mereka dengan tanda yang digunakannya berdasarkan konteks tertentu. Kemudian, melalui pemasukan dan penggunaan secara terus-menerus, tanda yang didapat dalam konteks-konteks tersebut menjadi dominan secara kognitif dan pada akhirnya memediasi dan meregulasi pola pikir, tindakan, dan tingkah laku mereka.

Yang menarik untuk dicatat adalah: Danesi dan Perron menghubungkan kebudayaan dengan penggunaan tanda untuk berpikir, merencanakan, dan menegosiasikan makna secara bersama-sama. Hal itu berarti bahwa kebudayaan, menurut Danesi dan Perron, bukan sekadar semiosis, yaitu kapasitas neurobiologis yang memungkinkan produksi dan pemahaman tanda dari isyarat (signal) psikologis yang sederhana menuju simbol yang semakin kompleks, ataupun representasi, yaitu penggunaan tanda secara sengaja untuk menyelidiki, mengklasifikasi, dan mengetahui dunia. Bagi mereka, kebudayaan adalah sistem yang terdiri atas makna-makna yang dimiliki bersama (shared meanings) yang didasarkan atas signifying order, yaitu sistem kompleks yang terdiri dari beragam tipe tanda yang dapat bergabung satu sama lain dengan cara yang dapat diprediksi menjadi sistem representasi yang dapat digunakan individu atau kelompok untuk membuat ataupun saling bertukar pesan (Danesi dan Perron 1999: 67).

Sumber Acuan

Danesi, Marcel dan Paul Perron. 1999. Analzing Cultures: an Introduction and Handbook. Bloomington. Indiana University Press.

Linguistik: Fonetik

Fonem dalam Bahasa Arab

Makyun Subuki
8 Mei 2006

Fonem (phoneme) menurut Bloomfield (1933: 77) adalah satuan ciri bunyi distingtif terkecil. Dalam linguistik Arab, fonem disebut al-wahdah as-sawtiyyah (Syahin 1984: 115). Fonem dapat dibagi menjadi jenis konsonan (consonant atau sāmit) dan vokal (vowel atau harakah) (Robins 1989: 106 dan Hijāzy 1978: 43).
1. Vokal
Vokal adalah bunyi bersuara yang tidak melibatkan hambatan, geseran, atau sentuhan lidah atau bibir (Bloomfield 1933: 99). Bunyi vokal dibedakan berdasarkan tiga faktor: pertama, bentuk mulut terbuka atau tertutup, misalnya vokal [i] dan [u] adalah vokal tertutup, sedangkan [a] dan [ɑ] adalah vokal terbuka; kedua, posisi tinggi-rendahnya lidah dalam mulut, misalnya dalam menghasilkan vokal [i] bagian depan lidah meninggi (high-front), sedangkan dalam menghasilkan vokal [Ɛ], [ɑ] dan [æ] posisi depan lidah turun (low-front) (Ladefoged 1993: 79); dan ketiga, bentuk bibir bundar atau takbundar (Lyons 1968: 103), misalnya vokal [u], [o], dan [ɔ] adalah vokal bundar (rounded vowels), sedangkan vokal [i] dan [a] adalah vokal takbundar (unrounded vowels). Pembagian seperti ini juga terdapat dalam bahasa Arab, harakah fathah (-َ) yang mewakili vokal [a] dan harakah kasrah (-ِ) yang mewakili vokal [i] merupakan unrounded vowels atau inbisāt, sedangkan harakah dammah (-ُ) yang mewakili vokal [u] merupakan rounded vowels atau istidārah (Hijazy 1978: 43).
2. Konsonan
Konsonan adalah bunyi bahasa segmental selain vokal (Robins 1989: 106). Bunyi konsonan dapat dibagi menurut dua dimensi, menurut daerah artikulasi (places of articulation atau makhraj) dan menurut cara artikulasinya (manners of articulation atau kayfiyah) (Robins 1989: 105 dan Hijazy 1978: 43-44).
Menurut daerah artikulasinya, Robins (1989: 102-103) mengklasifikasi konsonan menjadi dua bagian: pertama, glotal, meliputi tiga artikulator bunyi, yaitu: (i) laring, atau halqy dalam bahasa Arab (Abu Syarifah et al. 1989: 12), yaitu rongga tulang rawan pada pangkal batang tenggorokan (Bloomfield 1933: 91); (ii) pita suara, yaitu dua selaput dalam laring, kanan dan kiri, yang mirip rak (Bloomfield 1933: 91); dan (iii) glotis, atau hanjary dalam bahasa Arab (Abu Syarifah et al. 1989: 12) lubang di antara dua selaput pita suara. Bunyi hamzah ء [ʔ], 'ayn ع [ʕ], aspirat bersuara ه [h], dan aspirat tak bersuara ح [Ћ] merupakan bunyi khusus yang diartikulasikan secara glotal (Robins 1989: 115); kedua, supraglotal, meliputi: (i) bilabial, atau syafawy dalam bahasa Arab (Hijazy 1978: 44), mencakup bunyi konsonan [p], [b], dan [m] yang dihasilkan oleh kedua belah bibir (Fromkin et al. 2003: 242). Dalam bahasa Arab hanya terdapat konsonan bilabial ب [b] dan م [m], seperti terdapat pada kata bāb [ba:b] 'pintu' dan min [min] 'dari'; (ii) labiodental, atau syafawy asnāny dalam bahasa Arab (Hijazy 1978: 44), mencakup bunyi konsonan [f], dan [v] yang dihasilkan dengan membuat getaran dan bagian depan gigi atas (Fromkin et al. 2003: 242). Dalam bahasa Arab hanya terdapat konsonan labiodental ف [f], seperti terdapat pada awal kata fard [fard] 'sendiri'; (iii) interdental, mencakup bunyi konsonan [θ] dan [ŏ] yang dihasilkan dengan merapatkan dan menggetarkan lidah di antara gigi atas dan gigi bawah (Fromkin et al. 2003: 242). Beberapa tokoh, misalnya Ladefoged (1993: 6) dan Fromkin et al. (2003: 242) menyamakan interdental dengan dental, namun Bloomfield (1933: 95) menyamakan dental dengan alveolar. Dalam bahasa Arab, konsonan interdental disebut asnāny yang setara dengan istilah dental (Abu Syarifah et al. 1989: 12), meliputi konsonan ذ [θ], ظ atau [θ] yang mufakhkham (tebal), dan ث [ŏ] yang terdapat, misalnya pada kata źālika [θa:lik] 'itu', nazīf [naθhi:f] dan śawb [ŏawb] 'baju'; (iv) alveolar, atau gingival (Bloomfield 1933: 95) atau asnāny laśawy dalam bahasa Arab (Abu Syarifah et al. 1989: 12), mencakup bunyi konsonan [t], [d], [n], [s], [z], [l], dan [r] yang dihasilkan dengan mempertemukan bagian depan lidah dengan punggung gusi (Fromkin et al. 2003: 242) atau punggung belakang gigi atas (Bloomfield 1933: 95). Dalam bahasa Arab konsonan alveolar ت [t], د [d], ن [n], س [s], ز [z], ل [l], dan ر [r] merupakan konsonan alveolar yang muraqqaq (tipis), terdapat, misalnya pada awal kata tamar [tamar] 'kurma', dayn [dajn] 'utang', nawm [nawm] 'tidur', sujūd [suju:d] 'sujud', zayn [zajn] 'hiasan', lawn [lawn] 'warna', dan rayb [rajb] 'ragu'. Selain itu terdapat juga fonem ط, ض, dan ص atau [t], [d], dan [s] yang mufakhkham dalam bahasa Arab, misalnya pada kata tayr [thayr] 'burung', dayf [dlhayf] 'tamu', dan sawm [shawm] 'puasa'; (v) palatal, atau kadang juga disebut alveopalatal dan disebut ghāry dalam bahasa Arab (Abu Syarifah et al. 1989: 12), mencakup bunyi konsonan [∫], [ś], [з] atau [ž], [č], dan [ĵ] yang dihasilkan dengan mendekatkan bagian depan lidah dengan langit-langit keras sedikit di belakang punggung gusi (Fromkin et al. 2003: 243). Dalam bahasa Arab hanya konsonan palatal ش [ś] dan ج [ĵ], misalnya pada awal kata syay' [šajʔ] 'sesuatu' dan jannah [jannah] 'surga'; (vi) velar, atau tabqy dalam bahasa Arab (Abu Syarifah et al. 1989: 12), mencakup bunyi konsonan [k], [g] dan [ŋ] yang dihasilkan dengan mempertemukan bagian tengah lidah dengan langit-langit lunak atau velum (Fromkin et al. 2003: 243). Dalam bahasa Arab konsonan velar ك [k] terdapat, misalnya pada kata kawkab [kawkab] 'bintang', dan konsonan velar [ŋ] terjadi akibat asimilasi bunyi akibat pertemuan antara konsonan [n] dengan konsonan tertentu lainnya, misalnya misalnya antara konsonan [n] dengan [k] dalam kata 'ankabūt [ʔaŋkabu:t] 'laba-laba'; (vii) uvular, atau lahwy dalam bahasa Arab (Abu Syarifah et al. 1989: 12) mencakup bunyi konsonan [R], [q], [G], dan [k] yang mufakhkham yang dihasilkan dengan mempertemukan bagian belakang lidah dengan anak lidah atau tekak (Fromkin et al. 2003: 243). Dalam bahasa Arab konsonan velar [R] terdapat dalam [r] yang muraqqaq (tipis), misalnya pada yarā [jarл:] 'ia (laki-laki) melihat/berpendapat', sedangkan ق [q] dan غ [G] terdapat, misalnya pada kata qalam [qлlam] 'pena' ghabah [Gл:bah] 'hutan', dan khayr [khajr] 'baik'.
Menurut cara artikulasinya konsonan terbagi atas: pertama, bersuara (voiced sound atau mahmūs) jika pita suara bergetar dan tak bersuara (voiceless sound atau majhūr) jika pita suara tak bergetar (Fromkin et al. 2003: 247 dan Hijāzy 1978: 45); bunyi nasal (nasal sound atau anfy) yang dihasilkan melalui penghambatan udara penuh dan mengeluarkannya lewat hidung dan bunyi yang selain nasal (oral sound) (Robins 1989:119).
Berdasarkan cara penghambatan udara yang keluar, Robins (1989: 115) membedakan hambatan (stop atau īqāfi) dan letupan (plosives atau infijāri) dari malaran (continuant). Stop dihasilkan dari hambatan yang bersifat total, dan sebaliknya, jika hambatan dilepas dengan mengeluarkan bunyi disebut letupan (Robins 1989: 115). Konsonan [b] dan [m] dalam bahasa Arab adalah bilabial stops; konsonan [t], [th], [d], [dlh], dan [n] adalah alveolar stops; konsonan [k], [g], [ŋ] adalah velar stops; konsonan [ʔ], [ʕ], [ħ], dan [h] adalah glottal stops; konsonan [ć] dan [j] adalah palatal stops; dan konsonan [q] adalah uvular stops (Fromkin et al. 2003: 247 dan Abu Syarifah 1989: 12). Malaran dihasilkan dari penghambatan sebagian terhadap udara yang keluar (Robins 1989: 115), malaran terbagi atas beberapa jenis, yaitu: pertama, bercelah (fricative atau ihtikāky), dihasilkan dari penghambatan udara secara terputus-putus sehingga menghasilkan gesekan. Konsonan [f] dan [v] termasuk labiodental fricatives; konsonan [θ], [θh], dan [ŏ] termasuk interdental fricatives; konsonan [s], [sh], dan [z] termasuk alveolar fricatives; dan konsonan [š] dan [ž] termasuk palatal fricatives; dan konsonan [G] dan [kh] termasuk uvular fricatives (Fromkin et al. 2003: 248); kedua, afrikat, dihasilkan dengan hambatan yang diikuti oleh pelepasan perlahan terhadap hambatan yang telah dilakukan, misalnya konsonan [č] dan [ĵ] pada church dan judge dalam bahasa Inggris (Fromkin et al. 2003: 248); ketiga, liquid, dihasilkan dengan menghambat sebagian udara yang keluar secara lemah sehingga tidak cukup kuat untuk menghasilkan gesekan. Konsonan yang termasuk jenis ini adalah [l], lateral liquid atau munharif, dan [r] retroflex liquid atau mukarrar (Fromkin et al. 2003: 249 dan Abu Syarifah et al. 1989: 12); dan keempat, luncuran (glides atau layn), dihasilkan dengan sangat sedikit, atau tanpa, hambatan terhadap aliran udara yang keluar melalui mulut. Sebagai bunyi transisional, glide sering dianggap sebagai semivokal. Yang termasuk dalam konsonan jenis ini adalah [j] dan [w] (Fromkin et al. 2003: 248 dan Abu Syarifah et al. 1989: 12).
3. Diftong
Selain vokal dan konsonan terdapat juga diftong, yaitu untaian dua bunyi yang terdiri atas vokal dan luncuran (glide) (Fromkin et al. 2003: 255), misalnya diftong [aj] pada bayt [bajt] 'rumah', diftong [aw] pada hawl [ħawl] 'sekitar', dan diftong [uw] pada 'aduww [ʕaduw] 'musuh'.

Daftar Acuan
Abu Syarifah, 'Abd al-Qādir., Husayn Lāfi, dan Dawud Ghattāsyah. 1989. 'Ilm ad-Dilālah wa al-Mu'jam al-'Araby. Beirut: Dār al-Fikr
Bloomfield, Leonard. 1933/1995. Bahasa. Terjemahan Language oleh I. Soetikno. Jakarta. Gramedia.
Fromkin, V., R. Rodman, dan N. Hyams. 2003. An Introduction to Language (edisi ketujuh). Boston: Thomson Heinle.
Hijāzy, Mahmūd Fahmy. 1978. Madkhal fī 'Ilm al-Lughah. Kairo: Dār aś-Śaqafah.
Ladefoged, Peter. 1993. A Course in Phonetic (edisi ketiga). Orlando: Harcourt Brace College Publisher.
Lyons, J. 1968/1971. Introduction to Theoretical Linguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Robins, R.H. 1989/1992. Linguistik Umum: Sebuah pengantar. Terjemahan General Linguistik: an Introductory Survey oleh S. Djajanegara. Yogyakarta: Kanisius.
Syāhīn, 'Abd as-Sabūr. 1984. Fī 'Ilm al-Lughah al-'Āmm. Syria: Maktabah asy-Syabāb.