Produktivitas
Makyun Subuki
27 Februari 2006
1. Pengertian dan Konsep Dasar
Aronoff dan Anshen (1998), dalam Spencer dan Zwicky (1998: 242-243), mendefinisikan produktifitas sebagai kesinambungan kemungkinan yang dapat memperkirakan penggunaan kata potensial (potential words). Haspelmath (2002: 39) dan Bauer (1988: 57) menghubungkan konsep produktif dengan pola morfologis (morphological patterns) yang dapat dipakai dalam pembentukan kata baru. Fromkin (2003: 88), yang berpendapat bahwa kaidah morfologi disebut produktif, jika kaidah-kaidah tersebut dapat digunakan secara bebas untuk membentuk kata-kata baru dari sederetan morfem bebas maupun morfem terikat. Fromkin (2003: 88) dan Katamba (1993: 66-67), yang berpendapat bahwa kaidah morfologi disebut produktif, jika kaidah tersebut dapat digunakan secara bebas untuk membentuk kata baru dari sederetan morfem bebas maupun morfem terikat. Semakin aplikatif suatu proses, maka semakin ia produktif, misalnya, dalam bahasa Inggris sufiks –able merupakan morfem yang dapat diimbuhkan pada verba apapun untuk membentuk ajektiva, dengan arti kurang lebih ‘able to be’ seperti pada accept+able, blam(e)+able, adapt+able, dan lain-lainnya. Produktifitas kaidah ini terbukti, dengan digunakannya afiksasi –able pada verba yang relatif baru seperti downloadable and faxable.
Konsep produktifitas di atas kemudian dihubungkan dengan berbagai konsep yang berbeda-beda oleh para linguis. Katamba (1993: 66) menghubungkan produktifitas dengan generalitas (generality). Berdasarkan hal ini, Katamba (1993: 67) dan Bauer (1988: 57) melihat produktifitas dalam dua tataran: pertama, menyangkut gradasi atau tingkatan, bukan dikotomi yang memisahkan antara yang produktif dan yang tidak produktif. Hal ini berkaitan dengan sebuah proses morfologis tertentu yang relatif lebih umum dibanding proses morfologis lainnya. Karena menurutnya, mungkin tidak ada satu proses pun yang dapat diaplikasikan ke semua bentuk dasar. Contoh, sufiks -ist pada bahasa Inggris yang dapat membentuk begitu banyak nomina yang salah satunya berarti ‘pemain,’ misalnya pada pianist dan guitarist, tidak dapat dipakai untuk menyebut pemain drum; sehingga yang terbentuk adalah drummer, dengan sufiks –er, bukan drummist; dan kedua, produktifitas tergantung pada dimensi waktu (synchronic notion). Suatu proses yang sangat lazim dalam kurun waktu tertentu bisa menjadi tidak lazim pada kurun waktu berikutnya. Misalnya, bentuk loadsa (kolokasi dari loads of) digunakan untuk bahasa informal di Inggris pada akhir tahun 1980-an, contohnya, loadsamoney. Pada tahun 1988, bentuk itu digunakan sebagai prefiks dalam pembentukan kata baru seperti loadsasermons, loadsaglasnost yang dimuat di harian yang terbit di London (Spiegel 1989: 230-1). Walaupun prefiks ini tetap eksis, dan ada upaya untuk mengembangkannya ke kata lain, namun menjelang tahun 1989 prefiks tersebut hanya dipakai pada segelintir kata dasar saja.
Berbeda dengan Katamba dan Bauer, Matthews (1991: 69) melihat produktifitas dari bentuk yang berubah-ubah. Atas dasar ini, ia melihat produktifitas dalam tiga tataran: pertama, secara keseluruhan, sebuah proses pembentukan (formation) bisa jadi merupakan proses yang paling produktif dibandingkan proses lainnya; kedua, dalam keadaan tertentu, sebuah proses lebih produktif dari proses lainnya; dan ketiga, dalam berbagai bentuk yang memiliki makna sama, yang lebih produktif bersaing dengan yang kurang produktif. Kemudian Matthews (1991: 69-70) memilah bentuk tersebut ke dalam bentuk yang produktif untuk menyebut bentuk yang masih sangat produktif, misalnya sufiks –able pada computable; tidak produktif untuk menyebut bentu yang sudah tidak digunakan lagi, misalnya bentuk –th pada growth. Aronoff dan Anshen (1998), dalam Spencer dan Zwicky (1998: 243) menyebut afiks jenis ini sebagai dead affixes atau completely unproductive affixes; dan semi produktif untuk jenis afiks idiosinkratik yang hanya dapat dilekatkan pada bentuk tertentu, misalnya sufiks –ant, yang diturunkan dari bahasa Latin sebagai bentuk akhiran present participle –antem/-entem --sehingga hanya dilekatkan pada kata dasar yang berasal dari bahasa Latin--, tidak konsisten ditinjau dari segi pemilihan kata dasar dan makna kata Contoh kata yang dapat diberi sufiks ini adalah: communicant, defendant, dan applicant (Matthews 1991: 70). Berdasarkan pemilahan ini, Matthews (1991: 76) kemudian mengategorikan leksem menjadi established lexemes dan potential lexemes. Established lexemes adalah bentuk yang secara aktual merupakan bagian dari kosakata pembicara, sedangkan potential lexemes adalah setiap kata yang mungkin terbentuk dari proses yang produktif. Demikian juga halnya dengan accountant. Namun, Katamba (1993: 72) secara teoritis tidak mengakui konsep semi-produktifitas, karena sukar untuk menentukan proses pembentukan kata yang dapat diklasifikasikan sebagai semi-produktif.
Berbeda dengan ketiga linguis di atas, Haspelmath (2002: 39) melihat produktifitas melalui pengamatan yang lebih luas pada kompleksitas bentuk morfologis dalam bahasa. Pertama-tama, ia menghubungkan produktifitas dengan actual word (usual word) dan possible word (potential word) (Haspelmath 2002: 39 dan 98). Actual word merupakan kata yang terdapat dalam kamus, sedangkan possible word merupakan kata yang mungkin saja terbentuk berdasarkan pola morfologis (Haspelmath 2002: 39). Ia menghubungkan pemilahan tersebut dengan apa yang disebutnya Morphological competences yang berkaitan dengan kemungkinan proses morfologis yang terdapat dalam sistem kebahasaan dan morphological performances yang berkaitan dengan penggunaan sistem tersebut dalam komunikasi dan tujuan lainnya (Haspelmath 2002: 98). Kedua, ia menghubungkan produktivitas dengan dua peran dalam proses morfologis, yaitu: pertama, creative role yang mengacu pada proses morfologis dalam pembentukan kata baru yang tidak terdapat dalam leksikon; dan kedua, descriptive role yang digunakan untuk menyebut proses morfologis dalam pembentukan kata baru yang terdapat dalam leksikon (Haspelmath 2002: 41).
Konsep yang sering dihubungkan dengan produktivitas adalah kretivitas (creativity) yang juga ditanggapi berbeda-beda. Matthews (1991: 75) mengaitkan kreatifitas dengan kreasi individual kata demi pemakaian individu, sedangkan Haspelmath (2002: 100) menekankan pada pembentukan kata baru yang secara sengaja mengikuti pola yang tidak produktif. Sebagian linguis, sebagaimana diungkapkan Haspelmath (2002: 100), membedakan antara produktivitas dan kreativitas berdasarkan kesengajaan dan kesadaran. Namun atas dasar itu, Haspelmath (2002: 100-101) menolak pembedaan antara kreativitas dan produktivitas. Secara metodologis, ia menolak konsep ketaksadaran dan ketaksengajaan (unconscious dan unintentional) dalam produktifitas, sedangkan secara empirik ia menganggap terlalu banyak cara untuk menghasilkan neologisms yang tidak dapat dikenali lagi namun tidak langsung teramati. Ia lebih senang menggunakan kreatifitas dalam kaitannya dengan penyalahgunaan bahasa biasa dalam puisi (poetic lisence), bahkan Katamba (1993: 72) mengungkapkan bahwa kedua istilah ini kadang dapat disamakan.
Berkenaan dengan hal tersebut, Haspelmath (2002: 102) membedakan kreativitas menjadi creation by rule dan creation by analogy, sedangkan Katamba (1993: 72) membedakannya menjadi rule-governed creativity dan rule-bending creativity. Creation by rule dan rule-governed creativity merupakan kreativitas dalam penciptaan bentuk melalui proses yang sesuai dengan pola morfologis yang ada (Haspelmath 2002: 102 dan Katamba 1993: 73), sedangkan creation by analogy dan rule-bending creativity merupakan kebalikan dari keduanya.
2. Faktor Penghalang Produktifitas
Terdapat beberapa faktor yang menghambat produktifitas (blocking, preemption, dan atau restriction), yaitu faktor fonologis, morfologis, semantis (Katamba 1993: 74), pragmatik, sintaksis, kata pinjaman, dan sinonimi (Haspelmath 2002: 104-109).
2.1 Faktor Fonologis
Bentuk yang kompleks tidak dapat dibentuk jika menimbulkan kesukaran secara fonetis (Haspelmath 2002: 104) Misalnya, sufiks –ly merupakan sufiks derivasi yang dapat diberikan pada adjektiva untuk membentuk adverbia, seperti kind menjadi kindly, fierce menjadi fiercely, dan serious menjadi seriously. Namun sufiks ini tidak dapat diimbuhkan pada kata silly menjadi sillily, friendly menjadi friendlily, miserly menjadi miserlily. Nampaknya sufiks –ly ini cenderung dihindari bila suatu adjektiva berakhiran –ly agar tidak ada pengulangan pengucapan li /-lili/. Sufiks –ly ini banyak digunakan pada ajektiva yang tidak berakhiran –ly. Kesukaran fonetis ini juga menghalangi produktifitas bentuk transfiks tertentu pada akar yang mengandung salah satu dari tiga harf ‘illah (w, y, dan a) dalam bahasa Arab, misalnya bentuk transfiks ya--a- pada waqa’a ‘telah terjadi/jatuh’ menjadi yaqa’u ‘sedang terjadi/jatuh’ yang berbeda dari bentuk yaftahu ‘ia membuka’ dari fataha ‘telah membuka’ (al-Mishry t.th.: 530).
2.2 Faktor Morfologis
Dalam bahasa tertentu, terdapat pola morfologis yang menuntut kebersesuaian dengan bentuk dasarnya. Misalnya, dalam bahasa Ibrani pola nomina yang menunjukkan perbuatan berbentuk (CiC(C)uC) hanya dapat diturunkan dari verba yang berpola (CiC(C)eC), maka kata seperti tixnut ‘pemrograman’ dan dibur ’pembicaraan’ hanya dapat diturunkan dari bentuk verba tixnet ‘memrogram’ dan diber ‘berbicara’ (Haspelmath 2002: 106). Bentuk seperti ini juga terdapat dalam bahasa Arab, bentuk transfiks ya-u- pada verba berkala kini hanya akan menghasilkan transfiks -u--u- verba imperatif, misalnya yaktubu ‘ia (seorang laki-laki) menulis’ hanya akan menghasilkan uktub ‘(kepada seorang laki-laki) tulislah!’ (al-Ghulayayn 1912: 210).
2.3 Faktor Semantis
Proses morfologis kadang tidak menjadi produktif jika dihadapkan pada persoalan semantik. Contoh, penggunaan prefiks –un pada kata unill, unsad, unpessimistic, undirty dirasakan janggal. Hal ini disebabkan karena prefiks negative –un biasanya diimbuhkan pada ajektiva positif yang bentuk aslinya telah mengandung arti dari bentuk yang diberi afiks negatif tersebut. Contohnya:
benar salah
unwell unill
unloved unhated
unhappy unsad
unclean undirty
2.4 Faktor Pragmatik
Faktor pragmatik berkaitan dengan kepentingan suatu bentuk tertentu untuk hadir secara well-formed, baik secara fonologis maupun secara semantik (Haspelmath 2002: 105). Pemberian sufiks –in sebagai pembeda antara bentuk feminin dan maskulin pada binatang kecil, seperti pada wurm ‘cacing jantan’ dari wurmin ‘cacing betina’ dalam bahasa Jerman tidaklah produktif, karena pembedaan seperti ini dalam bahasa Jerman tidak terlalu berguna.
2.5 Faktor Sinonimi
Hubungan sinonimi dapat juga menghalangi produktifitas bentuk tertentu, misalnya sufiks –er pada typer tidak dapat diterima karena ada bentuk typist dalam bahasa Inggris, begitu juga prefiks+transfiks ma—a- sebagai nomina penanda tempat pada masjad ‘tempat sujud’ dalam bahasa Arab tidak produktif karena bersinonim dengan masjid ‘tempat sujud.’
2.6 Faktor Sintaksis
Haspelmath (2002: 106) mengungkapkan bahwa pada bahasa tertentu kondisi sintaksis menuntut kondisi tertentu dari kata. Dalam bahasa Kiribatese, pembentukan verba kausatif dengan menambah prefiks ka- hanya dapat dibentuk dari verba intransitif, misalnya nako ‘pergi’ menjadi kanakoa ‘mengirim/mengusir.’
Daftar Acuan
Al-Ghulayayn, Mushthafa. 1912. Jami’ ad-Durus al-‘Arabiyah (jilid pertama). Beirut: al-Maktabah al’Ashriyah.
Al-Mishry, Muhammad Baha’ ad-Din Abdillah ibn ‘Aqil al-‘Uqayly al-Hamadany. t.th. Syarh ibn ‘Aqil (jilid kedua). Jakarta: Dinamika Berkah Utama.
Aronoff, Mark dan Frank Anshen. 1998. “Morphology and the Lexicon: Lexicalization and Productivity” Dalam Spencer, Andrew dan Arnold M. Zwicky (ed). 1998. The Handbook of Morphology. Malden: Blackwell Publisher Ltd.
Bauer, Laurie. 1988. Introducing Linguistic Morphology. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Haspelmath, Martin. 2002. Understanding Morphology. New York: Oxford University Press Inc.
Katamba, Francis. 1993. Morphology. London: The Macmillan Press Ltd.
Matthews, P.H.. 1991. Morphology (edisi kedua). New York: Cambridge University Press.