Thursday, January 29, 2009

Semiotik: Analisis Foto

Mahasiswa, Polisi, dan Kekerasan: Analisis Semiotik terhadap Foto dalam Jurnal Fantasma

Makyun Subuki

Pendahuluan
Latar Belakang
Indonesia barangkali merupakan negara yang cukup akrab dengan kekerasan, mulai dari pembantaian dukun santet, perang antarsuku, kerusuhan dan penjarahan, hingga bom bunuh diri. Bahkan, mahasiswa, sebagai lambang kaum terpelajar, sering menyuarakan pendapatnya melalui kekerasan, sehingga berakhir dengan bentrokan fisik dengan aparat. Begitu akrabnya kita dengan kekerasan, sehingga berita yang sehari-hari kita dapat tentang kekerasan, baik melalui televisi maupun melalui media cetak, tidak lagi terasa menyeramkan. Hal ini mungkin juga dapat berarti sebaliknya, bahwa berita kekerasan yang kita lihat dan baca sehari-hari telah menjadikan kita terbiasa dengan kekerasan.

Yang lebih buruk lagi, media, selain membiasakan kita terhadap kekerasan, kadang juga menjadi pelaku atau, setidaknya, menjadi pemicu kekerasan. Dengan kata lain, sekadar membuat hipotesis yang menjadi dasar bagi tujuan dalam penelitian ini, media dan kekerasan mempunyai hubungan timbal balik. Dalam bentrokan-bentrokan yang melibatkan mahasiswa dan aparat, misalnya, banyak media yang mengidentifikasi kekerasan yang pada dasarnya dilakukan secara “kolaboratif” tersebut sebagai ‘milik’ polisi dan bukan 'milik' mahasiswa. Hal tersebut dapat kita lihat, misalnya, dalam foto yang ditampilkan dalam media massa yang menyudutkan polisi. Padahal, mahasiswa, bahkan mungkin juga kita semua, adalah pelaku kekerasan juga. Jika polisi cenderung melakukan kekerasan secara fisik, maka, barangkali, kita cenderung melakukannya lewat wacana secara simbolis, misalnya melalui provokasi.

Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menangkap kekerasan psikologis yang terdapat dalam wacana, dan lebih spesifik lagi kekerasan melalui fotografi di Jurnal Fantasma dengan cara menangkap konotasi yang terdapat dalam jalinan antara teks dan gambar yang saya teliti. Tulisan ini sama sekali tidak bertujuan membela polisi, apalagi menyatakan bahwa polisi bebas dari tindak kekerasan, tetapi hanya bermaksud menunjukkan bahwa kita, dan terutama media massa. melakukan kekerasan juga.

Sumber Data
Untuk tujuan ini, saya mengambil data dari Jurnal Fantasma: Oase Fotojurnalistik, yaitu Edisi II Desember 2000 dan Edisi III Mei 2001. Jurnal ini merupakan media fotografi berkala milik Galeri Foto Jurnalistik Antara yang diterbitkan sebagai ajang ekspresi, komunikasi, dan apresiasi pecinta fotografi. Saya menggunakan dua buah foto, salah satunya merupakan foto inti yang menjadi objek penelitian saya, sedangkan yang lainnya merupakan foto pendamping yang saya gunakan sebagai pembanding.

Kerangka Teoretis
Untuk dapat mencapai apa yang saya maksud dalam tujuan, saya membagi kerangka teoretis ini menjadi dua bagian, yaitu kekerasan media sebagai tema penelitian dan semiotik sebagai alat analisis.

Kekerasan dalam Media
Untuk memahami kekerasan, saya memulainya dengan arti yang paling sederhana sekaligus paling abstrak, yaitu definisi kamus. Poerwadarminta (1976: 488) mendefinisikan kekerasan menurut dua hal, yaitu sifat keras dan paksaan. Adapun keras sendiri, seperti diungkap Poerwadarminta (1976: 487-488), mengandungi makna padat, kuat, lantang, bersifat memaksa, lebat, cepat, kaku, tegar, dan tidak mau mengalah. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa kekerasan merupakan hal abstrak. Jadi, menurut saya kerusuhan, perang, dan bom bunuh diri, misalnya, hanyalah perwujudan kekerasan yang pada dasarnya bersemayam dalam diri manusia.

Kekerasan, seperti diungkap oleh Hardiman (2005: 100), berakar dalam diri manusia secara epistemologis, antropologis, dan sosiologis. Secara epistemologis, Hardiman (2005: 100-103) menyebutkan bahwa kekerasan berkaitan dengan proses pengenalan manusia. Dalam hal ini, pengenalan terkait dengan (1) dominasi, karena mengenali berarti mendefinisikan, dan pendefinisian dapat berkembang menjadi dehumanisasi terhadap orang lain; dan (2) stereotifikasi, yaitu identifikasi orang lain sebagai bagian kelompok tertentu, yang dapat berkembang menjadi stigmatisasi. Dengan kata lain, kekerasan mungkin terjadi karena korban tidak dianggap sebagai sesama, melainkan sebagai “yang lain”. Korban kekerasan dalam pandangan pelaku bukanlah “manusia seperti kita”, melainkan bagian dari kelompok lain, misalnya nonmuslim, nonpribumi, etnis Cina-Tionghoa, pelanggar aturan, aparat, tentara, dan antek orde baru. Dalam media massa, stigmatisasi yang dilakukan didasari pandangan bahwa yang distigmatisasi adalah “bukan kita”.

Secara antropologis, seperti diungkap Hardiman, kekerasan berkaitan dengan nilai, yaitu sesuatu yang kita hargai. Pengalaman manusia terhadap nilai bersifat ekstatis, yaitu menciptakan perasaan eksistensi ego. Nilai kecantikan, misalnya, mendorong seorang untuk berdandan dan berhias, kemudian melalui penghargaan orang lain eksistensi ego merasa terangkat. Pada puncaknya, nilai dapat mengatasi kecemasan terhadap kematian. Pelaku bom bunuh diri, misalnya, bersedia mati demi agamanya karena memandang kematian tersebut sebagai perjuangan demi agama. Pengabadian “kekerasan aparat” lewat fotografi, meskipun menempuh risiko yang tinggi, menjadi mungkin dilakukan karena seorang fotografer memandang hal tersebut sebagai perwujudan nilai kebaikan.

Secara sosiologis, kekerasan yang tertanam dalam diri manusia berasal dari tatanan masyarakat. Dalam hal ini, kekerasan dipahami sebagai strategi protes terhadap struktur sosial yang timpang. Dalam sebuah negara yang tiran, di mana represi, dominasi, dan marginalisasi kelompok tertentu banyak dilakukan, kekerasan dapat timbul ketika kelompok yang dirugikan merasa memiliki peluang untuk membongkarnya. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa stigmatisasi dan penghayatan nilai secara ekstrim belum cukup untuk melahirkan kekerasan, melainkan dipengaruhi juga oleh kondisi sosial masyarakat.

Selanjutnya, berkaitan dengan perwujudan kekerasan yang tertanam dalam diri manusia ke dalam tindakan nyata, Haryatmoko (2003: 48-49) menyebutkan bahwa kekerasan yang paling sulit dibongkar adalah kekerasan psikologis, yaitu bentuk kekerasan yang secara aktif digunakan untuk, misalnya, melemahkan lawan politik, meniadakan oposisi, dan mengorek informasi. Bentuk kekerasan ini juga sering digunakan oleh kelompok radikal sebagai alat cuci otak untuk membentuk semangat kelompok dalam bentuk militansi dan fanatisme. Dapat dikatakan bahwa kekerasan psikologis berhubungan dengan akar epistemologis dan antropologis kekerasan dalam diri manusia.

Selain itu, Haryatmoko (2003: 96) juga menyebut kekerasan simbolis yang terjadi melalui penggunaan wacana publik. Bentuk kekerasan seperti ini dapat muncul, misalnya, dalam demagogi, kebohongan, kemunafikan, manipulasi, dan provokasi. Dalam hal ini, terkait dengan masalah yang saya teliti, selain dilakukan oleh pihak dominan, kekerasan simbolis, misalnya yang terdapat dalam media, dapat juga dilakukan oleh kelompok marginal yang bermaksud memprovokasi massa untuk membenci kelompok dominan.

Konotasi dan Gambar-Teks dalam Semiotik Barthes
Teori konotasi dikembangkan Barthes dari konsep tanda de Saussure yang membagi tanda atas signifiant dan signifiě. Dengan ini, de Saussure berusaha melihat tanda sebagai sebuah kesatuan antara dua entitas mental yang terdiri atas signifiant (signifier atau penanda), yaitu image acoustique atau citra bunyi, dan signifiě (signified atau petanda), yang disebutnya sebagai konsep (de Saussure 1973: 146), misalnya citra bunyi kelinci merupakan penanda yang petandanya adalah "konsep tentang kelinci". Asosiasi antara citra bunyi dan konsep dapat dilihat dalam gambar berikut.
Gambar 1. Contoh konsep tanda de Saussure (diadaptasi dari de Saussure 1973: 147)

Teori tanda de Saussure ini dikembangkan oleh Barthes menjadi lebih dinamis. Dalam hal ini Barthes, pertama, mengembangkan konsep signifikasi, yaitu proses yang mengikat penanda (expression (E)) dengan petandanya (content (C)) (Barthes 1964: 48 dan Nöth 1990: 310). Oleh karena itu, Barthes menambahkan R (relation) yang menghubungkan penanda dengan petanda, sehingga dalam konsep tanda Barthes tanda adalah E-R-C. Kedua, Barthes tidak melihat jalinan petanda-penanda dalam hubungan yang statis, melainkan, karena adanya signifikasi, dinamis. Pergerakan hubungan ini dapat mengarah kepada metalanguage (E-R-(E-R-C)), di mana petanda (C) tingkat kedua terdiri atas E-R-C (Barthes 1964: 93 dan Nöth 1990: 311), dan atau connotation ((E-R-C)-R-C) (Barthes 1964: 90-91 dan Nöth 1990: 311), yaitu bahwa E pada penandaan tingkat kedua terdiri atas E-R-C. Berikut saya gambarkan pengembangan konsep tanda de Saussure oleh Barthes.
Gambar 2. Pengembangan teori tanda de Saussure oleh Barthes

Selain konotasi, saya juga mengutip pendapat Barthes tentang fungsi tulisan yang terdapat bersama gambar. Menurut Barthes (dalam Nöth 1990: 453-454) teks yang menjelaskan gambar berfungsi, pertama, menambat (anchorage), yaitu mengarahkan pembaca kepada makna tertentu dalam memaknai petanda gambar; dan kedua, memancarkan (relay), yaitu teks dan foto sebagai dua unsur yang saling melengkapi, bahwa keduanya merupakan bagian dari sebuah rangkaian sintagmatik yang lebih besar.

Analisis
Untuk mempermudah penguraian, sebelum memulai analisis, saya paparkan terlebih dahulu bagaimana foto ditampilkan bersama teks. Seluruh teks yang menjelaskan foto tersebut, termasuk nama rubrik, saya masukkan sebagai bagian analisis. Dalam foto di bawah ini, seluruh teks dalam halaman tersebut saya pertimbangkan sebagai bahan analisis, kecuali biografi fotografer. Berikut rangkaian foto-teks tersebut saya urai.

Gambar 3. diambil dari Jurnal Fantasma: Oase Fotojurnalistik. Edisi III Mei 2001

Teks:
Judul: “Menembak Mahasiswa”
Fotografer: Irwin Ferdiansyah
Rubrik: Foto Spot Pilihan.

Latar cerita: Foto ini dibuat saat ribuan mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia berunjuk rasa dan memaksa memasuki gedung DPR dengan merobohkan pagar gedung pada 17 januari lalu. Sebelumnya ia sempat dilarang pihak keamanan untuk memotret. “Saya nekat menerobos masuk ke dalam barikade pengamanan dan hanya sempat memotret dua frame. Setelah itu langsung keluar sebelum diusir oleh aparat” tuturnya.

Komentar 1. Edy Purnomo, pewarta foto lepas. “Si Pewarta foto berhasil memotret momen yang hanya terjadi dalam sekejap. Itu bisa terjadi karena ia berada dalam posisi dan waktu yang tepat (right time in the right place) sehingga hasilnya menjadi menarik. Jika terlambat sedikit saja hasilnya akan berbeda. Yang juga menarik adalah gerakan mahasiswa yang sangat decisive dan itu berhasil ia abadikan.”

Komentar 2. Rully Kesuma, redaktur foto Koran Tempo. Sebagai sebuah karya foto spot, karya irwin cukup luar biasa. Di samping berhasil memotret pada tempat dan waktu yang tepat, foto tersebut juga mampu memperlihatkan sebuah simbol yang mencerminkan sebuah dominasi aparat terhadap masyarakat sipil. Gestur aparat yang kokoh dengan kuda-kudanya dan senapan gas air mata yang siap ditembakkan memperlihatkan posisinya sebagai penguasa di tempat itu, sementara mahasiswa yang berhamburan sebagai sosok yang tak berdaya.

Komentar 3. Julian Sihombing, pewarta foto Kompas. Foto tipikal yang menggambarkan situasi politik di Indonesia belakangan ini terlalu sering disajikan –tetapi tetap harus diambil oleh setiap pewarta foto. Yang menjadi masalah adalah sudut yang diambil harus bisa berbeda dengan yang lainnya, seperti momen-momen hening dari dari sebuah hiruk pikuk unjuk rasa atau kerusuhan, misalnya seorang polisi yang keletihan dan lain-lain. Dengan kata lain, si pewarta foto harus selalu me-refresh ide-idenya mengingat idenya selalu berulang.

Untuk menangkap makna konotatif dari rangkaian foto-teks di atas, saya berusaha untuk mencari terlebih dahulu makna denotatifnya. Dalam hal ini, saya beranggapan bahwa konotasi dibentuk secara sengaja oleh Jurnal tersebut melalui teks yang kebanyakan berfungsi sebagai penambat. Oleh karena itu, menjelaskan apa yang saya maksud dengan makna denotatif mencakup pembicaraan tentang seluruh makna yang mungkin bagi foto tersebut. Dengan kata lain, saya tidak akan terlalu berpatokan pada judul, latar cerita, dan komentar yang mengiringi foto tersebut, melainkan melepaskannya dan memahaminya berdasarkan foto itu sendiri. Karena terbatasnya ruang penguraian, dalam makalah ini saya berusaha membahas denotasi foto tersebut melalui cara negatif, yaitu dengan mengidentifikasi bentuk kekerasan yang dilakukan melalui konotasi yang dilakukan oleh Jurnal tersebut dan mengungkapkan makna alternatif selain dari makna yang disediakan teks.

Seperti telah dinyatakan sebelumnya, menurut Barthes fungsi tulisan yang terdapat bersama gambar mempunyai dua macam fungsi, yaitu menambatkan (anchorage) dan memancarkan (relay). Teks yang mengiringi foto di atas, bagi saya, berfungsi sebagai penambat. Judul “menembak mahasiswa” pada rubrik “foto spot pilihan” dapat dinyatakan sebagai sebuah penambat bagi petanda yang diinginkan Jurnal tersebut. Foto spot pilihan, karena terdapat dalam setiap edisi, mengacu pada salah satu foto terpilih atau ‘foto spot terpilih edisi ini’, sedangkan “foto aparat menembak mahasiswa”, yaitu judul dan foto, merupakan petanda foto yang diinginkan Jurnal Fantasma yang mengacu pada “foto yang mengabadikan kekerasan aparat”. Dalam jalinan (E-R-C)-R-C, dapat dinyatakan bahwa: “foto spot terpilih (edisi ini)” merupakan penanda dari “foto aparat menembak mahasiswa”, dan selanjutnya mengacu pada “foto yang memperlihatkan kekerasan aparat”. Saya mengandaikan bahwa “terpilih” berhubungan dengan makna ‘baik’, sehingga dapat dipahami bahwa Jurnal ini mengonotasikan “foto yang memperlihatkan kekerasan aparat” dengan “kebaikan”.

Jika analisis di atas benar, dapatlah dinyatakan bahwa akar epistemologis kekerasan Jurnal ini terletak pada identifikasi aparat semata-mata sebagai pelaku kekerasan, sedangkan akar antropologisnya adalah mempercayai bahwa memperlihatkan kekerasan aparat adalah kebaikan. Atas dasar ini, dapat dipahami bahwa judul “menembak mahasiswa” dipilih tidak semata-mata berdasarkan peristiwa yang terangkum dalam foto tersebut, melainkan berdasarkan akar kekerasan epistemologis dan antropologis yang telah mendahului pemahaman Jurnal dan fotografer tersebut atas foto itu. Padahal, foto tersebut dapat saja diberi judul yang mengandung nilai kekerasan lebih sedikit, misalnya “membubarkan unjuk rasa”, atau bermakna positif, misalnya “mengendalikan situasi”.

Identifikasi kekerasan aparat yang menunjukkan bahwa Jurnal ini melakukan kekerasan juga terlihat dalam komentar-komentar yang juga menambatkan foto itu pada petanda tertentu. Rully Kesuma, redaktur foto Koran Tempo, misalnya, menyatakan

“ ..... foto tersebut juga mampu memperlihatkan sebuah simbol yang mencerminkan sebuah dominasi aparat terhadap masyarakat sipil. Gestur aparat yang kokoh dengan kuda-kudanya dan senapan gas air mata yang siap ditembakkan memperlihatkan posisinya sebagai penguasa di tempat itu....”.

Jika Kesuma mengandaikan bahwa foto ini adalah cermin dari dominasi aparat, maka itu dapat juga berarti bahwa sebelumnya ia telah mengidentifikasi dominasi aparat sebelum mengomentari foto itu. Hal ini dapat berarti sebaliknya, bahwa penilaian Kesuma atas foto tersebut didasari bukan semata-mata atas peristiwa dalam foto itu, misalnya “gesture” dan “kuda-kuda yang kokoh”, melainkan juga atas identifikasi aparat sebagai dominan. Sebab, “gesture” dan “kuda-kuda yang kokoh” pada dasarnya tidak menggambarkan dominasi, melainkan semata-mata posisi yang baik untuk menembak.

Selanjutnya, bagaimana identifikasi, atau lebih tepatnya stigmatisasi, dan nilai mempengaruhi cara memperlakukan orang lain dapat terlihat jelas dalam komentar Edy Purnomo

“Itu bisa terjadi karena ia berada dalam posisi dan waktu yang tepat (right time in the right place) sehingga hasilnya menjadi menarik. Jika terlambat sedikit saja hasilnya akan berbeda ...”.

Di sini, Purnomo tidak hanya membicarakan bahwa sang fotografer berada dalam sudut pandang yang tepat, yaitu bahwa sudut pandang foto ini sudah dikehendaki sebelum foto ini diambil, bahkan lebih jauh mengonotasikan “foto tentang kekerasan aparat” dengan sifat “menarik”. Adapun jika terlambat atau tidak pada posisi yang tepat, hasilnya bisa jadi berbeda, yaitu kurang menarik dan bahkan tidak menarik karena, misalnya, justru memperlihatkan mahasiswa yang anarkis. Lebih mudahnya, bagi saya, Purnomo mengandaikan bahwa fotografer tersebut berusaha mencari posisi dan waktu yang tepat untuk mengabadikan momen ketika aparat melakukan kekerasan. Sebab, jika hal tersebut dapat terlaksana, hasil foto menjadi menarik.

Masalah sudut pengambilan gambar ini, dapat kita lihat lebih jauh dalam komentar Julian Sihombing yang relatif lebih dapat dianggap netral. Berikut saya kutip kembali komentarnya

“ ... Yang menjadi masalah adalah sudut yang diambil harus bisa berbeda dengan yang lainnya, seperti momen-momen hening dari dari sebuah hiruk pikuk unjuk rasa atau kerusuhan, misalnya seorang polisi yang keletihan dan lain-lain. ...”

Melalui komentar ini, Sihombing nampaknya memahami bahwa gambar yang dihasilkan dalam foto tersebut sudah ditentukan dari awal. Oleh karena itu, ia justru mengajukan sudut pengambilan gambar yang lain, yang melihat polisi sebagai “yang sama”, bukan sebagai “yang lain”. Namun demikian, pembelaan Sihombing tidak berarti bahwa media ini bebas dari tindak kekerasan. Berikut kami bandingkan citra polisi dan mahasiswa dalam Jurnal Fantasma melalui foto di bawah ini.

Gambar 4. diambil dari Jurnal Fantasma: Oase Fotojurnalistik. Edisi II Desember 2000

Foto ini diambil oleh Gino Franki Hadi dan dimuat dalam Jurnal Fantasma pada rubrik “sanubari” dengan judul “Brave Heart”. Dalam foto ini, kebalikan dari foto sebelumnya, digambarkan mahasiswa sedang memukul aparat dengan tongkat. Judul foto ini, seperti judul foto sebelumnya, berfungsi menambatkan foto tersebut pada petanda tertentu yang dikehendaki oleh Jurnal tersebut. Dengan mengonotasikan kekerasan mahasiswa dengan perjuangan, Jurnal ini ingin menegaskan bahwa mahasiswa bukan pelaku kekerasan. Alasan untuk membenarkan tindak kekerasan mahasiswa berakar dari identifikasi mahasiswa sebagai “yang sama” dan identifikasi aparat sebagai “yang lain” dan melihat kekerasan mahasiswa sebagai upaya perjuangan, sehingga kekerasan, melalui penghayatan nilai perjuangan, dijustifikasi. Catatan yang terdapat dalam “alasan” dengan jelas menunjukkan bahwa fotografer menyebut kekerasan mahasiswa, dengan senang hati, sebagai kemenangan dan tetap mengungkit kekerasan aparat. Berikut saya kutip teksnya

“... di atas segala-galanya, saya merasa puas bukan hanya dengan hasil fotonya semata, tetapi juga gembira melihat para mahasiswa pada kesempatan itu berhasil membuat aparat kocar-kacir. Biasanya merekalah yang menjadi bulan-bulanan pentungan aparat ...”

Dengan kata-kata seperti ini, fotografer melihat aparat sebagai “pelaku tetap kekerasan” yang ketika itu mengalami “kalah perang” melawan mahasiswa. Tentu saja, kita dapat juga memahami melalui teks tersebut, bahwa kekerasan mahasiswa memiliki akar sosiologis, yaitu bahwa mahasiswa memang terbiasa menjadi bulan-bulanan aparat yang memang terbiasa membubarkan demonstrasi dengan cara yang tidak santun, sehingga ketika melihat peluang untuk melampiaskan kemarahannya mereka berlaku kasar.

Lebih jauh lagi, seperti telah diungkapkan di atas, mengidentifikasi kekerasan mahasiswa semata-mata sebagai perjuangan merupakan kekerasan psikologis yang berakar dalam kondisi antropologis. Sebab, hal ini akan mendorong mahasiswa untuk memahami kekerasan mereka sebagai bentuk penghayatan nilai yang pada akhirnya memicu penguatan eksistensi ego, sehingga, seperti halnya para pelaku bom bunuh diri, mahasiswa mampu mengatasi ketakutan mereka untuk melakukan bentrok fisik dengan aparat dengan menjustifikasi kekerasan mereka sebagai “baik”.


Kesimpulan
Berdasarkan apa yang saya maksud dalam penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, kekerasan merupakan hal abstrak yang terdapat dalam diri manusia. Hal ini berarti bahwa setiap orang berpotensi melakukan tindak kekerasan, baik secara fisik maupun secara psikologis. Kedua, karena kekerasan tidak selalu terwujud dalam bentuk kekerasan fisik, maka dapat dipahami bahwa stigmatisasi yang dilakukan Jurnal Fantasma terhadap aparat adalah tindak kekerasan, atau stidaknya sebuah usaha menanam benih kekerasan. Ketiga, berdasarkan analisis yang saya lakukan, saya menyimpulkan bahwa stigmatisasi dilakukan oleh Jurnal tersebut melalui pengkonotasian kekerasan aparat dengan kejahatan dan kekerasan mahasiswa sebagai perjuangan.


Daftar Acuan

Roland. 1964/1973. Elements of Semiology. Terjemahan Element de Semiologie oleh Annette Lavers dan Colin Smith. New York: Hill and Wang.
De Saussure, Ferdinand. 1973/1988. Pengantar Linguistik Umum. Terjemahan Cours de Linguistique Generale oleh Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Hardiman, F. Budi. 2005. Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Jurnal Fantasma: Oase Fotojurnalistik. Edisi II Desember 2000.
Jurnal Fantasma: Oase Fotojurnalistik. Edisi III Mei 2001.
Haryatmoko. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Nöth, Winfried. 1990. Handbook of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press.
Poerwadarminta, W. J. S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

1 comments:

permisi Bang/mas/kak/om
saya mw minta ijin utk membaca2, tulisan ini mmberi inspirasi trhadap calon skripsi saya.

jikalau boleh berdiskusi entah lewat YM atau media lain..saya akan sangat senang..krn saya msh kebingungan dalam tema yg saya ambil.siapa tahu bs menambah wawasan dan ide.

alamat email saya lutf1_182@yahoo.com

trims