This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday, November 30, 2008

Musik Populer

Musik Populer dan Kesadaran Musik Kita[1]

Makyun Subuki[2]

Setiap diskusi tentang musik populer biasanya terbentur pada persoalan dasar tentang definisi musik populer itu sendiri. Maksudnya, apakah terminologi musik populer itu berkaitan dengan “jenis musik” tertentu atau dengan “musik yang sedang populer”.[3] Jika mengacu kepada yang pertama, maka yang disebut musik populer haruslah dapat diidentifikasi secara tertutup, yaitu bahwa jenis musik tersebut merupakan sebuah jenis musik yang berbeda dari jenis musik lainnya, misalnya rock, jazz, dan blues. Pada kenyataannya, sangat sulit bagi kita untuk melihat batasan yang jelas tentang apa yang kita sebut sebagai musik populer, sehingga terminologi musik populer lebih sering mengarah kepada kategori yang kedua: “musik yang sedang populer”. Akan tetapi, jika kita menyerah dan menganggap musik populer masuk dalam kategori yang kedua, maka itu sama dengan kita merumuskan musik populer secara negatif, bukan ini-bukan itu dan atau ini juga-itu juga. Akibat lebih jauh dari pandangan semacam ini adalah bahwa musik sebagai sebuah disiplin harus dikeluarkan dari khazanah pengetahuan yang kita sebut “ilmu”, sehingga diskusi kita ini bukan saja menjadi tidak berguna, melainkan juga tidak berdasar. Selain itu, sikap semacam ini tentu saja berbahaya, bukan hanya bagi perkembangan musik itu sendiri, melainkan juga bagi intelektualitas kita. Sebab, barangkali (ingat! barangkali), mengeluarkan musik dari disiplin ilmiah tidak terlalu berbahaya dibandingkan pengaruh musik populer terhadap cara kita menghargai musik secara umum.

Ulasan di atas barang kali terlalu singkat untuk pembahasan kita yang terlalu rumit, tetapi mungkin cukup bagi saya untuk mengatakan bahwa dengan tujuan untuk melihat permasalahan yang disebabkan oleh musik populer secara lebih baik –kalau bisa dibilang begitu–, saya terlebih dulu mencoba menggunakan dua pendekatan tersebut secara sinkronik dalam memahami hakikat musik populer, yaitu bahwa kategori musik populer yang pertama digunakan untuk menganalisis kategori musik populer yang kedua dalam satu satuan waktu yang telah ditentukan, misalnya musik populer tahun delapan puluhan dan tahun sembilan puluhan. Dengan cara seperti ini, karakter musik populer akan dilihat dalam sebuah potongan waktu yang khas, sehingga abstraksi tentang hakikat musik populer menjadi mungkin. Setelah itu, baru kita dapat menjawab pertanyaan: bagaimana pengaruh musik populer secara umum, dan lebih khusus lagi di Indonesia? Lalu, Bagaimana pengaruhnya bagi cara kita memandang musik secara umum?

Untuk mempermudah, sebagai acuan bagi diskusi kita, saya kutipkan di sini pendapat Adorno tentang musik populer. Pendapat ini merupakan pendapat yang paling “menantang” dari sekian banyak pendapat tentang musik populer. Adorno mengemukakan bahwa musik populer memiliki tiga batasan utama, yaitu standarisasi, melemahkan kemampuan mendengar, dan berfungsi sebagai semen sosial. Ciri yang pertama berkaitan dengan produksi (penciptaan) musik populer, yang kedua berkaitan dengan konsumsi musik populer, dan yang ketiga berkaitan dengan fungsi sosialnya.

Musik Populer sebagai “Yang Populer”

Pembahasan musik populer sebagai “yang populer” tidak dapat dilepaskan dari pembahasan budaya populer secara umum. Untuk mempersingkat, saya ingin membuat sebuah batasan yang sedikit (atau sangat) serampangan tentang budaya populer, yaitu budaya yang dibentuk melalui dua hal: industri dan media.

Kekuatan produksi, seperti dikemukakan oleh Baudrillard, dibentuk bukan untuk menggali nilai guna (utility value), melainkan untuk mencari nilai lebih (profit) dari nilai tukar (exchange value). Hal ini mendorong para pemodal untuk terus meningkatkan kuantitas dan memperluas jaringan produksi, sehingga pada akhirnya kita hidup dalam "pasar" yang over-suplay produk. Kondisi seperti ini selanjutnya menjadikan konsumsi sebagai faktor penting dalam meningkatkan keuntungan, dan para pemodal perlu membangun suasana yang “kondusif” sebagai dasar pola konsumsi masyarakat. Dengan kata lain, dapat dikemukakan bahwa demi mendapatkan profit dari nilai tukar, pemodal sibuk mengampanyekan citra-citra tertentu produk yang melebihi nilai guna barang. Hal ini tentu saja dilakukan melalui iklan. Iklan menciptakan berbagai citra tentang percintaan, kecantikan, nafsu, pemenuhan kebutuhan, dan hal menarik lainnya untuk menyebarkan objek-objek konsumsi. Dengan cara ini iklan menghapus ingatan konsumen terhadap nilai-guna utama benda dan menggantikannya dengan nilai-guna sekunder. Permainan citra ini selanjutnya membentuk sebuah masyarakat yang over-communicated atau kebanjiran informasi, sehingga sulit untuk dibedakan mana yang citraan dan mana yang realitas, sebab tidak ada lagi ruang untuk melakukan refleksi.

Sebagai bagian dari budaya populer yang dibentuk melalui industri dan media, musik populer tidak dapat melepaskan diri dari sifat barang-barang industri lainnya. Maksudnya, musik populer adalah musik yang tidak lagi hanya ditujukan untuk kepentingan musik itu sendiri (artistik), melainkan juga untuk tujuan lain (profit). Ironisnya, karena mungkin kewenangan dalam produksi musik lebih banyak dikuasai oleh pemodal daripada pemusik, tujuan profit pada akhirnya menggeser tujuan artistik.[4] Dengan kata yang lebih kasar, dapat dikemukakan bahwa para produser musik populer (bahkan juga para pemainnya) membiayai pembuatan album musik populer tidak didasarkan atas keinginan untuk menciptakan sebuah karya yang bermutu, melainkan lebih didasarkan atas fungsi ekonomis yang dapat dicapai dari produksi musik populer.

Untuk memperoleh keuntungan yang tinggi, musik akhirnya diproduksi sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk dikonsumsi secara massal. Setidaknya, saya mencatat dua hal. Pertama, pola musik yang bertujuan akhir konsumsi massal ini biasanya hanya menyalin gaya yang sudah ada dan menambahkan sedikit inovasi di sana-sini. Tidak mengherankan apabila kemudian muncul beberapa istilah seni baru, seperti pastiche, parodi, kitsch, camp, dan skizofrenia. Penyalinan pola sebuah karya musik klasik dalam sebuah lagu rock atau penyalinan bunyi karakter suara dari satu band ke band lain dapat dikategorikan sebagai patiche, yaitu sebuah karya yang disusun dari elemen yang dipinjam dari karya lain atau karya masa lalu yang lebih mengutamakan ciri kesamaan daripada perbedaan. Hal ini dapat terlihat beberapa lagu Deep Purple atau Yngwie Malmsteen yang mencoba mengaransemen lagu mereka dengan pola aransemen klasik, atau dalam usaha Bill Saragih meniru warna vokal Louis Amstrong, atau dalam karakter bunyi drum Metallica dalam Justice for All yang meniru karakter bunyi drum tahun 70-an. Parodi tidak berbeda dengan pastiche. Hanya saja, jika pastiche dapat dianggap imitasi murni yang menegaskan persamaan, maka parodi adalah imitasi yang ingin memberikan kritik terhadap dan atau bermain-main dengan karya masa lalu. Konser Tiga Diva dengan iringan orkestra yang mencoba menghancurkan kesan keagungan musik klasik dengan menyandingkannya bersama lagu populer, atau usaha Krakatau mencampurkan jazz dengan musik sunda sebagai bentuk dialog musik antaretnik, dan atau usaha Rhoma Irama mendefinisikan dangdut sebagai campuran khas musik Melayu-India-rock adalah sebuah parodi. Begitu juga genre campur sari dan tarling. Lebih parah dari itu, pengambilan secara semena-mena gaya (style) vokal Jawa dalam lagu Kangen Band atau pengengambilalihan melodi lagu klasik sebagai latar dalam beberapa lagu hip-hop adalah kitsch, sampah estetik. Dengan semangat reproduksi, adaptasi, dan simulasi, kitsch mendemistifikasi nilai-nilai seni dan menjadikannya objek konsumsi budaya massa. Camp sedikit berbeda, meskipun ia juga mendemistifikasi keluhuran nilai seni. Camp lahir dari kebosanan, dan mengatasinya dengan ketidaknormalan dan ketidakorisinalan. Permainan drum a la John Bonham di tahun 70-an dapatlah dianggap camp. Fenomena skizofrenia, yang menandai putusnya rantai penandaan antara penanda dan petanda, di Indonesia barangkali dapat dilihat dalam perkembangan musik underground, dan terutama punk. Di negeri asalnya, punk menjadi musik yang menyuarakan pemberontakan, baik secara sosial maupun secara estetik. Di Indonesia, sebagian besar penganut punk hanya mengikuti modenya.

Kedua, agar seolah-olah musik menjadi lebih mudah dipahami, disertakan lirik yang vulgar. Dalam kasus musik populer ini, lirik dapat dianggap menjadi bagian yang, meminjam bahasa agama, “wajib kifayah”. Maksudnya begini: akan tampak berdosa jika sebuah album musik populer tidak memiliki satu lagu pun yang disertai lirik. Padahal, bagi saya, penyertaan lirik yang vulgar pada dasarnya mereduksi esensi musikal dari sebuah musik, sebab apresiasi terhadap musik dihalangi oleh keberadaan lirik. Pendengar dipaksa memahami bahwa makna sebuah karya musik ditentukan berdasarkan liriknya. Akibatnya, hanya sebagai contoh, banyak orang salah paham bahwa “minor” sama dengan “sedih”. Jadi, tidaklah mengherankan bahwa hampir tidak ada masyarakat yang bersikap kritis terhadap hampir seluruh lagu yang termasuk dalam kategori musik populer, yaitu bahwa lirik lagu-lagu populer kebanyakan membicarakan sebuah tema yang sama dan bentuk musiknya dikemas dalam format yang kurang-lebih sama,[5] karena orang-orang saat ini tidak lagi mampu melihat perbedaan musik berdasarkan bentuk musikalnya. Kebanyakan orang, sebagai contoh, dapat menjelaskan dengan fasih ciri lirik yang membedakan sebuah genre yang disebut “musik religi” dari “musik populer” biasa, padahal tidak ada esensi musik yang berbeda dari keduanya. Sebab, kata yang membentuk lirik bukanlah musik, bahkan seandainya yang dimaksud adalah unsur musik dalam kata seperti halnya yang biasa dimaksud dalam puisi. Dapat saya tambahkan di sini tuduhan saya bahwa dari sekian banyak pendengar musik di Indonesia, hanya sedikit orang yang mampu membedakan karakter musik antara satu penyanyi dengan yang lain berdasarkan kategori yang benar-benar batasan dari musik. Singkatnya, lirik dalam musik populer telah menjadikan penikmatnya lupa bahwa musik pada dirinya sendiri tidak mengatakan apa-apa.

Berkaitan dengan media, dapat dikatakan bahwa musik populer adalah musik “yang populer” karena iklan, dan iklan mengatakan kepada kita sesuatu yang “dusta”. Iklan mengemukakan sesuatu hanya dalam rangka mencari keuntungan. Semenjak meledaknya budaya menonton televisi, pembuatan video klip, penyiaran konser musik di televisi, dan juga iklan musik lewat acara lainnya (misalnya sebagai lagu tema dan ilustrasi dalam sinetron) telah menjadi bagian sah musik populer. Dalam rangka “iklan”, video klip dibuat sangat menarik dengan menghadirkan citra-citra berlebihan yang menghadirkan kisah percintaan, wanita cantik, mobil mewah, kostum yang mencolok mata, dan sebagainya. Konser musik, dalam rangka mengiklankan dirinya sendiri atau dalam rangka mengiklankan produk lain, dibuat sedemikian megah dengan taburan lampu yang mubazir, kostum yang sangat menarik, atraksi musik yang memikat, pembawa acara (atau kadang penyanyinya) yang cantik dan menggairahkan, dan kadang-kadang diselingi ceramah rohani da’i kondang yang kerap main sinetron. Dalam sinetron-sinetron, bagian dari lagu populer diiklankan berkali-kali lewat ilustrasi adegan (biasanya sebagai latar dari peristiwa dramatis artifisial yang dibintangi oleh bintang film yang cantik atau tampan) dan sebagai lagu tema. Uniknya, gambar-gambar bergerak dalam video klip, sinetron, dan peliputan konser musik di televisi pada titik tertentu menggeser unsur bunyi sebagai karakter utama musik, sehingga orang bukan saja lupa bahwa musik bukanlah lirik-lirik, orang malahan lupa bahwa musik pada dasarnya adalah bunyi.

Dari uraian di atas, tampaknya dapat dipahami bahwa musik yang lahir dari jantung budaya populer secara estetis memiliki dua kelemahan: pertama, dalam proses penciptaannya, musik populer lebih sering didasarkan atas tujuan industri (profit) daripada tujuan musik itu sendiri; dan kedua, apresiasi masyarakat terhadap musik populer bukan didasarkan atas pertimbangan musik sebagai sebuah karya seni, melainkan didasarkan atas apa yang dikatakan iklan musik tentang musik.

Namun demikian, dapat kita tambahkan di sini sebuah pertanyaan: Apakah segala seni yang berasal dari industri pasti buruk? Lebih jauh lagi, bagaimana kita dapat mengetahui keburukannya?

Musik Populer yang “Musik Populer”

Sebagaimana dapat kita pahami, seluruh penjelasan tentang “yang populer” tersebut hampir seluruhnya mengarah kepada apa yang berada di luar musik, seperti industri, media, lirik, video klip, mobil mewah, wanita cantik, dan tentu saja para da’i kondang.

Jadi, apa itu musik populer?

Seorang personil utama dari sebuah grup band papan atas pernah ditanya, “Mengapa musik Anda begitu-begitu aja?”. Si artis menjawab, “Karena, bagi kami, musik adalah kejujuran”. Seorang seniman yang giat menciptakan dan mempromosikan genre musikalisasi puisi pernah ditanya tentang motivasinya membuat musikalisasi puisi. Menurut seniman tersebut musikalisasi puisi patut diberdayakan sebagai upaya menangkal pengaruh buruk musik populer yang syairnya “dangkal”. Dua pendapat tersebut saya coba ringkas: si artis mendefinisikan musik sebagai “kejujuran bermain”, sedangkan si seniman mengidentifikasi musik populer dari “lirik yang dangkal”. Izinkan saya menuduh: yang pertama, karena terlanjur menikmati (sadar ataupun tidak) kebiasaan untuk tidak berjarak dari penilaian indah sebagai enak didengar dan enak didengar sebagai laku keras, gagal memisahkan antara “musik” (sebagai ilmu) dan “memainkan musik” (sebagai keterampilan); dan yang kedua, karena kebanjiran musik populer dengan lirik vulgar, menyederhanakan musik populer dari liriknya semata dan akhirnya gagal mengidentifikasi (memahami) ciri instrinsik musik populer.

Musik populer, menurut Adorno, adalah musik yang telah terstandarisasi, dari segi yang umum hingga segi yang khusus. Batasannya adalah, pertama, bahwa lagu dalam musik populer kedengaran semakin mirip, sehingga dapat dipertukarkan antara yang satu dengan yang lain; dan kedua, untuk menyembunyikan standarisasi, lagu dalam musik populer dihiasi dengan individualisasi semu. Sebagai contoh, standarisasi dalam segi yang umum pada musik populer dapat terlihat dalam pola perpindahan akord (chord) yang itu-itu saja, misalnya progresi akord II-V-I menjadi pola standar dalam musik jazz dan I-II-V dalam lagu populer era dulu; sedangkan standarisasi pada segi yang khusus dapat dilihat dalam (hal ini biasanya juga berasal dari segi yang umum tadi), misalnya, antara berbagai lagu yang diciptakan Melly Goeslaw bagian depan dan refrainnya dapat saling dipertukarkan. Lebih jauh lagi, sebagai contoh lain, dapat dilihat juga bahwa progresi yang digunakan dalam refrain kebanyakan lagu Melly Goeslaw, Radja, dan Bunglon adalah sama, yaitu II-V-I-IV-VII-III-VI. Progresi ini adalah progresi yang sama dengan yang terdapat dalam lagu I will Survive, Autumn Live, dan Fly me to the Moon. [6] Selanjutnya, contoh dari individualisasi semu dalam musik populer dapat dilihat dalam aransemen ulang lagu lama, misalnya dengan penyanyi baru, dengan progresi akord yang sedikit dimodifikasi, dengan genre musik yang berbeda, dan atau dengan karakter instrumentasi yang berbeda; atau lebih jauh lagi dalam improvisasi pola nyanyian dalam musik jazz. Deretan contoh ini masih dapat ditambah dengan deretan permasalahan non-musikal yang tidak memedulikan otentisitas, misalnya bahwa gaya Agnes Monica meniru Britney Spears.

Saya kira Adorno benar ketika mengatakan bahwa terdapat standarisasi dalam musik populer yang selanjutnya melemahkan kualitas mendengar penikmatnya. Akan tetapi terlalu berlebihan apabila kita mengatakan bahwa seluruh hal yang datang dari musik populer adalah buruk. Sebagai contoh, dapat saya kemukakan di sini bahwa aransemen Bimbo terhadap beberapa puisi religius Taufik Ismail, menurut saya, sangat bagus. Dalam artian bahwa Bimbo mengaransemen puisi tersebut dalam bentuk musik yang lebih-kurang baik. Hal ini, dengan meminjam pendapat Al-Ghazali tentang musik religius, dapat dipertimbangkan dari penerimaan yang dihasilkan dalam mendengar musik tersebut. Musik yang digubah Bimbo didesain secara halus untuk konsumsi yang menuntut keseriusan mendengar dalam suasana yang khidmat, sehingga tidak cocok dipentaskan secara terbuka (out door). Respon yang diharapkan dari musik semacam ini adalah ketenangan mendengarkan yang dalam kasus ini, yaitu bahwa musik ini adalah musik religi, berujung pada pemahaman keagamaan. Sebaliknya, musik religi yang diproduksi saat ini didesain dalam bentuk musik yang lebih cocok untuk sebuah pentas terbuka. Pendengarnya dengan mudah mendengarkan musik melalui hingar-bingar tata suara yang memekakkan telinga. Para pendengar juga bebas hilir-mudik mencari tempat yang mereka sukai sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing, misalnya dengar musik sambil joget-joget, dengar musik sambil peluk-pelukan dengan pacar tercinta, dengar musik sambil mabuk-mabukan, dan atau bahkan dengar musik sambil telefon-telefonan. Tentu saja hal ini menjadikan tujuan utama menghadiri konser musik religi ini menjadi gagal terpenuhi, bahkan seandainya terdapat ceramah agama yang terdapat di antara penampilan musik tersebut. Barangkali, jika Bimbo ingin mengatakan bahwa “beragama secara baik tidak harus membenci musik”, maka konser musik religi tersebut ingin mengatakan bahwa “anda tidak perlu lagi beragama secara baik”.

Kesadaran Musik Kita: Sebuah refleksi yang terlambat

Baru-baru ini, di Yogyakarta, beberapa musisi jazz menyelenggarakan acara untuk mempopulerkan di masyarakat pedesaan, sehingga masyarakat desa mampu mengapresiasi musik jazz. Alasannya adalah, menurut mereka, musik jazz berasal dari rakyat kecil, jadi sudah selayaknya musik jazz dikembalikan kepada rakyat kecil. Terus terang, meskipun sama sekali tidak berniat membubarkannya, saya merasa sedikit terganggu dengan program ini. Untuk apa menyosialisasikan jazz kepada masyarakat desa? Apakah ada hal penting terkait dengan kenyataan bahwa jazz harus diterima masyarakat desa? Apakah tidak ada musik lain yang lebih penting diketahui oleh orang desa selain jazz? Apakah benar jika mengembalikan musik jazz kepada masyarakat yang bukan merupakan tempat lahirnya jazz? Saya tidak ingin mengatakan bahwa musik jazz tidak baik bagi masyarakat desa. Tentu saja, ada nilai positif dari pertunjukan jazz di desa. Akan tetapi, bagi saya, memperkenalkan musik jazz ke desa-desa sama dengan membangun sebuah restoran cepat saji, misalnya Mc Donald, di tengah-tengah desa.

Sudah menjadi kebiasaan orang Indonesia untuk menganggap apa yang datang dari Barat adalah lebih baik dari apa yang ada dalam negeri sendiri. Dengan cara seperti ini pembangunan dilaksanakan. Pembangunan adalah kemajuan. Segala sesuatu yang menghalangi pembangunan dianggap anti kemajuan dan sebaiknya disingkirkan. Ironisnya, hal ini merambat kepada hal-hal yang menyangkut identitas bangsa. Budaya yang diimpor bersama ideologi pembangunan dianggap lebih baik dibandingkan budaya kita sendiri, sehingga ada anggapan bahwa mencintai dan mempertahankan budaya lokal sama dengan tidak tahu budaya yang baik dan sekaligus anti kemajuan. Dalam seni juga ada pandangan seperti itu: mencintai seni impor sama dengan cinta kemajuan dan mempertahankan seni lokal sama dengan keterbelakangan. Meskipun tidak dapat berarti sebaliknya, dapat dikatakan bahwa anggapan tersebut adalah salah.

Persoalan menyangkut musik populer di Indonesia barangkali lebih pelik dari yang dibayangkan Adorno. Di Indonesia, musik populer ibarat pisau bermata ganda. Di satu sisi, musik populer mengakibatkan sejumlah masalah budaya seperti halnya masalah budaya yang terjadi di tempat lain di negeri tempatnya berasal, misalnya bahwa musik populer menjadikan musik kehilangan aura dan memalingkan pendengarnya dari kekuatan kapitalisme yang opresif. Di lain sisi, musik populer di Indonesia menghasilkan sejumlah masalah budaya yang khas, misalnya bahwa musik populer membumi-hanguskan musik khas Indonesia sambil memberangus unsur budaya lain yang khas Indonesia juga. Seperti juga di Barat, di Indonesia, pada mulanya musik diapresiasi secara terbatas dalam sebuah ruang yang tertutup, sehingga ritualitasnya dan sakralitasnya terjaga.[7] Semenjak ditemukan teknologi rekaman dan juga media televisi, musik telah mengalami “pengalengan”. Untuk mendengarkannya, Anda tidak perlu memerhatikannya dengan serius layaknya dalam ruang konser musik klasik. Anda dapat menyetel siaran musik di televisi, atau dapat juga menyetel musik melalui kaset, lalu mendengarkannya sambil membaca lowongan kerja di koran, sambil main ular tangga, sambil memasak sayuran, atau bahkan Anda dapat mengacuhkannya sama sekali.

Haruslah diakui bahwa musik populer di Barat, seberapapun akibat buruknya bagi pemenggalan aura dari musik yang agung, lahir dari tradisi barat. Seberapapun jauh bentuknya, musik populer masih menggunakan aturan-aturan yang juga umum digunakan dalam tradisi musik yang dihancurkannya. Di Indonesia, musik populer adalah produk impor. Musik populer di Indonesia menghancurkan tradisi lain yang sama sekali tidak ikut membentuknya. Jadi, masalah yang ditimbulkan musik populer di Indonesia lebih dari sekadar memudarnya aura seni. Musik populer di Indonesia telah menghancurkan bangunan tradisi yang sudah dipelihara sekian lama dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk di dalamnya tradisi musik. Musik populer telah mengusir tradisi musik khas Indonesia keluar dari kesadaran masyarakatnya. Lebih parah lagi, masyarakat Indonesia, dan sepertinya ini didukung oleh Pemerintah, dengan senang hati membenci dan mengusir tradisinya sendiri lalu menggantikannya dengan budaya rendah hasil impor. Jadi, tidak usah menangis jika Reog Ponorogo dan lagu Rasa Sayange diakui oleh Malaysia. Bukankah sudah lama kita membuangnya dan menggantikannya dengan modern dance dan lagu-lagu Kangen Band?

Tentu saja, tidak ada tradisi yang betul-betul alami. Musik melayu dan keroncong sedikit-banyak mendapat pengaruh dari musik Arab dan musik Portugis. Begitupun musik Jawa, Sunda, dan Bali yang mendapat pengaruh dari tradisi agama Hindu dan Islam. Tidak ada yang betul-betul alami. Akan tetapi, harus diakui bahwa dalam musik Melayu dan musik Keroncong, terdapat semacam dialog antara tradisi musik lokal dan tradisi musik pendatang. Bahkan lebih intens lagi dalam musik Jawa. Sebagai tambahan, musik-musik tersebut masih memiliki dimensi sakral dan ritual, bahkan secara serius menjaganya, sehingga memungkinkan aura musik tetap terjaga. Dalam musik populer tidak ada dialog, setidaknya yang sungguh-sungguh. Musik populer hanya bersedia melakukan dialog dengan tradisi lokal sejauh terdapat keuntungan di dalamnya, dan kebanyakan tidak ada. Kalau perlu, atas nama “kemajuan”, tradisi lokal harus musnah. Itulah anehnya: dengan senang hati kita memusnahkan rumah yang kita bangun dengan susah payah untuk kemudian hidup ngontrak berpindah-pindah.

Daftar Bacaan

Budiarto, Teguh. 2001. Musik Modern dan Ideologi Pasar. Yogyakarta: Tarawang Press.

Featherstone, Mike. 2001. Postmodernisme dan Budaya Konsumen. Terjemahan Consumer Culture and Postmodernism oleh Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kleden, Ignas. 1996. Pergeseran Nilai Moral, Perkembangan Kesenian, dan Perubahan Sosial. Dalam Ignas Kleden. 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Munsyi, Alif Danya. 1999. Underground, Ngandergron, Ngegron. Dalam Alif Danya Munsyi. 2005. Bahasa Menunjukkan Makna. Jakarta: KPG

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Bandung: Jalasutra.

Postman, Neil. 1985/1995. Menghibur Diri sampai Mati: Mewaspadai Media Televisi. Terjemahan Amusing Ourselves to Death oleh Inggita Notosusanto. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Terjemahan The Postmodern Social Theory oleh Muhammad Taufiq. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Sarup, Madan. 1993/2007. Poststrukturalisme dan Postmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis. Terjemahan An Introductory Guide to Poststructuralism and Postmodernism oleh Medhi Aginta Hidayat.Yogyakarta: Jendela.

Storey, John. 1996/2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop: Pengantar Komprehensif teori dan Metode. Terjemahan Culturel Studies and the Study of Popular Culture: Theories and Methods oleh Layli Rahmawati. Yogyakarta: Jalasutra.

Strinati, Dominic. 1995/2003. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Terjemahan An Introduction to Theories of Popular Culture oleh Abdul Mukhid. Yogyakarta: Bentang Budaya.



[1] Disampaikan dalam Progeni ke-8, KMM RIAK UIN Jakarta, 3 Desember 2008.

[2] Ketua KMM RIAK 1999-2000

[3] Kalau saja dokumentasinya masih ada, salah satu senior PSM UIN Jakarta, Iwan Buana Fr., pernah menulis masalah ini dengan sangat bagus, khusus buat anak KMM RIAK UIN Jakarta.

[4] Sama sekali tidak berarti sebaliknya bahwa jika industri musik dikuasai pemusik, maka tujuan artistik akan mengalahkan tujuan profit.

[5] Barangkali kita dapat meminjam kritik Adorno terhadap Musik Romantik, yaitu bahwa Musik Romantik disusun dengan suatu “cetakan mati”. Seperti itulah kiranya musik populer saat ini: disusun berdasarkan sebuah “cetakan mati”.

[6] Tentu lebih menarik jika ada ruang untuk menggabungkan batasan Adorno tentang musik popular dengan strukturalisme yang berkembang dari pemikiran linguistik de Saussure.

[7] Barangkali ini penting diketahui: “Anak RIAK seharusnya tahu banyak, atau setidaknya pernah dengar, perdebatan antara Adorno dan Benjamin tentang hilangnya aura dalam seni”.