This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tuesday, July 24, 2007

Linguistik: Analisis Wacana

Gairah dan Kepuasan dalam Iklan Nokia Tipe 8210 dan 8850:

Analisis Argumentasi dalam Teks Iklan

Oleh: Makyun Subuki

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Pemasaran segala bentuk hasil produksi pada dasarnya bertujuan untuk mencari keuntungan, karena kekuatan produksi dibentuk bukan untuk menggali nilai guna (utility value), melainkan untuk mencari nilai lebih (profit) dari nilai tukar (exchange value). Hal ini mendorong para pemodal untuk terus meningkatkan kuantitas dan memperluas jaringan produksi, sehingga pada akhirnya kita hidup dalam "pasar" yang over-suplay produk. Kondisi seperti ini menjadikan konsumsi sebagai faktor penting dalam meningkatkan keuntungan, sehingga demi kepentingan nilai tukar, pemodal sibuk mengkampanyekan citra-citra tertentu yang lebih dari sekedar nilai guna barang. Akhir dari permainan citra ini adalah membanjirnya citra dalam masyarakat, sehingga sulit untuk membedakan mana yang citraan dan mana yang realitas, misalnya kita dapat melihat bahwa banyak orang yang tidak lagi dapat membedakan antara menjaga kesehatan dengan berobat, berolah raga dengan masuk klub fitness, pornografi dengan seks, atau cantik dengan berdandan.

Saat kita hidup dalam dunia yang batas antara dunia citraan dan dunia nyata menjadi semakin tidak jelas, kita mengonsumsi objek tertentu tidak lagi berdasarkan nilai kegunaannya, melainkan berdasarkan citraan yang melampaui kegunaannya. Inilah citra yang diciptakan iklan. Iklan menciptakan berbagai citra tentang percintaan, kecantikan, nafsu, pemenuhan kebutuhan, dan hal menarik lainnya untuk menyebarkan objek-objek konsumsi. Dengan cara ini iklan menghapus ingatan konsumen terhadap nilai-guna utama benda dan menggantikannya dengan nilai-guna sekunder (Featherstone 2001: 33). Lebih jauh, Baudrillard (dalam Ritzer 2003: 137-138) menyatakan bahwa dengan mengonsumsi objek tertentu menandakan bahwa kita berbeda dengan orang yang mengonsumsi objek lain. Lebih mudahnya, kita mengonsumsi objek tertentu bukan atas dasar nilai guna yang ditawarkannya, melainkan nilai perbedaannya dengan objek lain. Dalam kaitannya dengan objek dalam penelitian ini, kita dapat melihat bahwa Nokia, demi mengejar keuntungan dari nilai tukar, menciptakan citra yang berbeda bagi masing-masing produknya, yaitu gairah untuk Nokia 8210 dan kepuasan untuk Nokia 8850.

1.2 Tujuan

Tujuan dari tulisan ini adalah memperlihatkan bahwa dalam iklan dibentuk sebuah citra untuk menghapus ingatan konsumen terhadap nilai guna utama objek dan menggantikannya dengan nilai guna sekunder, dengan cara membongkar struktur argumentasi yang membangun teks iklan.

1.3 Data

Data yang saya analisis adalah iklan Nokia tipe 8210 dan dalam majalah Kosmopolitan edisi September 2000 dan Iklan Nokia 8850 dalam majalah Bazaar edisi Februari 2001.

2. Kerangka Teori: Iklan dan Wacana Argumentatif

2.1 Iklan

Secara umum, Cook (2001: 9), dengan mengutip Collin Concise Dictionary, mendefinisikan iklan sebagai "the promotion of goods or services for sale through impersonal media" (promosi penjualan benda dan layanan melalui media yang tidak bersifat pribadi). Karena saya tidak membahas bentuk iklan lain yang tidak bertujuan menjual benda ataupun layanan, misalnya iklan layanan masyarakat ataupun kampanye partai politik, maka definisi ini tidak saya persoalkan.

Iklan selanjutnya dapat dikategorikan menurut medium, produk, teknik, dan konsumennya (Cook 2001: 12-14). Pertama, berdasarkan medium yang digunakannya, iklan dapat dikategorikan ke dalam bentuk-bentuk yang saling berbeda satu sama lain, misalnya iklan dalam majalah, koran, radio, televisi, ataupun pamflet. Kedua, Berdasarkan produknya, iklan dapat dikategorikan menjadi iklan produk, misalnya produk kesehatan, mobil, mesin cuci, makanan, dan layanan jasa; dan iklan non-produk, misalnya iklan amal, layanan masyarakat, dan kampanye partai politik. Ketiga, berdasarkan teknik yang digunakannya, iklan dapat dikategorikan ke dalam beberapa subkategori, yaitu: (i) hard-sell, biasanya berbentuk seruan langsung, dan soft-sell, biasanya berbentuk penyiratan bahwa hidup akan menjadi lebih baik dengan produk dimaksud; (ii) reason, biasanya menyiratkan anjuran pembelian, dan tickle, mengandalkan emosi dan suasana hati; (iii) slow drip dan sudden brust, dibedakan menurut frekwensi kemunculannya; dan (iv) short copy dan long copy, dibedakan berdasarkan durasi iklan atau jumlah kata yang digunakan. Keempat, berdasarkan konsumennya iklan dapat dikategorikan, misalnya, menurut gaya hidup, umur, jenis kelamin, dan tingkat ekonomi.

Dalam rangka melihat lebih dalam persoalan iklan dalam masyarakat yang hidup di tengah gemerlap citra yang diproduksi iklan, saya menganggap perlu untuk membicarakan masalah positioning. Ries dan Trout (1981: 11), dengan melihat banyaknya objek konsumsi dan promosi, mengemukakan bahwa masyarakat kita hari ini adalah masyarakat overcommunicated, yaitu masyarakat yang, bukan saja kebanjiran objek konsumsi –melainkan juga–, kebanjiran informasi. Oleh karena itu, menurut mereka, kreativitas dalam iklan tidak lagi menjadi satu-satunya cara untuk sukses. Di era seperti ini, yang dibutuhkan adalah positioning (Ries dan Trout 1981: 24). Dasar dari positioning bukanlah menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda, namun memanipulasi apa yang telah ada dalam pikiran (Ries dan Trout 1981: 5). Positioning tidak berkaitan dengan apa yang akan dilakukan dengan produk, ia lebih berkaitan dengan cara produk itu diterima secara baik dalam pikiran; karena dalam penjualan, citra produk lebih penting dari produknya (Ries dan Trout 1981: 5 dan 24).

2.2 Wacana Argumentatif

Wacana argumentatif biasanya digunakan untuk mempengaruhi penerima pesan (adressee) agar melakukan perubahan sikap dan tindakan (Renkema 2004: 175). Dalam wacana ini yang terpenting adalah fungsi ajakan (appeal) yang terdapat pada apa yang dalam model organon Buhler disebut sebagai aspek signal bahasa, di mana penerima pesan menangkap sesuatu dari pesan (Renkema 2004: 203).

Terdapat beberapa pandangan mengenai wacana argumentatif, yaitu: pertama, menurut Toulmin (1958), seperti ditulis Renkema (2004: 204), yang terpenting dalam sebuah teks argumentasi bukanlah bangunan logisnya, melainkan cara argumen tersebut dibangun. Bagi Toulmin, argumen merupakan motivasi gagasan atau klaim (claim) yang dinyatakan melalui statemen lain (data). Hubungan argumentatif antara klaim dan data disebut pembenaran atau penjaminan (warrant) (Renkema 2004: 204); kedua, berlawanan dengan Toulmin, dalam perspektif logis, yang terpenting dalam argumentasi adalah cara pemberian alasan (reasoning) bagi validitas argumen, dari mulai penyajian premis hingga penarikan kesimpulan (conclusion) (Renkema 2004: 205); ketiga, dalam perspektif retoris, yang terpenting dalam sebuah teks argumentatif adalah teknik dan efektivitasnya bagi penerima pesan (Renkema 2004: 205); keempat, Eemeren dan Grootendorst (1994), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 205), menganalisis argumentasi dengan pendekatan pragma-dialektis (pragma-dialectic). Menurut mereka argumentasi tersusun dari pragma, yaitu bagian dari ruang diskusi tempat para pesertanya saling bertindak tutur (moves); dan dialectic, bagian dari diskusi yang bersifat kritis yang, bersama moves, menjadi sarana eliminasi perbedaan pendapat (Renkema 2004: 205); kelima, menurut pendekatan sosial-psikologis, tujuan utama teks-teks argumentatif, seperti diskusi, iklan, dan pamflet, adalah ajakan terhadap penerima pesan untuk memikirkan, merasakan, dan melakukan tindakan tertentu (Renkema 2004: 207). Dalam pendekatan ini dibicarakan masalah sikap (attitude) sebagai sebuah faktor penting yang menentukan tingkah laku. Dalam iklan, perubahan sikap amat penting, karena dengan begitu evaluasi produk diharapkan menjadi lebih baik (Renkema 2004: 208).

Mengenai kualitas argumentasi, secara umum dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu: aspek kekuatan (strength), berupa konsekuensi yang mungkin terjadi (probability consequences), misalnya merokok dapat merugikan kesehatan; dan valensi, berupa konsekuensi yang diinginkan (desibrability consequences), misalnya jika ingin sehat, berhentilah merokok (Renkema 2004: 212). Lebih lanjut, Renkema memaparkan empat macam teknik yang biasa digunakan dalam membangun argumentasi, yaitu: (i) memberikan alasan, sebab, atau penjelasan; (ii) membuat perbandingan atau analogi; (iii) memberikan contoh; dan (iv) menyebutkan sumber yang otoritatif.

3. Analisis

3.1 Gairah dalam Iklan Nokia tipe 8210

Untuk hidup penuh gairah

Lewatkan hidup ini dengan penuh kesan. Karena Nokia 8210 menyertakan Picture Messaging, agar pesan SMS anda menjadi lebih berarti dengan lampiran gambar yang serasi. Anda mungkin menganggapnya sebagai ekspresi gairah kehidupan. Kami menyebutnya teknologi yang mengerti Anda.

Berdasarkan kerangka teori yang saya kemukakan di atas, tahap pertama analisis saya adalah mengidentifikasi iklan dan memasukkannya sesuai dengan kategori tertentu. Dalam hal ini, saya mengidentifikasi iklan tersebut hanya menurut kategori teknik, lebih tepatnya antara hard-sell dan soft-sell, dan konsumen; karena selain memiliki relevansi dengan apa yang hendak saya analisis selanjutnya, jelas pula bahwa iklan ini adalah iklan majalah yang menawarkan produk. Dari segi teknik yang digunakannya, di mana tidak ada sama sekali anjuran langsung, iklan ini masuk dalam kategori soft-sell. Bentuk penyiratannya dapat dilihat pada judul iklan untuk hidup penuh gairah. Konsumen yang dibidik dalam iklan ini pada dasarnya sangat abstrak, namun dapat dipahami melalui gambar (lihat lampiran) dan penggunaan kata gairah bahwa yang dibidik dalam iklan ini adalah remaja. Gairah, seperti terdapat dalam KBBI (2001: 326), dapat berarti 'keinginan', 'hasrat', dan 'keberanian yang kuat'. Dengan kata lain, iklan ini menyatakan sesuatu bagi mereka yang penuh keinginan, hasrat, juga keberanian yang kuat. Ketiga kata ini memiliki hubungan dengan hal lain, yaitu harapan, cita-cita, angan, tujuan, dan kata lain yang memiliki asosiasi makna sejenis yang, meskipun dapat juga diimpikan oleh orang tua, biasanya diimpikan oleh mereka yang masih remaja.

Tahap selanjutnya, seperti telah saya kemukakan dalam kerangka teori, adalah menelusuri struktur argumentasi yang dibangun dalam teks tersebut. Barangkali perlu disebutkan di sini, bahwa saya memandang iklan sebagai hal negatif. Saya sependapat dengan Featherstone (2001: 31 dan 33) bahwa iklan merupakan media "pendidikan" publik untuk menjadi konsumen yang di dalamnya terjadi manipulasi tanda secara aktif. Oleh karena itu saya berusaha menelusuri struktur argumentasi dalam iklan berdasarkan fungsi yang disebutkan Featherstone.

Berdasarkan struktur argumentasi yang dikemukakan Toulmin, saya mengurai teks menjadi beberapa bagian berikut.

Klaim : (1) hidup harus dilewatkan dengan penuh kesan

(2) SMS kurang berarti tanpa lampiran gambar

(3) Anda mungkin menyebut pesan SMS dengan lampiran gambar yang serasi adalah ekspresi gairah kehidupan

(4) teknologi yang menyertakan picture messaging adalah teknologi yang mengerti anda

Data : Nokia 8210 menyertakan picture messaging.

Warrant atau pembenaran, seperti telah disebutkan diatas, merupakan hubungan argumentatif antara klaim dan data. Bagi saya, dengan melakukan pendekatan logis terhadap wacana argumentatif, warrant adalah komponen paling menentukan bagi sebuah teks untuk dapat dikatakan argumentatif secara logis. Ia mempunyai nilai yang sama pentingnya dengan reasoning. Jika terdapat hubungan agumentatif, atau warrant dapat ditemukan, teks tersebut logis dan argumentatif; dan sebaliknya, jika tidak, maka teks tersebut bukanlah teks argumentatif, karena ia tidak logis.

Dari sini, analisis saya lanjutkan dengan penelusuran warrant yang menjadi media pembenaran klaim dengan menggunakan data. Sebelumnya, harus dipahami dulu bahwa masing-masing klaim haruslah saling mengaitkan membentuk sebuah kesatuan tema dalam wacana. Antara klaim (1), (2), (3), dan (4) pada dasarnya merupakan klaim-klaim yang terpisah. Yang berhubungan langsung dengan data hanyalah klaim (2), yaitu antara SMS kurang berarti tanpa lampiran gambar dengan Nokia 8210 menyertakan picture messaging. Warrant dalam hal ini adalah: Untuk menjadikan SMS lebih berarti, maka harus disertai gambar yang serasi. Dalam hal ini, yang muncul bukan pembenaran yang dapat dipertanggungjawabkan, namun hanya memunculkan klaim baru yang tidak lagi memiliki data. Jika klaim baru ini dihubungkan dengan klaim (1), akan terbentuk klaim baru yang kira-kira berbentuk untuk melewatkan hidup dengan penuh kesan SMS anda harus disertai gambar yang serasi. Selanjutnya, antara klaim (3) dan (4) dapat menjadi satu klaim: teknologi yang menyertakan picture messaging adalah teknologi yang mengerti ekspresi gairah kehidupan dan mengerti anda.

Struktur argumentasi ini akan semakin parah jika kita menyusun klaim-klaim tersebut menjadi sebuah teks argumentasi. Dengan demikian, gairah dalam teks ini tidak bermakna sebagaimana kita pahami ia sebagai "gairah", karena ia sama sekali tidak iklan tersebut sama sekali tidak menyelesaikan keinginan apa-apa selain "pengumuman" picture messaging. Dalam teks ini kualitas argumen tidak didasarkan pada probability consequence, melainkan pada desirability consequence yang hanya citraan. Inilah positioning dalam iklan, pencitraan yang menghasilkan apa yang disebut Baudrillard (dalam Piliang 2003: 97) fetisisme komoditi dalam masyarakat.

3.2 Kepuasan dalam Iklan Nokia tipe 8850

Nokia 8850

Kepuasan yang paling pribadi

Nokia 8850 mencerminkan suatu rancangan teknologi terkini, bagi mereka yang selalu mendambakan yang terbaik. Casing matt allumunium alloy nan elegan dan tampilan layar dengan sinar putih untuk kemudahan pembacaan. Menggunakan Nokia 8850 adalah kepuasan tersendiri.

Antena dan baterei internal memperindah bentuknya yang ramping. Kecanggihannya pun tak perlu diperdebatkan. Fitur-fitur seperti voice dialling, predictive text input, dan nada getar, menambah sederet kelebihan lain yang dimiliki.

Berbeda dengan iklan di atas, dari segi teknik yang digunakannya, menyiratkan anjuran pembelian, oleh karena itu iklan ini masuk dalam kategori reason. Bentuk penyiratannya dapat dilihat pada judul iklan Menggunakan Nokia 8850 adalah kepuasan tersendiri. Serupa dengan iklan Nokia 8210, konsumen yang dibidik dalam iklan ini pada dasarnya sangat abstrak, namun dapat dipahami melalui gambar (lihat lampiran) dan penggunaan kata kepuasan, bahwa yang dibidik dalam iklan ini adalah golongan mapan. kepuasan, seperti terdapat dalam KBBI (2001: 902), berarti 'tentang kepuasan', dan puas dapat berarti senang, gembira, dan kata lain yang memiliki arti final. Dengan kata lain, iklan ini menyatakan sesuatu bagi mereka yang menginginkan kesenangan, kepuasan, dan segala sesuatu yang sempurna. Ketiga kata ini memiliki hubungan dengan hal lain, misalnya pencapaian sesuatu yang final. Perasaan ini biasanya diimpikan oleh mereka yang telah beranjak dari masa remaja menuju masa yang lebih mapan.

Seperti juga analisis yang saya lakukan pada teks sebelumnya, tahap berikut ini, seperti juga telah saya kemukakan dalam kerangka teori, adalah menelusuri struktur argumentasi yang dibangun dalam teks tersebut. Dalam mengkaji teks ini, saya masih menggunakan formula negatif dalam memandang iklan. Bahwa iklan terjadi manipulasi tanda secara aktif.

Serupa dengan yang saya lakukan pada iklan Nokia tipe 8210, pada iklan ini saya akan menguji struktur argumentasi berdasarkan pendekatan logis dengan menguraikannya terlebih dahulu melalui apa yang dikemukakan Toulmin, yaitu:

Klaim : (1) Nokia 8850 mencerminkan teknologi terkini yang terbaik

(2) menggunakan Nokia 8850 adalah kepuasan tersendiri

(3) Kecanggihan Nokia 8850 tidak perlu diperdebatkan

Data : (1) Nokia 8850 memiliki casing matt allumunium alloy nan elegan.

(2) Nokia 8850 memiliki tampilan layar dengan sinar putih

(3) Nokia 8850 memiliki fasilitas voice dialling.

(4) Nokia 8850 memiliki fasilitas predictive text input.

(5) Nokia 8850 memiliki fasilitas nada getar.

Dengan nalar yang sama, saya menganggap warrant atau pembenaran sebagai hubungan argumentatif antara klaim dan data. Bagi saya, dengan melakukan pendekatan logis terhadap wacana argumentatif, warrant adalah komponen paling menentukan bagi sebuah teks untuk dapat dikatakan argumentatif. Ia mempunyai nilai yang sama pentingnya dengan reasoning. Jika terdapat hubungan argumentatif, atau warrant dapat ditemukan, teks tersebut logis dan argumentatif; dan sebaliknya, jika tidak, maka teks tersebut bukanlah teks argumentatif, karena ia tidak logis.

Dari sini, analisis saya lanjutkan dengan penelusuran warrant yang menjadi media pembenaran klaim dengan menggunakan data. Sebelumnya, harus dipahami dulu bahwa masing-masing klaim haruslah saling mengaitkan membentuk sebuah kesatuan tema dalam wacana.

Berbeda dengan klaim di atas, dalam teks ini antara klaim (1) dengan klaim (3) pada dasarnya merupakan klaim-klaim yang dapat disatukan. Buentuk yang dapat memperlihatkan kesatuan tersebut barangkali adalah: Nokia 8850 mencerminkan teknologi terkini yang terbaik, yang kecanggihannya tidak perlu diperdebatkan. Klaim ini dapat langsung berhubungan dengan, yaitu Nokia 8850 memiliki casing matt allumunium alloy nan elegan, tampilan layar dengan sinar putih, fasilitas voice dialling, fasilitas predictive text input, dan fasilitas nada getar. Dengan kata lain, warrant dalam teks ini adalah teknologi canggih terbaik yang dihubungkan dengan data yang disebutkan dalam iklan tersebut. Hubungan tersevut dapat dilihat sebagai hubungan logis.

Namun, terdapat dua buah pertanyaan lagi, yaitu: pertama, apakah warrant yang terbentuk dalam iklan tersebut betul-betul dapat dipertanggungjawabkan?; dan kedua, apakah itu semua memuaskan?

Bagi saya, warrant ini adalah klaim baru, karena datadata yang ditampilkan untuk mendukung gagasan utama iklan ini juga merupakan klaim pihak Nokia bahwa hal itu merupakan teknologi terkini yang terbaik. Teknologi yang disebutkan Nokia barangkali hanyalah klaim tntang apa yang dimaksud dengan teknologi canggih terbaik. Data tersebut, meski mungkin benar, sama sekali tidak menunjuk pada realitas di luar teks yang pada kenyataannya, bahkan pihak Nokia sendiri, telah melengkapi produk alat komunikasi yang keluar lebih awal dengan fitur-fitur yang ia sebutkan. Teknologi canggih hanyalah tipuan strategi positioning untuk membentuk citra kepuasan. Citra ini menjadi ikatan yang menyatukan antara kepentingan konsumen dan produsen. Bahkan, jika kita mengkaji lebih jauh, manusia pada dasarnya hidup tanpa mengenal rasa puas, apalagi dengan mengonsumsi teknologi yang ditawarkan dalam jumlah massal.masyarakat konsumen selalu berkepentingan untuk menjadikan objek konsumsi sebagai pembeda dirinya dengan orang lain, sehingga hasrat nyaris mustahil terpuaskan. Seperti dinyatakan oleh Deleuze dan Guattari (dalam Piliang 2003: 150), hasrat tidak akan pernah terpuaskan, karena ia diproduksi oleh mesin hasrat (desiring machine) yang memproduksi rasa kekurangan secara terus menerus. Sekali hasrat dicoba untuk dipenuhi dengan penggunaan objek tertentu, maka akan muncul hasrat baru yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh karena hasrat tidak disebabkan oleh kekurangan alamiah kita terhadap objek, melainkan kita mereproduksinya sendiri.

4. Kesimpulan

Berdasarkan analisis ini, saya menyimpulkan bahwa baik pada iklan Nokia 8210 dan 8850, dalam keduanya terdapat garis argumentasi yang hilang. Garis ini menandakan sebuah manipulasi yang dilakukan strategi positioning dalam memanipulasi apa yang telah kita ketahui tentang gairah dan kepuasan. Garis ini menandai sebuah usaha penghapusan nilai guna barang dan pemanfaatan nilai guna sekundernya untuk membentuk citra yang tidak dapat dihubungkan secara logis.


Daftar Acuan

Cook, Guy. 2001. The Discourse of Advertising (edisi kedua). London: Routledge

Featherstone, Mike. 2001. Postmodernisme dan Budaya Konsumen. Terjemahan Consumer Culture and Postmodernism oleh Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Bandung: Jalasutra.

Renkema, Jan. 2004. Introduction to Discourse Studies. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.

Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Terjemahan The Postmodern Social Theory oleh Muhammad Taufiq. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Sumber Data

Majalah Kosmopolitan, edisi September 2000.

Majalah Bazaar, edisi Februari 2001.

Linguistik: Morfologi

Infleksi pada Nomina dalam Bahasa Arab

Makyun Subuki

1. Pendahuluan

Berbeda dengan kebanyakan bahasa lain, kelas kata dalam bahasa Arab terbagi hanya menjadi tiga, yaitu ism (nomina), fi'l (verba), dan ђarf (kata tugas). Bentuk lainnya, seperti adjektiva (shifah), dhzarf (adverbia), dlamīr (pronomina), dan artikel demonstratif (al-isyārah), ketiganya masuk dalam kategori ism (Dahdah 1981: 25). Selain harf, semua bentuk yang termasuk dalam kategori nomina dan verba dapat berinfleksi. Dengan kata lain, pembahasan tentang infleksi pada nomina dalam bahasa Arab berkaitan juga dengan pembahasan infleksi pada semua kategori yang ada di dalamnya.

2. Kerangka Teori

2.1 Definisi Infleksi

Infleksi dapat didefinisikan dari dua arah yang berbeda: pertama, berdasarkan hubungan antara word-form dengan leksemnya; dan kedua, berdasarkan hubungannya dengan sintaksis. Berkenaan dengan hubungan antara word-form dengan leksemnya ini, Bauer (1988: 73) menyatakan bahwa infleksi menetapkan word-form dari leksem tertentu. Bahkan Stump (1998), dalam Spencer dan Zwicky (1998: 14), secara teknis mendefinisikan infleksi sebagai perangkat analisis dalam morfologi yang dapat digunakan untuk mengabstraksikan hubungan antarkata dalam sebuah paradigma (paradigm) dengan leksem intinya. Berkaitan dengan sintaksis, Katamba (1993: 205) menghubungkan infleksi dengan pembentukan kata dan afiksasi yang berkaitan dengan sintaksis. Beard (1998), dalam Spencer dan Zwicky (1998: 44), mempertegas pendapat Katamba dengan berpendapat bahwa infleksi membatasi fungsi gramatikal kata tanpa mengubah maknanya. Haspelmath (2002: 77) mempersempit pendapat ini dan menganggap bahwa kaidah infleksi hanya dapat berlaku setelah kaidah sintaksis berjalan (post-syntactic).

Linguistik: Pragmatik

Mengapa Pragmatik Perlu Dipelajari dalam Program Studi Linguistik?

Makyun Subuki

13 Desember 2006

1. Pendahuluan

Dalam jangka yang cukup lama, seperti diungkap oleh Yule (1996: 6), studi bahasa sangat dikuasai oleh kecenderungan untuk menjelaskan bahasa berdasarkan sistem formalnya, yaitu dengan menurunkan sistem yang terdapat dalam matematika dan logika, dan mengabaikan unsur pengguna bahasa. Sebagai tataran terbaru dalam linguistik, Pragmatik merupakan satu-satunya tataran yang turut memperhitungkan manusia sebagai pengguna bahasa. Meskipun memiliki fokus kajian yang serupa dengan semantik, yaitu makna, seperti akan saya jelaskan kemudian, makna yang dikaji dalam pragmatik berbeda dengan makna yang dikaji dalam semantik.

Makalah ini bertujuan menjelaskan pentingnya bidang pragmatik untuk dipelajari dalam program studi linguistik. Untuk tujuan tersebut, saya mengawali makalah ini dengan pembahasan mengenai pengertian pragmatik, perkembangannya, menjelaskan secara singkat topik-topik bahasannya, dan, dengan melihat perbedaan kajiannya dengan bidang lain dalam linguistik, menunjukkan pentingnya pragmatik.

2. Definisi Pragmatik

Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.

Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).

Leech (1983: 6 (dalam Gunarwan 2004: 2)) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.

3. Perkembangan Pragmatik

Mey (1998), seperti dikutip oleh Gunarwan (2004: 5), mengungkapkan bahwa pragmatik tumbuh dan berkembang dari empat kecenderungan atau tradisi, yaitu: (1) kecenderungan antisintaksisme; (2) kecenderungan sosial-kritis; (3) tradisi filsafat; dan (4) tradisi etnometodologi.

Kecenderungan yang pertama, yang dimotori oleh George Lakoff dan Haji John Robert Ross, menolak pandangan sintaksisme Chomsky, yaitu bahwa dalam kajian bahasa yang sentral adalah sintaksis, dan bahwa fonologi, morfologi, dan semantik bersifat periferal. Menurut Lakoff dan Ross, keapikan sintaksis (well-formedness) bukanlah segalanya, sebab, seperti sering kita jumpai, komunikasi tetap dapat berjalan dengan penggunaan bentuk yang tidak apik secara sintaksis (ill-formed), bahkan semantik (Gunarwan 2004: 6).

Kecenderungan kedua, yang tumbuh di Eropa, tepatnya di Britania, Jerman, dan Skandinavia (Mey 1998: 717 (dalam Gunarwan 2004: 6)), muncul dari keperluan terhadap ilmu bahasa yang secara sosial relevan, bukan yang sibuk dengan deskripsi bahasa semata-mata secara mandiri.

Tradisi yang ketiga, yang dipelopori oleh Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, dan terutama John L. Austin dan John R. Searle, adalah tradisi filsafat. Para pakar tersebut mengkaji bahasa, termasuk penggunaannya, dalam kaitannya dengan logika. Leech (1983: 2), seperti dikutip Gunarwan (2004: 7), mengemukakan bahwa pengaruh para filsuf bahasa, misalnya Austin, Searle, dan Grice, dalam pragmatik lebih besar daripada pengaruh Lakoff dan Ross.

Tradisi yang keempat adalah tradisi tradisi etnometodologi, yaitu cabang sosiologi yang mengkaji cara para anggota masyarakat tutur (speech community) mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka. Dalam etnometodologi, bahasa dikaji bukan berdasarkan aspek kegramatikalannya, melainkan berdasarkan cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Dengan kata lain, kajian bahasa dalam etnometodologi lebih ditekankan pada komunikasi, bukan tata bahasa (Gunarwan 2004: 6).

4. Beberapa Topik Pembahasan dalam Pragmatik

4.1 Teori Tindak-Tutur

Melalui bukunya, How to Do Things with Words, Austin dapat dianggap sebagai pemicu minat yang paling utama dalam kajian pragmatik. Sebab, seperti diungkap oleh Marmaridou (2000: 1 (dalam Gunarwan 2004: 8)), sejak itu bidang kajian ini telah berkembang jauh, sehingga kita dapat melihat sejumlah kecenderungan dalam pragmatik, yaitu pragmatik filosofis (Austin, Searle, dan Grice), pragmatik neo-Gricean (Cole), pragmatik kognitif (Sperber dan Wilson), dan pragmatik interaktif (Thomas).

Austin, seperti dikutip oleh Thomas (1995: 29-30), bermaksud menyanggah pendapat filosof positivisme logis, seperti Russel dan Moore, yang berpendapat bahwa bahasa yang digunakan sehari-hari penuh kontradiksi dan ketaksaan, dan bahwa pernyataan hanya benar jika bersifat analitis atau jika dapat diverifikasi secara empiris. Contoh.

(1) Ada enam kata dalam kalimat ini

(2) Presiden RI adalah Soesilo Bambang Yoedoyono

Dari contoh di atas, dapat dipahami bahwa para filosof yang dikritik Austin ini mengevaluasi pernyataan berdasarkan benar atau salah (truth condition), yaitu, sesuai contoh di atas, kalimat (1) benar secara analitis dan kalimat (2) benar karena sesuai dengan kenyataan. Persyaratan kebenaran ini kemudian diadopsi oleh linguistik sebagai truth conditional semantics (Thomas 1995: 30).

Austin (dalam Thomas 1995: 31) berpendapat bahwa salah satu cara untuk membuat pembedaan yang baik bukanlah menurut kadar benar atau salahnya, melainkan melalui bagaimana bahasa dipakai sehari-hari. Melalui hipotesis performatifnya, yang menjadi landasan teori tindak-tutur (speech-act), Austin berpendapat bahwa dengan berbahasa kita tidak hanya mengatakan sesuatu (to make statements), melainkan juga melakukan sesuatu (perform actions). Ujaran yang bertujuan mendeskripsikan sesuatu disebut konstatif dan ujaran yang bertujuan melakukan sesuatu disebut performatif. Yang pertama tunduk pada persyaratan kebenaran (truth condition) dan yang kedua tunduk pada persyaratan kesahihan (felicity condition) (Gunarwan 2004: 8). Contoh.

(3) Dengan ini, saya nikahkan kalian (performatif)

(4) Rumah Joni terbakar (konstatif)

Selanjutnya Austin, seperti juga ditekankan lebih lanjut oleh Searle (dalam Gunarwan 2004: 9), memasukkan ujaran konstatif, karena memiliki struktur dalam yang mengandungi makna performatif, sebagai bagian dari performatif (Austin 1962: 52 dan Thomas 1995: 49). Dalam contoh (4), struktur dalam ujaran tersebut dapat saja berbunyi Saya katakan bahwa rumah Joni terbakar.

Tindakan yang dihasilkan dengan ujaran ini mengandung tiga tindakan lain yang berhubungan, yaitu lokusi (locutionary act), ilokusi (illocutionary act), dan perlokusi (perlocutionary act) (Yule 1996: 48). Tindak lokusioner berkaitan dengan produksi ujaran yang bermakna, tindak ilokusioner terutama berkaitan dengan intensi atau maksud pembicara, dan tindak perlokusioner berkaitan dengan efek pemahaman pendengar terhadap maksud pembicara yang terwujud dalam tindakan (Thomas 1995: 49). Tindak-tutur, seperti dikembangkan lebih jauh oleh Searle (dalam Gunarwan 2004: 9), dapat berupa tindak-tutur langsung (direct speech-act) dan tindak-tutur tidak langsung (indirect speech-act). Dalam direct speeh-act terdapat hubungan langsung antara struktur kalimat dengan fungsinya, sedangkan dalam indirect speech-act hubungannya tidak langsung atau menggunakan (bentuk) tindak-tutur lain (Gunarwan 2004: 9; dan Yule 1996: 54-55).

Selain itu, Searle juga menyebut lima jenis fungsi tindak-tutur, yaitu asertif (assertive), direktif (directive), komisif (comissive), ekspresif (expressive), dan deklarasi (declaration) (Littlejohn 2002: 80; dan Yule 1996: 53-54). Asertif atau representatif merupakan tindak-tutur yang menyatakan tentang sesuatu yang dipercayai pembicaranya benar; direktif merupakan tindak-tutur yang menghendaki pendengarnya melakukan sesuatu; komisif merupakan tindak-tutur yang digunakan pembicaranya untuk menyatakan sesuatu yang akan dilakukannya; ekspresif merupakan tindak-tutur yang menyatakan perasaan pembicaranya; dan deklarasi merupakan tindak-tutur yang mengubah status sesuatu.

4.2 Prinsip Kerja Sama (Cooperative Principle)

Grice mengemukakan bahwa percakapan yang terjadi di dalam anggota masyarakat dilandasi oleh sebuah prinsip dasar, yaitu prinsip kerja sama (cooperative principle) (Yule 1996: 36-37 dan Thomas 1995: 61). Kerja sama yang terjalin dalam komunikasi ini terwujud dalam empat bidal (maxim), yaitu (1) bidal kuantitas (quantity maxim), memberi informasi sesuai yang diminta; (2) bidal kualitas (quality maxim), menyatakan hanya yang menurut kita benar atau cukup bukti kebenarannya; (3) bidal relasi (relation maxim), memberi sumbangan informasi yang relevan; dan (4) bidal cara (manner maxim), menghindari ketidakjelasan pengungkapan, menghindari ketaksaan, mengungkapkan secara singkat, mengungkapkan secara beraturan (Gunarwan 2004: 11 dan Thomas 1995: 63-64).

Berkaitan dengan prinsip kerja sama Grice di atas, pada kenyataannya, dalam komunikasi kadang kita tidak mematuhi prinsip tersebut. Hal ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 12-14), didasarkan atas beberapa alasan, misalnya untuk memberikan informasi secara tersirat (implicature) dan menjaga muka lawan bicara (politeness).

4.3 Implikatur (Implicature)

Grice, seperti diungkap oleh Thomas (1995: 57), menyebut dua macam implikatur, yaitu implikatur konvensional dan implikatur konversasional. Implikatur konvensional merupakan implikatur yang dihasilkan dari penalaran logika, ujaran yang mengandung implikatur jenis ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 14), dapat dicontohkan dengan penggunaan kata bahkan. Implikatur konversasional merupakan implikatur yang dihasilkan karena tuntutan konteks tertentu (Thomas 1995: 58). Contoh.

(5) Bahkan Bapak Menteri Agama menghadiri sunatan anak saya

(6) Saya kebetulan ke Inggris untuk studi selama dua tahun dan berangkat besok

Contoh (5) di atas merupakan implikatur konvensional yang berarti Bapak Menteri Agama biasanya tidak menghadiri acara sunatan, sedangkan contoh (6) merupakan implikatur konversasional yang bermakna ‘tidak’ dan merupakan jawaban atas pertanyaan maukah Anda menghadiri selamatan sunatan anak saya?

Berbeda dengan Grice, menurut Gazdar, dengan menggunakan prinsip kerja sama Grice, implikatur dapat dibedakan menjadi implikatur khusus dan implikatur umum. Yang pertama ada karena konteks ujaran, misalnya contoh (6) di atas, sedangkan yang kedua tidak, misalnya contoh (5) di atas.

4.4 Teori Relevansi

Teori relevansi yang dikembangkan oleh Sperber dan Wilson merupakan kritik terhadap empat maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama Grice. Menurut mereka, bidal yang terpenting dalam teori Grice adalah bidal relevansi, dan percakapan dapat terus berjalan meski hanya melalui bidal ini. Dalam teori relevansi dipelajari bagaimana sebuah muatan pesan dapat dipahami oleh penerimanya. Sperber dan Wilson (1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 22), menyebutkan bahwa bahasa dalam penggunaannya (language in use) selalu dapat diidentifikasi melalui hal yang disebutnya indeterminacy atau underspecification. Melalui hal tersebut, penerima pesan (addressee) hanya memilih sesuatu yang dianggapnya relevan dengan apa yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan (addresser) dalam konteks komunikasi tertentu. Contoh.

(7) Pastikan semua pintu terkunci jika meninggalkan ruangan ini.

Setiap pembaca dapat memahami bahwa pesan ini hanya berlaku jika ia akan meninggalkan ruangan tersebut untuk terakhir kalinya, bukan untuk setiap kali meninggalkan ruangan, misalnya untuk ke kamar mandi. Dengan kata lain, pesan ini berada dalam spesifikasi tertentu yang disepakati oleh addresser dan addressee dalam konteks komunikasi.

Selanjutnya, untuk menjelaskan cara sebuah pesan dipahami penerimanya, Sperber dan Wilson (1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 22), menetapkan tiga macam hubungan antara cue dan implicature, yaitu: pertama, ujaran merupakan sebentuk tindakan dari komunikasi ostensif, misalnya tindakan untuk membuat sesuatu menjadi jelas dan dapat dimengerti oleh penerima pesan; kedua, komunikasi tidak hanya memasukkan apa yang ada dalam pikiran pengirim pesan ke dalam pikiran penerima pesan, namun mencakup perluasan wilayah kognitif (cognitive environment) kedua belah pihak. Misalnya pada contoh (7) di atas, pengirim pesan dapat memperkirakan reaksi penerima pesan terhadap pesan yang disampaikannya, yaitu tidak perlu mengunci pintu jika keluar dalam batasan waktu dan situasi yang diperkirakan cukup aman; dan ketiga, explicature atau degree of relevance, tahapan yang harus dilewati untuk memahami implikatur dalam percakapan. Contoh yang ditulis Renkema (2004: 23) di bawah ini memberikan gambaran yang cukup jelas.

(8) A: Well, there is a shuttle service sixty euros one-way, when do you want to go?

B: At the weekend.

A: What weekend?

B: Next weekend. How does it works? You just turn up for the shuttle service?

A: That might be cheaper. Then that's fifty.

Dalam percakapan di atas, pemahaman penerima pesan terhadap apa yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan terjadi melalui beberapa tahapan. Dalam percakapan tersebut, B mengira A mengerti bahwa at the weekend berarti next weekend, padahal A harus memastikan dengan jelas setiap pemesanan pembelian tiket. Begitu juga A, ia mengandaikan B dapat mengerti bahwa that migh be cheaper dapat berarti If you purchase a ticket now, you have booked seat which costs 60 euros. If you buy ticket when you turn up, it costs 50 euros. Dalam hal ini, ujaran at the weekend, dalam pengertian degree of relevance, merupakan ujaran yang relevansinya rendah dan membutuhkan processing effort yang lebih besar, sedangkan that might be cheaper merupakan ujaran yang relevansinya lebih baik; karena semakin tinggi contextual effect maka semakin rendah ia membutuhkan processing effort.

4.5 Kesantunan (Politeness)

Konsep strategi kesantunan yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson diadaptasi dari konsep face yang diperkenalkan oleh seorang sosiolog bernama Erving Goffman (1956) (Renkema 2004: 24-25). Menurut Goffman (1967: 5), yang dikutip oleh Jaszczolt (2002: 318), "face merupakan gambaran citra diri dalam atribut sosial yang telah disepakati". Dengan kata lain, face dapat diartikan kehormatan, harga diri (self-esteem), dan citra diri di depan umum (public self-image). Menurut Goffman (1956), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 25), setiap partisipan memiliki dua kebutuhan dalam setiap proses sosial: yaitu kebutuhan untuk diapresiasi dan kebutuhan untuk bebas (tidak terganggu). Kebutuhan yang pertama disebut positive face, sedangkan yang kedua disebut negative face.

Berdasarkan konsep face yang dikemukakan oleh Goffman ini, Brown dan Levinson (1978) membangun teori tentang hubungan intensitas FTA dengan kesantunan yang terrealisasi dalam bahasa (Renkema 2004: 25). Intensitas FTA diekspresikan dengan bobot atau weight (W) yang mencakup tiga parameter sosial, yaitu: pertama, tingkat gangguan atau rate of imposition (R), berkenaan dengan bobot mutlak (absolute weight) tindakan tertentu dalam kebudayaan tertentu, misalnya permintaan "May I borrow your car?" mempunyai bobot yang berbeda dengan permintaan "May I borrow your pen?"; kedua, jarak sosial atau social distance (D) antara pembicara dengan lawan bicaranya, misalnya bobot kedua permintaan di atas tidak terlalu besar jika kedua ungkapan tersebut ditujukan kepada saudara sendiri; dan ketiga, kekuasaan atau power (P) yang dimiliki lawan bicara (Renkema 2004: 26). Contoh.

(9) a. Maaf, Pak, boleh tanya?

b. Numpang tanya, Mas?

Dalam contoh di atas terlihat jelas, ujaran (9a) mungkin diucapkan pembicara yang secara sosial lebih rendah dari lawan bicaranya, misalnya mahasiswa kepada dosen atau yang muda kepada yang tua; sedangkan ujaran (9b) mungkin diucapkan kepada orang yang secara sosial jaraknya lebih dekat (9a).

Politeness (kesantunan) dalam hal ini dapat dipahami sebagai upaya pencegahan dan atau perbaikan dari kerusakan yang ditimbulkan oleh FTA; semakin besar intensitas FTA mengancam stabilitas komunikasi, maka politeness strategy semakin dibutuhkan. Politeness, face work technique, yang bertujuan untuk mendapatkan positive face disebut solidarity politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan pujian; sedangkan politeness yang dilakukan untuk tujuan sebaliknya disebut respect politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan melakukan tindakan yang tidak kooperatif dalam komunikasi (Renkema 2004: 25). Berkaitan dengan politeness strategy ini, Brown dan Levinson (1978), seperti diungkapkan oleh Renkema (2004: 26), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat banyak cara untuk menghindari FTA yang dapat direduksi menjadi lima macam cara. Kelima strategi tersebut diurut berdasarkan tingkat resiko "kehilangan muka"; semakin tinggi resiko kehilangan muka, maka semakin kecil kemungkinan pembicara melakukan FTA. Dalam hal ini, Renkema (2004: 27) memberi contoh strategi tersebut.

(5) a. Hey, lend me a hundred dollars. (baldly)

b. Hey, friend, could you lend me a hundred bucks? (positive polite)

c. I'm sorry I have to ask, but could you lend me a hundred dollars? (negative polite)

e. Oh no, I'm out of cash! I forgot to go to the bank today. (off record)

Teori kesantunan lain dibahas oleh Leech (1983). Pakar ini membahas teori kesantunan dalam kerangka retorika interpersonal (Eelen 2001: 6). Dalam hal ini, Leech (dalam Eelen 2001: 8) menyebutkan enam bidal kesantunan, yaitu bidal kebijaksanaan (tact maxim), bidal kedermawanan (generosity maxim), bidal pujian (approbation maxim), bidal kerendahhatian (modesty maxim), bidal kesetujuan (aggreement maxim), bidal simpati (sympathy maxim); dan, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 19), ditambah bidal pertimbangan (consideration maxim).

5. Pragmatik dalam Linguistik

Seperti telah saya uraikan sedikit dalam sub 3 di atas, salah satu kecenderungan yang melatarbelakangi berkembangnya pragmatik adalah antisintaksisme Lakoff dan Ross. Dalam sintaksis, seperti dikemukakan oleh Yule (1996: 4), dipelajari bagaimana hubungan antarbentuk linguistis, bagaimana bentuk-bentuk tersebut dirangkai dalam kalimat, dan bagaimana rangkaian tersebut dapat dinyatakan well-formed secara gramatikal. Secara umum, sintaksis tidak mempersoalkan baik makna yang ditunjuknya maupun pengguna bahasanya, sehingga bentuk seperti kucing menyapu halaman, meskipun tidak dapat diverifikasi secara empiris, tetap dapat dinyatakan apik secara sintaksis.

Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata didasarkan atas prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi tetap dapat berjalan. Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan dalam etnometodologi, bahasa digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat dipahami, dan memang sering kita temukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun menggunakan bahasa yang tidak apik secara sintaksis; dan kedua, demi kebutuhan para anggota masyarakat tutur untuk mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka, selain tata bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam analisis bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama antara sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya studi pragmatik dalam linguistik, terletak pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa.

Pembahasan tentang makna membawa kita pada pentingnya semantik, yaitu tataran linguistik yang mengkaji hubungan antara bentuk-bentuk linguistik (linguistic forms) dan entitas yang terdapat di luar bahasa, dalam analisis bahasa. Berdasarkan truth conditional semantics, untuk dapat dinyatakan benar, sebuah pernyataan harus dapat diverifikasi secara empiris atau harus bersifat analitis. Dengan demikian, bentuk kucing menyapu halaman adalah bentuk yang tidak berterima secara semantis, karena tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan termasuk pernyataan logika. Namun demikian, pembahasan makna dalam semantik belum memadai, karena masih mengabaikan unsur pengguna bahasa, sehingga bentuk seperti seandainya saya dapat berdiri tentu saya tidak akan dapat berdiri dan saya akan datang besok pagi, meskipun bentuk seperti ini dapat saja kita jumpai, tidak dapat dinyatakan benar karena yang pertama menyalahi logika dan yang kedua tidak dapat diverifikasi langsung. Dengan kata lain, untuk menjelaskan fenomena pemakaian bahasa sehari-hari, di samping sintaksis dan semantik, dibutuhkan juga pragmatik yang dalam hal ini saya pahami sebagai bidang yang mengkaji hubungan antara struktur yang digunakan penutur, makna apa yang dituturkan, dan maksud dari tuturan. Kegunaan pragmatik, yang tidak terdapat dalam sintaksis dan semantik, dalam hal ini dapat ditunjukkan dengan, misalnya, bagaimana strategi kesantunan mempengaruhi penggunaan bahasa, bagaimana memahami implikatur percakapan, dan bagaimana kondisi felisitas yang memungkinkan bagi sebuah tindak-tutur.

Selanjutnya, untuk melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik, saya akan mengemukakan pendapat Leech (1980). Menurut Leech (dalam Eelen 2001: 6) perbedaan antara semantik dan pragmatik pada, pertama, semantik mengkaji makna (sense) kalimat yang bersifat abstrak dan logis, sedangkan pragmatik mengkaji hubungan antara makna ujaran dan daya (force) pragmatiknya; dan kedua, semantik terikat pada kaidah (rule-governed), sedangkan pragmatik terikat pada prinsip (principle-governed). Tentang perbedaan yang pertama, meskipun makna dan daya adalah dua hal yang berbeda, keduanya tidak dapat benar-benar dipisahkan, sebab daya mencakup juga makna. Dengan kata lain, semantik mengkaji makna ujaran yang dituturkan, sedangkan pragmatik mengkaji makna ujaran yang terkomunikasikan atau dikomunikasikan. Selanjutnya, kaidah berbeda dengan prinsip berdasarkan sifatnya. Kaidah bersifat deskriptif, absolut atau bersifat mutlak, dan memiliki batasan yang jelas dengan kaidah lainnya, sedangkan prinsip bersifat normatif atau dapat diaplikasikan secara relatif, dapat bertentangan dengan prinsip lain, dan memiliki batasan yang bersinggungan dengan prinsip lain.

Lebih jauh lagi, dalam pengajaran bahasa, seperti diungkapkan Gunarwan (2004: 22), terdapat keterkaitan, yaitu bahwa pengetahuan pragmatik, dalam arti praktis, patut diketahui oleh pengajar untuk membekali pemelajar dengan pengetahuan tentang penggunaan bahasa menurut situasi tertentu. Dalam pengajaran bahasa Indonesia, misalnya, pengetahuan ini penting untuk membimbing pemelajar agar dapat menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan situasinya, karena selain benar, bahasa yang digunakan harus baik. Dalam pengajaran bahasa asing, pengetahuan tentang prinsip-prinsip pragmatik dalam bahasa yang dimaksud penting demi kemampuan komunikasi yang baik dalam bahasa tersebut. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa kaitan antara pragmatik dan pengajaran bahasa adalah dalam hal kompetensi komunikatif yang mencakup tiga macam kompetensi lain selain kompetensi gramatikal (grammatical competence), yaitu kompetensi sosiolinguistik (sociolinguistic competence) yang berkaitan dengan pengetahuan sosial budaya bahasa tertentu, kompetensi wacana (discourse competence) yang berkaitan dengan kemampuan untuk menuangkan gagasan secara baik, dan kompetensi strategik (strategic competence) yang berkaitan dengan kemampuan pengungkapan gagasan melalui beragam gaya yang berlaku khusus dalam setiap bahasa.

6. Penutup

Seperti telah disebutkan di muka, tujuan tulisan ini adalah menunjukkan bahwa pragmatik penting dipelajari dalam program studi linguistik. Berdasarkan penjelasan di atas, saya melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik setidaknya dalam dua hal, pertama, pragmatik merupakan satu-satunya tataran dalam linguistik yang mengkaji bahasa dengan memperhitungkan juga penggunanya; kedua, berkaitan dengan ketidakmampuan sintaksis dan semantik dalam menjelaskan fenomena penggunaan bahasa sehari-hari, saya melihat kedudukan semantik dan pragmatik sebagai dua hal yang saling melengkapi. Selain itu, berkaitan dengan pengajaran bahasa, pragmatik berperan dalam pengembangan kompetensi komunikatif.

Daftar Acuan

Austin, John L. 1962. How to Do Things with Word (edisi kedua). Oxford: Oxfod University Press.

Brown, Penelope., dan Stephen C. Levinson. 1978. Politeness: Some Universal in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.

Eelen, Gino. 2001. A Critique of Politeness Theories. Manchester, UK: St. Jerome Publishing

Gunarwan, Asim. 2004. Dari Pragmatik ke Pengajaran Bahasa (Makalah Seminar Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah). IKIP Singaraja.

Jaszczolt, K.M. 2002. Semantics and Pragmatics: Meaning in Language and Discourse. Edinburgh: Pearson Education.

Renkema, Jan. 2004. Introduction to Discourse Studies. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.

Thomas. Jenny. 1995. Meaning in Interaction: an Introduction to Pragmatics. London/New York: Longman.

Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford. Oxford University Press.

Linguistik: Semantik

Semantik Kognitif

Makyun Subuki

22 Maret 2006

Kognitivisme mengacu pada teori linguistik yang berdasar pada pandangan tradisional tentang arah hubungan sebab akibat antara bahasa dan pikiran (Lyons 1995: 97). Kognitivisme merupakan bagian dari linguistik fungsional yang menawarkan prinsip yang sangat berbeda dari linguistik formal dalam memandang bahasa. Secara eksternal, linguis fungsional berpendapat bahwa prinsip penggunaan bahasa terwujudkan dalam prinsip kognitif yang sangat umum; dan secara internal mereka berpendapat bahwa penjelasan linguistik harus melampaui batas antara berbagai macam tingkatan analisis (Saeed 1997: 300). Misalnya, penjelasan tentang pola gramatikal tidak dapat hanya dianalisis melalui prinsip sintaksis yang abstrak, tetapi juga melalui sisi makna yang dikehendaki pembicara dalam konteks tertentu penggunaan bahasa (Saeed 1997: 300).

Penganut semantik kognitif berpendapat bahwa kita tidak memiliki akses langsung terhadap realitas, dan oleh karena itu, realitas sebagaimana tercermin dalam bahasa merupakan produk pikiran manusia berdasarkan pengalaman mereka berkembang dan bertingkah laku (Saeed 1997: 300). Dengan kata lain, makna merupakan struktur konseptual yang dikonvensionalisasi (Saeed 1997: 300) dan bahasa merupakan cara eksternalisasi dari seluruh mekanisme yang terdapat dalam otak (Jaszczolt 2002: 345). Proses konseptualisasi ini, menurut penganut semantik kognitif, sangat dipengaruhi oleh metafora sebagai cara manusia memahami dan membicarakan dunia. Selain itu, dalam semantik kognitif juga ditelaah proses konseptual pembicara, meliputi viewpoint shifting, figure-ground shifting, dan profiling (Saeed 1997: 302).

1. Metafora

Secara sederhana, metafora dapat didefinisikan sebagai penggunaan kata atau frasa untuk makna yang berbeda dari makna literalnya (Cruse 2004: 198). Metafora berhubungan dengan dua struktur fundamental lainnya, yaitu: pertama, skema pencitraan (image schemas), dasar kerangka kerja konseptual yang terbentuk dari persepsi dan seluruh pengalaman; dan kedua, dengan apa yang di sebut Fauconnier (1985 dan 1994), sebagaimana dikutip oleh Saeed (1997: 302), sebagai ruang mental (mental spaces), yaitu struktur mental tempat pembicara menata cara untuk memanipulasi referensi bagi berbagai entitas.

1.1 Pendekatan terhadap Metafora

Secara tradisional, terdapat dua pandangan tentang peran metafora dalam bahasa, pertama, classical view atau referential view (Jaszczolt 2002: 346). Berpijak pada sikap Aristoteles dalam memandang metafora sebagai bentuk bahasa dekoratif yang bukan bahasa biasa, metafora didefinisikan sebagai alat retoris yang digunakan pada saat tertentu dan untuk menghasilkan efek tertentu. Dengan demikian, pandangan ini menganggap metafora sebagai bentuk bahasa tidak normal yang menuntut sebentuk interpretasi dari pendengar atau pembacanya (Saeed 1997: 303); kedua, romantic view, berpendapat bahwa metafora menyatu dalam bahasa dan pikiran secara integral sebagai cara mempersepsi dunia.

Dengan dimensi yang agak berbeda, Searle (1979), seperti dikutip oleh Jaszczolt (2002: 346), memilah pandangan tradisional tentang metafora dalam dua pandangan lainnya, yaitu: pertama, comparison view, berpendapat bahwa ungkapan metaforis membandingkan persamaan atau kemiripan antarobjek yang ada di dalamnya; dan kedua, interaction view, beranggapan bahwa terdapat oposisi verbal (interaction) antara makna ungkapan yang digunakan secara metaforis dengan maknanya secara literal.

Menurut Searle, seperti dikutip Jaszczolt (2002: 347), kedua pandangan tersebut keliru berdasarkan dua alasan. Pertama, ungkapan metaforis memiliki kebenarannya sendiri secara aktual, terlepas dari makna literalnya. Dengan kata lain, unsur persamaan antarobjek tersebut tidak dibutuhkan. Kedua, dengan mengandaikan adanya oposisi verbal dalam ungkapan metaforis, maka metafora lebih dekat pada makna literalnya daripada makna yang dikehendaki pembicaranya. Fenomena metafora, menurutnya, mirip dengan fenomena ironi dan indirect speech-act. Atas dasar ini, ia berpendapat bahwa makna yang metaforis adalah yang bukan makna kalimat, karena makna kalimat adalah makna literal. Lebih mudahnya, makna kalimat adalah makna literal, dan makna pembicara adalah makna metaforis. Ia lebih jauh menganggap metafora sebagai gejala pragmatik, yaitu pemberian maksud yang berbeda makna dari apa yang diungkapkan.

Senada dengan Searle, Max Black, seorang filosof Amerika, menolak pandangan tentang pembandingan dalam comparison view yang diturunkan dari pemahaman terhadap makna literal. Black menggambarkan metafora sebagai proyeksi seperangkat implikasi asosiatif (analogi) yang dapat berupa kesamaan, kemiripan, dan atau analogi dari satu entitas (secondary subject) ke entitas lain (primary subject) (Cruse 2004: 199-200).

Serupa dengan Searle yang melihat metafora dalam kerangka pragmatik, Sperberg dan Wilson (1986), dalam Cruse (2004: 200), melihat metafora dalam kerangka teori relevansi. Dengan teori relevansi, mereka menganggap metafora bukanlah sesuatu yang aneh dan khas, dan menyederhanakannya menjadi kasus ekstrem dari yang "terlanjur disebutkan". Misalnya, ungkapan the children stood in a circle round the teacher tidak dianggap metafora, sedangkan electronic pet dianggap metafora. Padahal kita sama-sama membutuhkan interpretasi untuk kata CIRCLE dan PET.

Berlawanan dengan Searle, Cohen (1979), yang dikutip oleh Jaszczolt (2002: 351), berpendapat bahwa makna pada metafora terletak pada kalimat dan bukan pembicara. Ia percaya bahwa terdapat pembatalan ciri tertentu objek lain yang tergambar melalui komponen semantik makna kata, misalnya kata GOLD 'emas' memiliki makna metaforisnya sendiri karena pasti menolak ciri yang dimiliki METAL 'baja'. Senada dengan Cohen, Haas, seperti dikutip Cruse (2004: 199), berpendapat bahwa setiap kata memiliki medan semantik yang mencakup seluruh kemungkinan pemanfaatannya secara kontekstual dalam batas normal. Konteks yang paling normal ini, akibat tingginya tingkat pemakaian, membentuk wilayah inti medan semantik (core). Sebaliknya, interaksi antara dua kata sebagai bentuk pemanfaatan kontekstual akan membentuk medan semantik baru yang menunjuk pada makna baru pula, salah satunya metafora. Dengan ini mereka menolak adanya gagasan pure idea, private thought, dan hidden intentions dalam metafora dan mendekati metafora dengan analisis yang mirip dengan analisis komponensial.

1.2 Metafora dalam Semantik Kognitif

Pandangan semantik kognitif terhadap metafora serupa dengan pandangan romantic view, bahwa metafora menyatu dalam bahasa sehari-hari, sehingga pembedaan antara yang literal dan yang figuratif tidaklah relevan. Namun, mereka juga menolak pandangan romantik bahwa seluruh bahasa merupakan metafora. Penganut semantik kognitif percaya bahwa metafora merupakan bentuk yang sangat penting dalam memahami dan membicarakan dunia, namun mereka juga menerima kehadiran konsep lain yang bukan metafora (Saeed 1997: 304). Mereka juga menolak pandangan Searle tentang metafora yang membedakan makna literal dan makna pembicara. Bagi mereka, kebanyakan makna bersifat metaforis dan kita tidak dapat memahaminya hanya dengan melakukan reinterpretasi, namun dengan cara berhubungan langsung dengan cara koseptualisasinya (Jaszczolt 2002: 350). Metafora, dalam semantik kognitif, merupakan proses kognitif dari konseptualisasi yang bergantung pada pemetaan antara dua bidang, atau tiga menurut Lakoff (Cruse 2004: 201), yaitu source domain (tenor), biasanya konkret dan familiar; target domain (vehicle), lebih abstrak (Jaszczolt 2002: 354 dan Saeed 1997: 303); dan set of mapping relation atau korespondensi. Korespondensi yang terdapat dalam metafora ini, menurut Lakoff, terdiri dari dua macam, yaitu korespondensi ontologis dan korespondensi epistemis. Korespondensi ontologis mengacu pada sifat dasar dari dua entitas yang dihubungkan tersebut, sedangkan korespondensi epistemis mengacu pada pengetahuan kita yang menghubungkan kedua entitas tersebut. Cruse (2002: 201-202) mengutip contoh yang diulas Lakoff tentang korepondensi dalam ANGER IS HEAT OF FLUID IN CONTAINER.

(1) a. korespondensi ontologis

source: HEAT OF FLUID target: ANGER

container body

heat of fluid anger

heat scale anger scale

pressure in container experienced pressure

agitation of boiling fluid experienced agitation

limit of container's resistance limit of person ability to suppress anger

explosion loss of control

b. korespondensi epistemik

When fluid in a container is heated When anger increase beyond a

beyond a certain limit, pressure certain limit, 'pressure' increases

increases to point at which container to point at which person losses

explodes. control.

An explosion is damaging to container Loss of control is damaging to person

and dangerous to bystanders. and dangerous to other.

Explosion can be prevented by applying Anger can be suppress by force of will

sufficient force and counter pressure

Controlled release of pressure may anger can be released in a controlled

occur, which reduces danger of way, or vented harmlessly thus reducing

explosion. level.

Korespondensi yang disebutkan Lakoff ini bersifat parsial, karena tidak semua unsur, misalnya aspek memasak dalam HEAT OF FLUID dan ANGER, dapat berkorespondensi secara baik.

Lebih jauh lagi, Lakoff, seperti dikutip Jaszczolt (2002: 355), menyebutkan bahwa terdapat ungkapan metaforis yang didasarkan atas konseptualisasi metaforis, contoh.

(2) LIFE IS A JOURNEY.

misalnya: She had to make her own way in life.

The road to success leads through hard work.

(3) TIME IS MONEY.

misalnya: To save time, let's drive there.

I spent a lot of time on this project.

Terdapat juga beragam spatial metafora, contoh.

(4) HAPPY IS UP, SAD IS DOWN.

misalnya: I'm feeling down.

He's really low today.

I'm feeling up.

I'm in high spirits.

(5) HAVING CONTROL OR FORCE IS UP, BEING SUBJECT TO CONTROL OR FORCE IS DOWN.

misalnya: I have control over her

He's in superior position.

He is under my control.

He ranks above me in strength.

Contoh di atas menunjukkan bahwa metafora bukanlah bahasa figuratif yang berbeda dari bahasa normal, tetapi berada inheren dalam persepsi dan konseptualisasi kita terhadap dunia (Jaszczolt 2002: 355).

1.3 Ciri Metafora

Terdapat empat ciri metafora: pertama, conventionality (Saeed 1997: 305), berkaitan dengan kebaruan ide di dalamnya. Ciri ini digunakan oleh penganut semantik kognitif untuk menyanggah pendapat konsep dead metaphor, metafora yang, akibat sering digunakan, maknanya bergerak dari makna metaforis menuju makna literal. Menurut mereka, metafora tersebut tidaklah mati, hanya terkonvensionalisasi, menjadi lebih umum, dan tanpa disadari menguasai konseptualisasi kita (Jaszczolt 2002: 355).

Kedua, sistematicity (Saeed 1997: 305-306), berkaitan tidak hanya dengan cara metafora mengambil sebuah titik perbandingan antara berbagai macam objek, tetapi juga menyangkut bagaimana metafora membangun kerangka logis bagi dirinya sendiri. Misalnya, berkaitan dengan ungkapan metaforis LIFE IS A JOURNEY, kelahiran sering diidentikkan dengan kedatangan, misalnya She has a baby on the way; sedangkan kematian identik dengan keberangkatan, misalnya He's gone.

Ketiga, asymmetry (Saeed 1997: 306), metafora tidak membandingkan dua objek dari dua arah, melainkan satu arah, dan perbandingannya tidak bersifat sebanding. Metafora hanya mendorong pendengar untuk melekatkan ciri milik source untuk target.

Keempat, abstraction (Saeed 1997: 307), berhubungan dengan sifatnya yang asimetris, metafora berusaha untuk memindahkan sifat yang terdapat pada sesuatu yang lebih konkret kepada sesuatu yang lebih abstrak. Misalnya HEAT OF FLUID. Bersifat lebih konkret dari ANGER.

2. Image Schemas

Image Schemas berkaitan dengan cara kita membangun dasar struktur konseptual yang kita gunakan dalam mengorganisir pikiran kita melintasi bidang tingkatan yang lebih abstrak (Saeed 1997: 308). Image schemas ini berkait dengan empat macam satuan semantik dasar, yaitu category, quantity, time, dan force.

Kategori berkaitan dengan istilah container atau wilayah tertentu daru ruang (Cruse 2004: 204). Segala sesuatu dapat masuk berada dalam kategori tertentu, atau dapat dimasukkan dan dikeluarkan dari kategori tertentu (containment). Kategorisasi ini bersifat transitif, misalnya jika A berada dalam B dan B berada dalam C, maka A berada dalam C.

Quantity berkaitan dengan dua metafora di bawah ini:

(a) MORE IS UP, LESS IS DOWN

Misalnya: Fatal accidents are well down on last year

Our pass rate is much higher than their

(b) LINEAR SCALE ARE PATHS

Misalnya: John by far the best in the class

John is streets ahead of bill in academic ability

Time dapat dipahami dalam kaitannya dengan benda (things), lokasi (location), jarak (distances), dan gerak (motion) (Cruse 2004: 204). Waktu adalah benda, melampau benda berarti gerak, interval waktu berarti jarak, masa depan berada di depan dan masa lalu berada di belakang (lokasi). Waktu dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu bergerak (moving), misalnya The holyday passed peacefully enough; dan statis (stationary), misalnya We're coming up to exam time.

Causation (force), kekuatan yang menyebabkan pergerakan yang dapat berupa perbuatan ataupun ucapan (Cruse 2004: 205), misalnya Frustation drove Jane to murder.

Daftar Acuan

Cruse, Alan. 2004. Meaning in Language: an Introductiuon to Semantics and Pragmatics (edisi kedua). New York: Oxford University Press.

Jaszczolt, K.M. 2002. Semantics and Pragmatics: Meaning in Language and Discourse. Edinburgh: Pearson Education.

Lyons, John. 1995. Linguistic Semantics. New York: Cambridge University Press.

Saeed. John. I. 1997. Semantics. Malden: Blackwell Publisher Inc.