This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday, December 2, 2007

Teori Komunikasi

Komunikasi dalam Teori Kritis

Terdapat tiga ciri yang menandai teori kritis, yaitu pertama, ilmuwan sosial kritis percaya bahwa memahami pengalaman hidup manusia yang nyata secara kontekstual adalah penting; kedua, pendekatan dalam teori kritis berusaha mengkaji kondisi sosial dan memperlihatkan sistem kuasa yang bersifat menindas. Dalam hal komunikasi, teori kritis berkaitan erat dengan bagaimana pesan dapat memperkuat penindasan; dan ketiga, teori kritis beranggapan bahwa teori tidak dapat dipisahkan dari praktiknya.

Teori kritis mempunyai bidang kajian dan aliran yang sangat luas, untuk keperluan pembahasan teori komunikasi kita perlu membatasinya. Dennis Mumby mengklasifikasikan teori kritis, dalam kaitannya dengan teori komunikasi, menjadi dua bagian besar, yaitu modern dan posmodern. Kedua bagian ini dapat dirinci menjadi empat bagian yang lebih spesifik, yaitu: pertama, discourse of representation, yaitu positivisme dalam pemikiran modern yang memisahkan secara jelas peneliti dari dunianya; kedua, discourse of understanding atau modernisme interpretif yang percaya bahwa hubungan antara dunia sebagai objek yang diketahui (known) dan subjek yang mengetahui (knower) bersifat saling mempengaruhi; ketiga, discourse of suspicion atau modernisme kritis yang berasal dari tradisi struktural yang mengkritisi struktur masyarakat yang menindas; dan keempat, discourse of vulnerability atau posmodernisme yang percaya bahwa terdapat beragam wacana dan ide yang saling bersaing untuk berkuasa. Dengan kata lain, mengenai perbedaan dua jenis teori kritis terakhir yang menjadi fokus pembahasan makalah ini, modernisme kritis masih bersifat teoritis dan struktural sedangkan posmodernisme bersifat antiteoritis dan post-struktural.

1. Pendekatan struktural

1.1 Marxisme

Kebanyakan teori kritis mersandar pada marxisme yang pada dasarnya merupakan buah pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels. Melalui ide base-superstructure, Marx percaya bahwa sistem produksi menjadi dasar (base) yang menentukan struktur sosial secara keseluruhan. Dalam pandangan marxisme klasik, sistem produksi yang menindas hanya dapat dimusnahkan dengan cara perjuangan kelas, yaitu dengan revolusi yang berakhir pada penghapusan hak kepemilikan. Pandangan yang biasa disebut “kritik terhadap politik ekonomi” (critique of political economy) ini bahkan percaya, melalui ide dialektika historis, bahwa struktur sosial akan berujung pada runtuhnya kapitalisme dan terwujudnya masyarakat tanpa kelas.

Berbeda dengan marxisme klasik yang percaya terhadap ide base-superstructure Marx, neo-marxisme percaya bahwa proses dan struktur sosial tidak ditentukan semata-mata oleh sistem ekonomi atau produksi, melainkan oleh banyak hal (overdetermined). Dapat dikatakan bahwa tujuan utama teori kritis adalah memperlihatkan kekuasaan yang menindas melalui analisis dialektis (dialectical analysis) yang secara strategis bertujuan memberi dasar perjuangan untuk menghadapi kekuasaan yang menindas. Dalam hal ini, neo-marxisme memandang komunikasi sebagai hal penting yang turut menentukan struktur sosial selain sistem produksi, yaitu bahwa pembebasan dapat diwujudkan melalui komunikasi yang mendudukkan partisipannya dalam posisi yang sama. Dengan kata lain, bahasa, sebagai alat komunikasi, memiliki peran penting.

Hal lain yang penting dalam marxisme adalah ideologi, yaitu sistem representasi atau kode pemaknaan yang mengarahkan seseorang dalam memahami dunianya. Dalam marxisme klasik, ideologi didefinisikan sebagai seperangkat ide palsu yang digunakan oleh kekuatan politik yang dominan. Oleh karena itu, dalam pandangan marxisme klasik, pengetahuan bertugas mengungkapkan kesadaran palsu (false consciousnes) ideologi. Dalam pandangan neo-marxisme, ideologi dominan tidaklah tunggal, melainkan bahwa ideologi dominan yang terdapat dalam masyarakat dicapai melalui persaingan antarideologi yang terdapat dalam masyarakat tersebut. Bahkan para pemikir saat ini percaya bahwa ideologi bukan sistem tertutup dan bahwa ideologi tertanam dalam bahasa dan seluruh proses sosial dan budaya.

Dalam pandangan Louis Althusser, seorang marxis asal Prancis, ideologi dibentuk oleh superstruktur, yaitu sistem organisasi masyarakat, yang kemudian balik mempengaruhi kesadaran masyarakat dan cara pandang subjektifnya terhadap dunia. Menurutnya, superstruktur mencakup dua hal, yaitu aparat represif negara (repressive state apparatus), misalnya polisi dan militer, dan aparat ideologis negara (ideological state apparatus), misalnya pendidikan, agama, dan media massa. Mekanisme represif bertugas menjaga ideologi dari tindakan menyerang orang-orang yang menyimpang dan mekanisme ideologis bertugas mereproduksi ideologi dalam kehidupan sehari-hari sehingga tampak normal.

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa kebanyakan teori dalam marxisme berusaha melihat masyarakat sebagai tempat pertarungan kepentingan melalui dominasi sebuah ideologi atas ideologi lainnya. Proses ini disebut Antonio Gramsci, seorang marxis asal Italia, hegemoni. Mumby menginterpretasi hegemoni sebagai pragmatis, interaktif, dan proses dialektis dari penegasan dan penolakan.

1.2 Mazhab Frankfurt dan Universal Pragmatics

Teori kritis sangat identik dengan Mazhab Frankfurt (Frankfurt School), sehingga ungkapan Teori Kritis (Critical Theory) kadang dengan sendirinya bermakna Mazhab Frankfurt. Mazhab Frankfurt didirikan oleh Theodor W Adorno, Marx Horkheimer, Herbert Marcuse, dan beberapa orang lainnya dari Franfurt Institute for Social Research pada 1923. Pemikiran Mazhab Frankfurt generasi awal, meskipun dipengaruhi oleh pemikiran Marx, banyak bereaksi keras terhadap pemikiran marxisme klasik dan kesuksesan revolusi di Rusia. Ketika Partai Nasionalis Sosialis berkuasa pada tahun 1930-an, kebanyakan anggota Mazhab Frankfurt, karena beragama Yahudi, hijrah ke Amerika. Migrasi ini mempengaruhi pemikiran mereka selanjutnya yang melihat peran komunikasi dan media massa dalam struktur penindasan masyarakat kapitalistis.

Salah satu tokoh Mazhab Frankfurt generasi kedua yang sangat terkenal adalah Jurgen Habermas. Menurut Habermas, masyarakat terdiri atas tiga unsur, yaitu pertama, pekerjaan (work), Pekerjaan mencakup segala usaha untuk menciptakan sumberdaya material yang bertujuan untuk mencapai tujuan nyata dan memenuhi kebutuhan konkret. Dalam pekerjaan, karena kepentingan teknisnya (technical interest), dibutuhkan ilmu empiris-analitis dengan rasio yang bersifat instrumental (instrumental rationality): kedua, interaksi (interaction), yaitu penggunaan bahasa dan sistem simbol lain dalam komunikasi. Dalam komunikasi, karena kepentingan praktisnya (practical interest), dibutuhkan rasio praktis (practical rationality) dan ilmu yang bersifat historis-hermeneutis; dan ketiga, kuasa (power). Ketreraturan sosial pada dasarnya selalu membentuk sebuah sistem distribusi kuasa. Oleh karena itu, setiap manusia harus bebas dari dominasi kuasa tertentu, sebab kuasa mengarah pada komunikasi yang terdistorsi. Dengan demikian dapat pahami bahwa kuasa memiliki kepentingan emansipatoris (emancipatory interest), membutuhkan ilmu yang bersifat kritis (critical theory), dan membutuhkan rasio yang reflektif (self-reflection).

Habermas berpendapat bahwa komunikasi memiliki peran penting dalam emansipasi. Dalam hal ini ia menyebut istilah kompetensi komunikasi (communicative competence), mencakup pengetahuan tentang cara wicara yang patut dalam menggapai tujuan. Selanjutnya, melalui konsep universal pragmatics yang mencakup prinsip universal dalam penggunaan bahasa, ia menyebut tiga macam fungsi dalam tindak tutur (speech-act), yaitu pertama, konstatif (constative) atau asertif, yaitu tindak-tutur berkaitan dengan nilai benar-salah ujaran yang dilandasi oleh syarat kebenaran; kedua, regulatif (regulative), yaitu tindak-tutur yang bertujuan mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lainnya atau kelompok tertentu dan dilandasi oleh syarat kepatutan (appropriateness); dan ketiga, avowals, yaitu tindak tutur yang bertujuan menggambarkan kondisi internal diri penutur dan disyaratkan oleh ketulusan (sincerity) kejujuran (truthfulness).

Selain itu, Habermas juga menyebut wacana (discourse), yaitu bentuk komunikasi yang di dalamnya pernyataan penutur diuji kebenarannya melalui argumen sistematis. Lebih jauh ia membedakan tiga macam wacana, yaitu: pertama, merupakan tingkat wacana terendah, wacana teoritis (theoritical discourse), berkaitan dengan fakta-fakta yang mendukung kebenaran suatu pernyataan; kedua, wacana praktis (practical discourse), berkaitan dengan norma, yaitu tentang kepatutan dalam negoisasi; dan ketiga, merupakan tingkat wacana tertinggi yang terbagi menjadi dua secara bertingkat, yaitu (1) wacana metateoretis (metatheritical discourse), memper-masalahkan fakta atau norma yang patut bagi situasi tertentu; dan (2) wacana metaetis (metaethical discourse), mempermasalahkan pengetahuan sebagai pengetahuan, yaitu mempermasalahkan prosedur yang digunakan dalam menggeneralisasi sebuah pengetahuan yang berlaku dalam masyarakat.

Lebih jauh, Habermas berpendapat tentang situasi wicara ideal (ideal speech situation), yaitu situasi kebebasan berbicara yang mendukung terwujudnya komunikasi noemal yang produktif yang memungkinkan berlakunya level tertinggi wacana. Situasi ini, menurut Habermas, bergantung pada tiga hal, yaitu pertama, kebebasan bicara tanpa halangan; kedua, kesamaan hak untuk bicara; dan ketiga, distribusi kuasa secara merata dalam setiap strata masyarakat. Habermas percaya bahwa kita hidup senantiasa dalam kehidupan yang tidak lagi dipertanyatakan yang di dalamnya bisa saja terjadi kolonisasi sistem atas individu.

2. Tradisi Post-struksturalisme

2.1 Cultural Studies

Kajian ini berawal dari penelitian Richard Hoggart dan Raymond Williams tentang masyarakat kelas pekerja Inggris setelah PD II. Studi budaya ini merupakan bagian dari usaha perjuangan budaya pendukung sosialisme yang berusaha merubah kebudayaan masyarakat Barat. Ilmuwan dalam bidang ini percaya bahwa perubahan tersebut dapat tercapai melalui dua hal, yaitu pertama, dengan mengidentifikasi kontradiksi dalam masyarakat dan menjadikannya sarana perlawanan bagi penindasan, perubahan positif dapat terjadi; dan kedua, untuk kepentingan perubahan pertama, dibutuhkan kerangka interpretasi yang baik dalam upaya memahami dominasi dan bentuk perubahan yang diinginkan. Oleh karena itu, kajian terhadap komunikasa sangat penting dalam kajian budaya ini, sebab media dalam hal ini dianggap sebagai alat ampuh bagi ideologi yang dominan.

Istilah budaya yang dimaksud dalam kajian ini mencakup dua pengertian, yaitu pertama, cara-cara kolektif yang digunakan masyarakat dalam memahami pengalaman mereka; dan kedua, praktik keseharian konkret dari apa yang mereka pahami tentang pengalaman mereka. Pemahaman bersama ini berasal dari berbagai macam pengaruh yang secara bersama-sama membentuk realitas umum yang tampak nyata yang prosesnya dapat disebut artikulasi (articulation). Teoritisi kajian budaya umumnya percaya bahwa masyarakat kapitalistis didominasi oleh ideologi kaum elit.

Seperti halnya marxisme, kajian budaya juga melihat hubungan antara infrastruktur (base), yaitu sistem ekonomi yang melandasi sebuah masyarakat, dan superstrukturnya, yaitu institusi sosial. Namun, berbeda dengan marxisme klasik yang melihat sistem produksi sebagai sebab yang menentukan superstrukturnya, teoritisi kajian budaya melihat hubungan keduanya bersifat interdependen. Komunikasi, terutama yang dilakukan melalui media massa, dipandang sangat berpengaruh dalam penyebaran budaya popular. Lebih tepatnya, penafsiran terhadap media selalu berkaitan dengan kontrol ideologis dalam, seperti yang dinyatakan oleh Ronald Lembo dan Kenneth Tucker, sebuah arena kompetitif tempat berbagai kekuatan dan kepentingan budaya bertarung. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tujuan utama kajian budaya adalah memperlihatkan cara sebuah ideologi dominan mereproduksi budaya secara terus-menerus dan cara menangkalnya, sehingga tidak mengacaukan sistem kuasa dan tidak merugikan kelompok tertentu.

2.2 Michel Foucault

Foucault beranggapan bahwa setiap periode sejarah memiliki episteme atau formasi diskursif, yaitu struktur konseptual atau worldview yang menentukan cara ilmu pengetahuan dijalankan. Episteme ini tidak ditentukan secara aktif oleh manusia, melainkan oleh struktur diskursif dominan yang terdapat dalam praktik keseharian atau dalam pengekspresian ide yang tidak dapat begitu saja dipisahkan dari penggunanya. Dengan kata lain, berbeda dengan anggapan umum, bagi Foucault bukan manusia yang menentukan sistem diskursif, melainkan sebaliknya. Dengan demikian, wacana bagi Foucault tidak berurusan dengan siapa penggunanya, sebab bahasalah yang menentukan manusia dan bukan sebaliknya. Maksudnya, kita melihat wacana cenderung berdasarkan kuasa, pengetahuan, dan etika tertentu yang dinyatakannya daripada berdasarkan fakta bahwa ia adalah alat seorang tertentu.

Untuk dapat memahami episteme ini, Foucault menggunakan arkeologi, yaitu sebuah usaha deskriptif terhadap cara wacana menyatakan aturan dan strukturnya. Dalam arkeologi yang penting bukan memperlihatkan koherensi dan kesinambungan antarwacana yang berlaku dari satu periode ke periode lainnya, melainkan memperlihatkan kontradiksi dan ketaksinambungan antarwacana. Melalui arkeologi ini, Foucault mengaitkan antara pengetahuan dan kuasa, sebab episteme, seperti terekspresikan melalui wacana, selalu berkaitan dengan kuasa disipliner (disciplinary power) atau preskripsi terhadap standar tingkah laku yang benar.

3. Feminisme

Feminisme berdasar pada asumsi bahwa gender merupakan konstruksi sosial yang didominasi oleh pemahaman yang bias laki-laki dan menindas perempuan. Feminisme secara umum menantang asumsi dasar masyarakat dan mencari alternatif pemahaman yang lebih membebaskan, yaitu pemahaman yang meletakkan wanita dan pria dalam posisi yang seimbang.

Feminisme secara garis besar dapat diklasifikasi menjadi dua golongan, yaitu feminisme liberal dan feminisme radikal. Feminisme liberal merupakan dasar pergerakan perempuan pada tahun 1960-an hingga 1970-an yang didasarkan atas paham demokrasi liberal, yaitu bahwa keadilan mencakup juga jaminan terhadap kesamaan hak bagi semua individu. Feminisme liberal berkaitan terutama dengan citra publik dan hak asasi perempuan. Berbeda dengan Feminisme liberal, feminisme radikal melihat persoalan ridak sebatas pada hak yang bersifat publik. Lebih jauh lagi, mereka mempersoalkan dasar struktur masyarakat yang menurut mereka patriarkis. Oleh karena itu, jika feminisme liberal beranggapan bahwa masalah gender dapat diatasi dengan distribusi hak secara adil, maka bagi feminisme radikal hal ini tidak menyelesaikan persoalan.

Sonja Foss, Karen Foss, dan Robert Trapp mengemukakan tahap perjuangan feminisme yang mirip dengan pembedaan antara feminisme liberal dan feminisme radikal, yaitu inclusion stage dan revisionist stage. Tahap inklusi berkaitan dengan pengakuan publik dan kontribusi aktif perempuan secara sosial, sedangkan tahap revisionis berkaitan dengan penbongkaran seluruh definisi yang digunakan dalam komunikasi masyarakat yang bersifat patriarkis.

Gerakan feminisme sangat terkait dengan komunikasi. Untuk kepentingan ini, dalam tulisan ini akan dikemukakan dua hal yang berkaitan dengan feminisme dan komunikasi, yaitu bahasa dan kuasa dan Retorika invitasional.

3.1 Bahasa dan Kuasa

Hubungan antara kuasa dan bahasa dalam feminisme dieksplorasi oleh Julia Fenelope. Menurut Fenelope, seperti halnya para fenomenolog, bahasa membentuk cara seseorang memahami pengalaman dan masyarakatnya. Oleh klarena itu, bahasa dipandangnya sebagai instrumen penindasan. Usaha ini dikembangkan lebih jauh oleh Cheris Kramarae dan Edwin Ardener, seorang antropolog, melalui muted-group theory. Menurut mereka para antropolog cenderung mengkaji budaya berdasarkan peran laki-laki di dalamnya. Menurut Ardener, secara aktual, dalam hal pemaknaan kelompok, bahasa dalam kebudayaan secara inheren bias laki-laki. Oleh karena itu, suara perempuan ditekan dan hal ini berakibat pada ketidakmampuan perempuan untuk mengekspresikan diri sebaik laki-laki.

Kramarae mengembangkan lebih jauh pendapat Ardener dalam hal perempuan dan komunikasi. Menurut Kramarae laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman yang berbeda dalam masyarakat, maka mereka mempersepsi dunia secara berbeda. Ia melanjutkan bahwa, karena perempuan sering dibungkam secara verbal, maka perempuan berekspresi secara nonverbal lebih banyak daripada laki-laki. Dalam percakapan, sebagai contoh, laki-laki cenderung mengontrolnya atas perempuan, misalnya dengan dominasi, interupsi dan respon yang minimal terhadap perempuan. Lebih jauh, dalam hal teknologi, Kramarae beranggapan bahwa teknologi berdampak buruk bagi hubungan gender dalam masyarakat. Akhirnya, Kramarae berpendapat bahwa kuasa atas perempuan terlihat jel;as dalam kekerasan atas perempuan, baik secara fisik, melalui komunikasi, melalui teknologi, dan dalam kekerasan seksual.

Untuk mengatasi dominsi patriarkis tersebut, Kramarae menyebut tiga cara, yaitu pertama, mengkaji dan memahami lebih baik dominasi linguistik laki-laki; kedua, mengkaji cara perempuan berkomunikasi dan alternatif lainnya yang menjunjung persamaan; dan ketiga, menciptakan cara komunikasi yang lebih baik dan menggunakannya.

3.2 Retorika Invitasional

Retorika invitasional, yang dikembangkan oleh Sonja Foss, mengajukan definisi retorika yang berbeda dengan yang kita kenal, yaitu dengan menggesenya dari persuasi atau mempengaruhi ke ajakan (invitation). Menurut Foss retorika sangat dikuasai oleh nilai patriarkis yang mengarah pada perubahan nilai, dominasi, dan kompetisi. Ia lebih jauh mengajukan retorika yang didasarkan atas pandangan feminisme, mencakup kesamaan (equality), nilai imanen (immanent value), dan determinasi diri (self determination). Ekualitas berkaitan dengan kesamaan derajat nilai perspektif, hubungan gender, dan penolakan terhadap dominasi. Nilai imanen berkaitan dengan pegghargaan terhadap nilai dan harga bagi seluruh kehidupan. Determinasi diri berkaitan dengan hak setiap individu untuk memutuskan apa yang ingin mereka lakukan.

Untuk mencapai bentuk komunikasi seperti ini, Sonja Foss dan Cindy Griffin mengajukan konsep offering perspective, yaitu bahwa daripada bertindak sebagai superior, setiap komunikator sepatutnya bertindak semata-mata sebagai pemulai yang bertujuan menawarkan sebuah cara pandang. Senada dengan Foss dan Griffin, Sally Miller Gearhart mengajukan konsep re-sourcement, yaitu strategi yang berguna untuk menekan konflik ketika banyak orang menggunakan kekuasaannya. Strategi offering ini mengandaikan tiga kondisi eksternal, yaitu pertama, merasa aman (safety), dalam arti bebas dari serangan; kedua, penilaian (value), dalam arti butuh penilaian dan didengarkan; dan ketiga, kebebasan (freedom). Menurut Gearhart retorika yang berdasarkan atas merubah orang lain (change the other) merupakan kekerasan, karena dengan sendirinya mengandaikan superioritas. Oleh karena itu, ia lebih jauh mengajukan retorika yang berdasarkan enfold the other, yaitu bersifat terbuka pada orang lain. Ia lebih jauh menyebut enam komponen enfoldment, yaitu (1) pengakuan (acknowledgement); (2) penggalian asas bersama; (3) kepemilikan bersama terhadap perspektif secara mutual; (4) keinginan terhadap hasil atau terbuka terhadap perubahan; (5) penyaksian (witnessing) atau penghormatan; dan (6) menanyakan kesediaan untuk berbagi.

4. Komentar dan Kritik

Keberatan atas tradisi kritis dalam komunikasi dialamatkan setidaknya pada tiga hal. Pertama, meskipun secara baik dapat menjelaskan peranan media yang harus bersifat egaliter, teoritisi kritis gagal menyediakan pedoman yang memadai untuk terlaksananya hal tersebut. Kedua, tradisi kritis mempunyai kecenderungan penghancuran diri sendiri (self-defeating) dan terjebak dalam utopianisme. Bahkan dengan mengabaikan kenyataan bahwa pembangunan demokrasi juga membutuhkan media, teori kritis, pada titik ekstrim, dapat digologkan sebagai antidemokrasi. Ketiga, banyak peneliti menyesalkan teori kritis yang mengabaikan beritu saja penelitian sosial lain, dalam arti bahwa penelitian dalam teori kritis kurang didukung oleh data yang, menurut peneliti tradisional, dapat dipertanggungjawabkan.

Acuan

Littlejohn, Stephen W,. 2002. Theories of Human Communication (edisi ketujuh). Belmont: Thomson Learning. Hal. 117-139

Semiotik

Semiotik Komunikasi dan Semiotik Signifikansi

Untuk mengetahui perbedaan antara semiotik signifikasi dan semiotik komunikasi, terlebih dahulu saya jelaskan definisi semiotik, signifikasi, dan komunikasi menurut Eco. Semiotik, menurut Eco (1976: 7), berkaitan dengan segala sesuatu yang dapat dijadikan tanda, dan tanda sendiri merupakan segala sesuatu yang secara signifikan dapat menggantikan sesuatu yang lain. Selanjutnya, meskipun tidak terlalu jelas dibahas, Eco (1976: 16-17) menghubungkan signifikasi dengan inferensi, yaitu proses penarikan kesimpulan, walaupun kedua hal tersebut tidak sama. Menurut Eco (1976: 17) signifikasi berbeda dari inferensi karena signifikasi diakui secara kultural dan dikodekan secara sistematis. Komunikasi adalah proses pengiriman isyarat (signal) dari sumber (source) menuju sasaran (destination) (Eco 1976: 8).

Atas dasar definisi di atas, perbedaan antara semiotik signifikasi dan semiotik komunikasi dapat dilihat dalam beberapa aspek. Pertama, semiotik signifikasi berkaitan tidak hanya dengan tanda yang sengaja dibuat oleh manusia, melainkan mencakup juga tanda lainnya yang dapat dipahami manusia, yaitu (1) peristiwa fisik yang berasal dari alam, misalnya asap merupakan indeks dari api; dan (2) tingkah laku manusia yang tidak secara sengaja dikehendaki pengirimnya (non-intentional), misalnya gerak isyarat tangan (gesture) saat berbicara (Eco 1976: 16-17). Semiotik komunikasi berkaitan dengan tanda dalam penggunaannya yang bersifat interpersonal, misalnya produsen produk tertentu (sender) membuat iklan (message) untuk calon konsumennya (receiver) dan para calon pembeli kemudian menafsirkan iklan tersebut. Dengan kata lain, dalam semiotik signifikasi pemaknaan tanda bersifat searah dan individual, sedangkan dalam semiotik komunikasi pemaknaan tanda bersifat timbal-balik dan interpersonal.

Kedua, atas dasar cakupan tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa semiotik komunikasi mencakup juga semiotik signifikasi, sedangkan semiotik signifikasi tidak mencakup semiotik komunikasi. Seperti dapat kita simpulkan dari yang ditulis Eco (1976: 9) "...... every act of communication to or between human being -- ...... – presupposes a signification system as its necessary condition." Dapat ditambahkan di sini, seperti diungkapkan oleh Eco (1976: 4), dalam sistem signifikasi, seluruh kemungkinan penggunaan tanda dikonvensionalisasi, dan dalam proses komunikasi, seluruh kemungkinan yang telah terkonvensionalisasi dalam sistem signifikasi dimanfaatkan secara fisik demi tujuan praktis. Artinya, komunikasi selalu melibatkan signifikasi.

Ketiga, semiotik signifikasi membutuhkan teori tentang kode (code), sedangkan semiotik komunikasi membutuhkan teori tentang produksi tanda (sign production). Perbedaan antara kode dan sign production tidak sama persis dengan perbedaan antara langue dan parole atau antara competence dan performance. Perbedaan tersebut dapat kita gambarkan dengan perbedaan antara kaidah (rules) dan proses (process) atau antara kuasa (power) dan tindakan (act) (Eco 1976: 4). Jadi, meskipun jenis perbedaan antara langue dan parole dan antara kaidah dan proses tidak sama, kaidah, seperti halnya langue, dapat meramalkan kaidah selanjutnya yang digunakan dalam produksi tanda.

Persamaan antara semiotik signifikasi dan semiotik komunikasi berkaitan dengan dua hal, yaitu pertama, karena membutuhkan semiotik signifikasi sebagai landasan, dalam semiotik komunikasi pembahasan tentang kode, sebagai teori yang mendukung semiotik signifikasi, menjadi penting; dan kedua, meskipun berbeda dalam hal pembahasan tentang tanda yang bukan berasal dari manusia dan non-intensional, baik semiotik signifikasi maupun semiotik komunikasi, keduanya juga berkaitan dengan tanda yang intensional dan berasal dari manusia. Dengan kata lain, sebagai bagian dari semiotik, keduanya masih membahas tanda.

Terakhir, berkaitan dengan teori yang mendasarinya, semiotik signifikasi diturunkan Eco dari semiotik Peirce dan semiotik komunikasi dari semiologi de Saussure. Seperti diungkap Eco (1976: 16), sistem triadik Peirce dapat digunakan untuk diaplikasikan tanda yang tidak dihasilkan manusia, asalkan dapat diterima manusia, misalnya gejala metereologis. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa semiotik signifikasi yang mencakup juga tanda yang tidak berasal dari manusia dan tanda non-intensional, seperti terlihat dalam penjelasan sebelumnya, diturunkan dari gagasan semiotik Peirce. Mengenai de Saussure, Eco (1976: 14-15) mengemukakan bahwa de Saussure hanya menjelaskan petanda sebagai konsep dan merupakan realitas psikologis. Selanjutnya de Saussure menekankan bahwa tanda adalah sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas mental seseorang ketika menerima penanda. Oleh karena itu, secara implisit, menurut Eco (1976: 15), tanda dalam pandangan de Saussure dapat dipahami sebagai alat komunikasi yang digunakan antara dua orang yang secara sengaja berkomunikasi atau mengekspresikan sesuatu. Dengan demikian, dapat pula dipahami bahwa semiotik komunikasi yang berkaitan dengan sign-production diturunkan Eco dari semiologi de Saussure.

Eco, Umberto. 1976. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press.

Tuesday, July 24, 2007

Linguistik: Analisis Wacana

Gairah dan Kepuasan dalam Iklan Nokia Tipe 8210 dan 8850:

Analisis Argumentasi dalam Teks Iklan

Oleh: Makyun Subuki

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Pemasaran segala bentuk hasil produksi pada dasarnya bertujuan untuk mencari keuntungan, karena kekuatan produksi dibentuk bukan untuk menggali nilai guna (utility value), melainkan untuk mencari nilai lebih (profit) dari nilai tukar (exchange value). Hal ini mendorong para pemodal untuk terus meningkatkan kuantitas dan memperluas jaringan produksi, sehingga pada akhirnya kita hidup dalam "pasar" yang over-suplay produk. Kondisi seperti ini menjadikan konsumsi sebagai faktor penting dalam meningkatkan keuntungan, sehingga demi kepentingan nilai tukar, pemodal sibuk mengkampanyekan citra-citra tertentu yang lebih dari sekedar nilai guna barang. Akhir dari permainan citra ini adalah membanjirnya citra dalam masyarakat, sehingga sulit untuk membedakan mana yang citraan dan mana yang realitas, misalnya kita dapat melihat bahwa banyak orang yang tidak lagi dapat membedakan antara menjaga kesehatan dengan berobat, berolah raga dengan masuk klub fitness, pornografi dengan seks, atau cantik dengan berdandan.

Saat kita hidup dalam dunia yang batas antara dunia citraan dan dunia nyata menjadi semakin tidak jelas, kita mengonsumsi objek tertentu tidak lagi berdasarkan nilai kegunaannya, melainkan berdasarkan citraan yang melampaui kegunaannya. Inilah citra yang diciptakan iklan. Iklan menciptakan berbagai citra tentang percintaan, kecantikan, nafsu, pemenuhan kebutuhan, dan hal menarik lainnya untuk menyebarkan objek-objek konsumsi. Dengan cara ini iklan menghapus ingatan konsumen terhadap nilai-guna utama benda dan menggantikannya dengan nilai-guna sekunder (Featherstone 2001: 33). Lebih jauh, Baudrillard (dalam Ritzer 2003: 137-138) menyatakan bahwa dengan mengonsumsi objek tertentu menandakan bahwa kita berbeda dengan orang yang mengonsumsi objek lain. Lebih mudahnya, kita mengonsumsi objek tertentu bukan atas dasar nilai guna yang ditawarkannya, melainkan nilai perbedaannya dengan objek lain. Dalam kaitannya dengan objek dalam penelitian ini, kita dapat melihat bahwa Nokia, demi mengejar keuntungan dari nilai tukar, menciptakan citra yang berbeda bagi masing-masing produknya, yaitu gairah untuk Nokia 8210 dan kepuasan untuk Nokia 8850.

1.2 Tujuan

Tujuan dari tulisan ini adalah memperlihatkan bahwa dalam iklan dibentuk sebuah citra untuk menghapus ingatan konsumen terhadap nilai guna utama objek dan menggantikannya dengan nilai guna sekunder, dengan cara membongkar struktur argumentasi yang membangun teks iklan.

1.3 Data

Data yang saya analisis adalah iklan Nokia tipe 8210 dan dalam majalah Kosmopolitan edisi September 2000 dan Iklan Nokia 8850 dalam majalah Bazaar edisi Februari 2001.

2. Kerangka Teori: Iklan dan Wacana Argumentatif

2.1 Iklan

Secara umum, Cook (2001: 9), dengan mengutip Collin Concise Dictionary, mendefinisikan iklan sebagai "the promotion of goods or services for sale through impersonal media" (promosi penjualan benda dan layanan melalui media yang tidak bersifat pribadi). Karena saya tidak membahas bentuk iklan lain yang tidak bertujuan menjual benda ataupun layanan, misalnya iklan layanan masyarakat ataupun kampanye partai politik, maka definisi ini tidak saya persoalkan.

Iklan selanjutnya dapat dikategorikan menurut medium, produk, teknik, dan konsumennya (Cook 2001: 12-14). Pertama, berdasarkan medium yang digunakannya, iklan dapat dikategorikan ke dalam bentuk-bentuk yang saling berbeda satu sama lain, misalnya iklan dalam majalah, koran, radio, televisi, ataupun pamflet. Kedua, Berdasarkan produknya, iklan dapat dikategorikan menjadi iklan produk, misalnya produk kesehatan, mobil, mesin cuci, makanan, dan layanan jasa; dan iklan non-produk, misalnya iklan amal, layanan masyarakat, dan kampanye partai politik. Ketiga, berdasarkan teknik yang digunakannya, iklan dapat dikategorikan ke dalam beberapa subkategori, yaitu: (i) hard-sell, biasanya berbentuk seruan langsung, dan soft-sell, biasanya berbentuk penyiratan bahwa hidup akan menjadi lebih baik dengan produk dimaksud; (ii) reason, biasanya menyiratkan anjuran pembelian, dan tickle, mengandalkan emosi dan suasana hati; (iii) slow drip dan sudden brust, dibedakan menurut frekwensi kemunculannya; dan (iv) short copy dan long copy, dibedakan berdasarkan durasi iklan atau jumlah kata yang digunakan. Keempat, berdasarkan konsumennya iklan dapat dikategorikan, misalnya, menurut gaya hidup, umur, jenis kelamin, dan tingkat ekonomi.

Dalam rangka melihat lebih dalam persoalan iklan dalam masyarakat yang hidup di tengah gemerlap citra yang diproduksi iklan, saya menganggap perlu untuk membicarakan masalah positioning. Ries dan Trout (1981: 11), dengan melihat banyaknya objek konsumsi dan promosi, mengemukakan bahwa masyarakat kita hari ini adalah masyarakat overcommunicated, yaitu masyarakat yang, bukan saja kebanjiran objek konsumsi –melainkan juga–, kebanjiran informasi. Oleh karena itu, menurut mereka, kreativitas dalam iklan tidak lagi menjadi satu-satunya cara untuk sukses. Di era seperti ini, yang dibutuhkan adalah positioning (Ries dan Trout 1981: 24). Dasar dari positioning bukanlah menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda, namun memanipulasi apa yang telah ada dalam pikiran (Ries dan Trout 1981: 5). Positioning tidak berkaitan dengan apa yang akan dilakukan dengan produk, ia lebih berkaitan dengan cara produk itu diterima secara baik dalam pikiran; karena dalam penjualan, citra produk lebih penting dari produknya (Ries dan Trout 1981: 5 dan 24).

2.2 Wacana Argumentatif

Wacana argumentatif biasanya digunakan untuk mempengaruhi penerima pesan (adressee) agar melakukan perubahan sikap dan tindakan (Renkema 2004: 175). Dalam wacana ini yang terpenting adalah fungsi ajakan (appeal) yang terdapat pada apa yang dalam model organon Buhler disebut sebagai aspek signal bahasa, di mana penerima pesan menangkap sesuatu dari pesan (Renkema 2004: 203).

Terdapat beberapa pandangan mengenai wacana argumentatif, yaitu: pertama, menurut Toulmin (1958), seperti ditulis Renkema (2004: 204), yang terpenting dalam sebuah teks argumentasi bukanlah bangunan logisnya, melainkan cara argumen tersebut dibangun. Bagi Toulmin, argumen merupakan motivasi gagasan atau klaim (claim) yang dinyatakan melalui statemen lain (data). Hubungan argumentatif antara klaim dan data disebut pembenaran atau penjaminan (warrant) (Renkema 2004: 204); kedua, berlawanan dengan Toulmin, dalam perspektif logis, yang terpenting dalam argumentasi adalah cara pemberian alasan (reasoning) bagi validitas argumen, dari mulai penyajian premis hingga penarikan kesimpulan (conclusion) (Renkema 2004: 205); ketiga, dalam perspektif retoris, yang terpenting dalam sebuah teks argumentatif adalah teknik dan efektivitasnya bagi penerima pesan (Renkema 2004: 205); keempat, Eemeren dan Grootendorst (1994), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 205), menganalisis argumentasi dengan pendekatan pragma-dialektis (pragma-dialectic). Menurut mereka argumentasi tersusun dari pragma, yaitu bagian dari ruang diskusi tempat para pesertanya saling bertindak tutur (moves); dan dialectic, bagian dari diskusi yang bersifat kritis yang, bersama moves, menjadi sarana eliminasi perbedaan pendapat (Renkema 2004: 205); kelima, menurut pendekatan sosial-psikologis, tujuan utama teks-teks argumentatif, seperti diskusi, iklan, dan pamflet, adalah ajakan terhadap penerima pesan untuk memikirkan, merasakan, dan melakukan tindakan tertentu (Renkema 2004: 207). Dalam pendekatan ini dibicarakan masalah sikap (attitude) sebagai sebuah faktor penting yang menentukan tingkah laku. Dalam iklan, perubahan sikap amat penting, karena dengan begitu evaluasi produk diharapkan menjadi lebih baik (Renkema 2004: 208).

Mengenai kualitas argumentasi, secara umum dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu: aspek kekuatan (strength), berupa konsekuensi yang mungkin terjadi (probability consequences), misalnya merokok dapat merugikan kesehatan; dan valensi, berupa konsekuensi yang diinginkan (desibrability consequences), misalnya jika ingin sehat, berhentilah merokok (Renkema 2004: 212). Lebih lanjut, Renkema memaparkan empat macam teknik yang biasa digunakan dalam membangun argumentasi, yaitu: (i) memberikan alasan, sebab, atau penjelasan; (ii) membuat perbandingan atau analogi; (iii) memberikan contoh; dan (iv) menyebutkan sumber yang otoritatif.

3. Analisis

3.1 Gairah dalam Iklan Nokia tipe 8210

Untuk hidup penuh gairah

Lewatkan hidup ini dengan penuh kesan. Karena Nokia 8210 menyertakan Picture Messaging, agar pesan SMS anda menjadi lebih berarti dengan lampiran gambar yang serasi. Anda mungkin menganggapnya sebagai ekspresi gairah kehidupan. Kami menyebutnya teknologi yang mengerti Anda.

Berdasarkan kerangka teori yang saya kemukakan di atas, tahap pertama analisis saya adalah mengidentifikasi iklan dan memasukkannya sesuai dengan kategori tertentu. Dalam hal ini, saya mengidentifikasi iklan tersebut hanya menurut kategori teknik, lebih tepatnya antara hard-sell dan soft-sell, dan konsumen; karena selain memiliki relevansi dengan apa yang hendak saya analisis selanjutnya, jelas pula bahwa iklan ini adalah iklan majalah yang menawarkan produk. Dari segi teknik yang digunakannya, di mana tidak ada sama sekali anjuran langsung, iklan ini masuk dalam kategori soft-sell. Bentuk penyiratannya dapat dilihat pada judul iklan untuk hidup penuh gairah. Konsumen yang dibidik dalam iklan ini pada dasarnya sangat abstrak, namun dapat dipahami melalui gambar (lihat lampiran) dan penggunaan kata gairah bahwa yang dibidik dalam iklan ini adalah remaja. Gairah, seperti terdapat dalam KBBI (2001: 326), dapat berarti 'keinginan', 'hasrat', dan 'keberanian yang kuat'. Dengan kata lain, iklan ini menyatakan sesuatu bagi mereka yang penuh keinginan, hasrat, juga keberanian yang kuat. Ketiga kata ini memiliki hubungan dengan hal lain, yaitu harapan, cita-cita, angan, tujuan, dan kata lain yang memiliki asosiasi makna sejenis yang, meskipun dapat juga diimpikan oleh orang tua, biasanya diimpikan oleh mereka yang masih remaja.

Tahap selanjutnya, seperti telah saya kemukakan dalam kerangka teori, adalah menelusuri struktur argumentasi yang dibangun dalam teks tersebut. Barangkali perlu disebutkan di sini, bahwa saya memandang iklan sebagai hal negatif. Saya sependapat dengan Featherstone (2001: 31 dan 33) bahwa iklan merupakan media "pendidikan" publik untuk menjadi konsumen yang di dalamnya terjadi manipulasi tanda secara aktif. Oleh karena itu saya berusaha menelusuri struktur argumentasi dalam iklan berdasarkan fungsi yang disebutkan Featherstone.

Berdasarkan struktur argumentasi yang dikemukakan Toulmin, saya mengurai teks menjadi beberapa bagian berikut.

Klaim : (1) hidup harus dilewatkan dengan penuh kesan

(2) SMS kurang berarti tanpa lampiran gambar

(3) Anda mungkin menyebut pesan SMS dengan lampiran gambar yang serasi adalah ekspresi gairah kehidupan

(4) teknologi yang menyertakan picture messaging adalah teknologi yang mengerti anda

Data : Nokia 8210 menyertakan picture messaging.

Warrant atau pembenaran, seperti telah disebutkan diatas, merupakan hubungan argumentatif antara klaim dan data. Bagi saya, dengan melakukan pendekatan logis terhadap wacana argumentatif, warrant adalah komponen paling menentukan bagi sebuah teks untuk dapat dikatakan argumentatif secara logis. Ia mempunyai nilai yang sama pentingnya dengan reasoning. Jika terdapat hubungan agumentatif, atau warrant dapat ditemukan, teks tersebut logis dan argumentatif; dan sebaliknya, jika tidak, maka teks tersebut bukanlah teks argumentatif, karena ia tidak logis.

Dari sini, analisis saya lanjutkan dengan penelusuran warrant yang menjadi media pembenaran klaim dengan menggunakan data. Sebelumnya, harus dipahami dulu bahwa masing-masing klaim haruslah saling mengaitkan membentuk sebuah kesatuan tema dalam wacana. Antara klaim (1), (2), (3), dan (4) pada dasarnya merupakan klaim-klaim yang terpisah. Yang berhubungan langsung dengan data hanyalah klaim (2), yaitu antara SMS kurang berarti tanpa lampiran gambar dengan Nokia 8210 menyertakan picture messaging. Warrant dalam hal ini adalah: Untuk menjadikan SMS lebih berarti, maka harus disertai gambar yang serasi. Dalam hal ini, yang muncul bukan pembenaran yang dapat dipertanggungjawabkan, namun hanya memunculkan klaim baru yang tidak lagi memiliki data. Jika klaim baru ini dihubungkan dengan klaim (1), akan terbentuk klaim baru yang kira-kira berbentuk untuk melewatkan hidup dengan penuh kesan SMS anda harus disertai gambar yang serasi. Selanjutnya, antara klaim (3) dan (4) dapat menjadi satu klaim: teknologi yang menyertakan picture messaging adalah teknologi yang mengerti ekspresi gairah kehidupan dan mengerti anda.

Struktur argumentasi ini akan semakin parah jika kita menyusun klaim-klaim tersebut menjadi sebuah teks argumentasi. Dengan demikian, gairah dalam teks ini tidak bermakna sebagaimana kita pahami ia sebagai "gairah", karena ia sama sekali tidak iklan tersebut sama sekali tidak menyelesaikan keinginan apa-apa selain "pengumuman" picture messaging. Dalam teks ini kualitas argumen tidak didasarkan pada probability consequence, melainkan pada desirability consequence yang hanya citraan. Inilah positioning dalam iklan, pencitraan yang menghasilkan apa yang disebut Baudrillard (dalam Piliang 2003: 97) fetisisme komoditi dalam masyarakat.

3.2 Kepuasan dalam Iklan Nokia tipe 8850

Nokia 8850

Kepuasan yang paling pribadi

Nokia 8850 mencerminkan suatu rancangan teknologi terkini, bagi mereka yang selalu mendambakan yang terbaik. Casing matt allumunium alloy nan elegan dan tampilan layar dengan sinar putih untuk kemudahan pembacaan. Menggunakan Nokia 8850 adalah kepuasan tersendiri.

Antena dan baterei internal memperindah bentuknya yang ramping. Kecanggihannya pun tak perlu diperdebatkan. Fitur-fitur seperti voice dialling, predictive text input, dan nada getar, menambah sederet kelebihan lain yang dimiliki.

Berbeda dengan iklan di atas, dari segi teknik yang digunakannya, menyiratkan anjuran pembelian, oleh karena itu iklan ini masuk dalam kategori reason. Bentuk penyiratannya dapat dilihat pada judul iklan Menggunakan Nokia 8850 adalah kepuasan tersendiri. Serupa dengan iklan Nokia 8210, konsumen yang dibidik dalam iklan ini pada dasarnya sangat abstrak, namun dapat dipahami melalui gambar (lihat lampiran) dan penggunaan kata kepuasan, bahwa yang dibidik dalam iklan ini adalah golongan mapan. kepuasan, seperti terdapat dalam KBBI (2001: 902), berarti 'tentang kepuasan', dan puas dapat berarti senang, gembira, dan kata lain yang memiliki arti final. Dengan kata lain, iklan ini menyatakan sesuatu bagi mereka yang menginginkan kesenangan, kepuasan, dan segala sesuatu yang sempurna. Ketiga kata ini memiliki hubungan dengan hal lain, misalnya pencapaian sesuatu yang final. Perasaan ini biasanya diimpikan oleh mereka yang telah beranjak dari masa remaja menuju masa yang lebih mapan.

Seperti juga analisis yang saya lakukan pada teks sebelumnya, tahap berikut ini, seperti juga telah saya kemukakan dalam kerangka teori, adalah menelusuri struktur argumentasi yang dibangun dalam teks tersebut. Dalam mengkaji teks ini, saya masih menggunakan formula negatif dalam memandang iklan. Bahwa iklan terjadi manipulasi tanda secara aktif.

Serupa dengan yang saya lakukan pada iklan Nokia tipe 8210, pada iklan ini saya akan menguji struktur argumentasi berdasarkan pendekatan logis dengan menguraikannya terlebih dahulu melalui apa yang dikemukakan Toulmin, yaitu:

Klaim : (1) Nokia 8850 mencerminkan teknologi terkini yang terbaik

(2) menggunakan Nokia 8850 adalah kepuasan tersendiri

(3) Kecanggihan Nokia 8850 tidak perlu diperdebatkan

Data : (1) Nokia 8850 memiliki casing matt allumunium alloy nan elegan.

(2) Nokia 8850 memiliki tampilan layar dengan sinar putih

(3) Nokia 8850 memiliki fasilitas voice dialling.

(4) Nokia 8850 memiliki fasilitas predictive text input.

(5) Nokia 8850 memiliki fasilitas nada getar.

Dengan nalar yang sama, saya menganggap warrant atau pembenaran sebagai hubungan argumentatif antara klaim dan data. Bagi saya, dengan melakukan pendekatan logis terhadap wacana argumentatif, warrant adalah komponen paling menentukan bagi sebuah teks untuk dapat dikatakan argumentatif. Ia mempunyai nilai yang sama pentingnya dengan reasoning. Jika terdapat hubungan argumentatif, atau warrant dapat ditemukan, teks tersebut logis dan argumentatif; dan sebaliknya, jika tidak, maka teks tersebut bukanlah teks argumentatif, karena ia tidak logis.

Dari sini, analisis saya lanjutkan dengan penelusuran warrant yang menjadi media pembenaran klaim dengan menggunakan data. Sebelumnya, harus dipahami dulu bahwa masing-masing klaim haruslah saling mengaitkan membentuk sebuah kesatuan tema dalam wacana.

Berbeda dengan klaim di atas, dalam teks ini antara klaim (1) dengan klaim (3) pada dasarnya merupakan klaim-klaim yang dapat disatukan. Buentuk yang dapat memperlihatkan kesatuan tersebut barangkali adalah: Nokia 8850 mencerminkan teknologi terkini yang terbaik, yang kecanggihannya tidak perlu diperdebatkan. Klaim ini dapat langsung berhubungan dengan, yaitu Nokia 8850 memiliki casing matt allumunium alloy nan elegan, tampilan layar dengan sinar putih, fasilitas voice dialling, fasilitas predictive text input, dan fasilitas nada getar. Dengan kata lain, warrant dalam teks ini adalah teknologi canggih terbaik yang dihubungkan dengan data yang disebutkan dalam iklan tersebut. Hubungan tersevut dapat dilihat sebagai hubungan logis.

Namun, terdapat dua buah pertanyaan lagi, yaitu: pertama, apakah warrant yang terbentuk dalam iklan tersebut betul-betul dapat dipertanggungjawabkan?; dan kedua, apakah itu semua memuaskan?

Bagi saya, warrant ini adalah klaim baru, karena datadata yang ditampilkan untuk mendukung gagasan utama iklan ini juga merupakan klaim pihak Nokia bahwa hal itu merupakan teknologi terkini yang terbaik. Teknologi yang disebutkan Nokia barangkali hanyalah klaim tntang apa yang dimaksud dengan teknologi canggih terbaik. Data tersebut, meski mungkin benar, sama sekali tidak menunjuk pada realitas di luar teks yang pada kenyataannya, bahkan pihak Nokia sendiri, telah melengkapi produk alat komunikasi yang keluar lebih awal dengan fitur-fitur yang ia sebutkan. Teknologi canggih hanyalah tipuan strategi positioning untuk membentuk citra kepuasan. Citra ini menjadi ikatan yang menyatukan antara kepentingan konsumen dan produsen. Bahkan, jika kita mengkaji lebih jauh, manusia pada dasarnya hidup tanpa mengenal rasa puas, apalagi dengan mengonsumsi teknologi yang ditawarkan dalam jumlah massal.masyarakat konsumen selalu berkepentingan untuk menjadikan objek konsumsi sebagai pembeda dirinya dengan orang lain, sehingga hasrat nyaris mustahil terpuaskan. Seperti dinyatakan oleh Deleuze dan Guattari (dalam Piliang 2003: 150), hasrat tidak akan pernah terpuaskan, karena ia diproduksi oleh mesin hasrat (desiring machine) yang memproduksi rasa kekurangan secara terus menerus. Sekali hasrat dicoba untuk dipenuhi dengan penggunaan objek tertentu, maka akan muncul hasrat baru yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh karena hasrat tidak disebabkan oleh kekurangan alamiah kita terhadap objek, melainkan kita mereproduksinya sendiri.

4. Kesimpulan

Berdasarkan analisis ini, saya menyimpulkan bahwa baik pada iklan Nokia 8210 dan 8850, dalam keduanya terdapat garis argumentasi yang hilang. Garis ini menandakan sebuah manipulasi yang dilakukan strategi positioning dalam memanipulasi apa yang telah kita ketahui tentang gairah dan kepuasan. Garis ini menandai sebuah usaha penghapusan nilai guna barang dan pemanfaatan nilai guna sekundernya untuk membentuk citra yang tidak dapat dihubungkan secara logis.


Daftar Acuan

Cook, Guy. 2001. The Discourse of Advertising (edisi kedua). London: Routledge

Featherstone, Mike. 2001. Postmodernisme dan Budaya Konsumen. Terjemahan Consumer Culture and Postmodernism oleh Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Bandung: Jalasutra.

Renkema, Jan. 2004. Introduction to Discourse Studies. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.

Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Terjemahan The Postmodern Social Theory oleh Muhammad Taufiq. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Sumber Data

Majalah Kosmopolitan, edisi September 2000.

Majalah Bazaar, edisi Februari 2001.

Linguistik: Morfologi

Infleksi pada Nomina dalam Bahasa Arab

Makyun Subuki

1. Pendahuluan

Berbeda dengan kebanyakan bahasa lain, kelas kata dalam bahasa Arab terbagi hanya menjadi tiga, yaitu ism (nomina), fi'l (verba), dan ђarf (kata tugas). Bentuk lainnya, seperti adjektiva (shifah), dhzarf (adverbia), dlamīr (pronomina), dan artikel demonstratif (al-isyārah), ketiganya masuk dalam kategori ism (Dahdah 1981: 25). Selain harf, semua bentuk yang termasuk dalam kategori nomina dan verba dapat berinfleksi. Dengan kata lain, pembahasan tentang infleksi pada nomina dalam bahasa Arab berkaitan juga dengan pembahasan infleksi pada semua kategori yang ada di dalamnya.

2. Kerangka Teori

2.1 Definisi Infleksi

Infleksi dapat didefinisikan dari dua arah yang berbeda: pertama, berdasarkan hubungan antara word-form dengan leksemnya; dan kedua, berdasarkan hubungannya dengan sintaksis. Berkenaan dengan hubungan antara word-form dengan leksemnya ini, Bauer (1988: 73) menyatakan bahwa infleksi menetapkan word-form dari leksem tertentu. Bahkan Stump (1998), dalam Spencer dan Zwicky (1998: 14), secara teknis mendefinisikan infleksi sebagai perangkat analisis dalam morfologi yang dapat digunakan untuk mengabstraksikan hubungan antarkata dalam sebuah paradigma (paradigm) dengan leksem intinya. Berkaitan dengan sintaksis, Katamba (1993: 205) menghubungkan infleksi dengan pembentukan kata dan afiksasi yang berkaitan dengan sintaksis. Beard (1998), dalam Spencer dan Zwicky (1998: 44), mempertegas pendapat Katamba dengan berpendapat bahwa infleksi membatasi fungsi gramatikal kata tanpa mengubah maknanya. Haspelmath (2002: 77) mempersempit pendapat ini dan menganggap bahwa kaidah infleksi hanya dapat berlaku setelah kaidah sintaksis berjalan (post-syntactic).

Linguistik: Pragmatik

Mengapa Pragmatik Perlu Dipelajari dalam Program Studi Linguistik?

Makyun Subuki

13 Desember 2006

1. Pendahuluan

Dalam jangka yang cukup lama, seperti diungkap oleh Yule (1996: 6), studi bahasa sangat dikuasai oleh kecenderungan untuk menjelaskan bahasa berdasarkan sistem formalnya, yaitu dengan menurunkan sistem yang terdapat dalam matematika dan logika, dan mengabaikan unsur pengguna bahasa. Sebagai tataran terbaru dalam linguistik, Pragmatik merupakan satu-satunya tataran yang turut memperhitungkan manusia sebagai pengguna bahasa. Meskipun memiliki fokus kajian yang serupa dengan semantik, yaitu makna, seperti akan saya jelaskan kemudian, makna yang dikaji dalam pragmatik berbeda dengan makna yang dikaji dalam semantik.

Makalah ini bertujuan menjelaskan pentingnya bidang pragmatik untuk dipelajari dalam program studi linguistik. Untuk tujuan tersebut, saya mengawali makalah ini dengan pembahasan mengenai pengertian pragmatik, perkembangannya, menjelaskan secara singkat topik-topik bahasannya, dan, dengan melihat perbedaan kajiannya dengan bidang lain dalam linguistik, menunjukkan pentingnya pragmatik.

2. Definisi Pragmatik

Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.

Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).

Leech (1983: 6 (dalam Gunarwan 2004: 2)) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.

3. Perkembangan Pragmatik

Mey (1998), seperti dikutip oleh Gunarwan (2004: 5), mengungkapkan bahwa pragmatik tumbuh dan berkembang dari empat kecenderungan atau tradisi, yaitu: (1) kecenderungan antisintaksisme; (2) kecenderungan sosial-kritis; (3) tradisi filsafat; dan (4) tradisi etnometodologi.

Kecenderungan yang pertama, yang dimotori oleh George Lakoff dan Haji John Robert Ross, menolak pandangan sintaksisme Chomsky, yaitu bahwa dalam kajian bahasa yang sentral adalah sintaksis, dan bahwa fonologi, morfologi, dan semantik bersifat periferal. Menurut Lakoff dan Ross, keapikan sintaksis (well-formedness) bukanlah segalanya, sebab, seperti sering kita jumpai, komunikasi tetap dapat berjalan dengan penggunaan bentuk yang tidak apik secara sintaksis (ill-formed), bahkan semantik (Gunarwan 2004: 6).

Kecenderungan kedua, yang tumbuh di Eropa, tepatnya di Britania, Jerman, dan Skandinavia (Mey 1998: 717 (dalam Gunarwan 2004: 6)), muncul dari keperluan terhadap ilmu bahasa yang secara sosial relevan, bukan yang sibuk dengan deskripsi bahasa semata-mata secara mandiri.

Tradisi yang ketiga, yang dipelopori oleh Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, dan terutama John L. Austin dan John R. Searle, adalah tradisi filsafat. Para pakar tersebut mengkaji bahasa, termasuk penggunaannya, dalam kaitannya dengan logika. Leech (1983: 2), seperti dikutip Gunarwan (2004: 7), mengemukakan bahwa pengaruh para filsuf bahasa, misalnya Austin, Searle, dan Grice, dalam pragmatik lebih besar daripada pengaruh Lakoff dan Ross.

Tradisi yang keempat adalah tradisi tradisi etnometodologi, yaitu cabang sosiologi yang mengkaji cara para anggota masyarakat tutur (speech community) mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka. Dalam etnometodologi, bahasa dikaji bukan berdasarkan aspek kegramatikalannya, melainkan berdasarkan cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Dengan kata lain, kajian bahasa dalam etnometodologi lebih ditekankan pada komunikasi, bukan tata bahasa (Gunarwan 2004: 6).

4. Beberapa Topik Pembahasan dalam Pragmatik

4.1 Teori Tindak-Tutur

Melalui bukunya, How to Do Things with Words, Austin dapat dianggap sebagai pemicu minat yang paling utama dalam kajian pragmatik. Sebab, seperti diungkap oleh Marmaridou (2000: 1 (dalam Gunarwan 2004: 8)), sejak itu bidang kajian ini telah berkembang jauh, sehingga kita dapat melihat sejumlah kecenderungan dalam pragmatik, yaitu pragmatik filosofis (Austin, Searle, dan Grice), pragmatik neo-Gricean (Cole), pragmatik kognitif (Sperber dan Wilson), dan pragmatik interaktif (Thomas).

Austin, seperti dikutip oleh Thomas (1995: 29-30), bermaksud menyanggah pendapat filosof positivisme logis, seperti Russel dan Moore, yang berpendapat bahwa bahasa yang digunakan sehari-hari penuh kontradiksi dan ketaksaan, dan bahwa pernyataan hanya benar jika bersifat analitis atau jika dapat diverifikasi secara empiris. Contoh.

(1) Ada enam kata dalam kalimat ini

(2) Presiden RI adalah Soesilo Bambang Yoedoyono

Dari contoh di atas, dapat dipahami bahwa para filosof yang dikritik Austin ini mengevaluasi pernyataan berdasarkan benar atau salah (truth condition), yaitu, sesuai contoh di atas, kalimat (1) benar secara analitis dan kalimat (2) benar karena sesuai dengan kenyataan. Persyaratan kebenaran ini kemudian diadopsi oleh linguistik sebagai truth conditional semantics (Thomas 1995: 30).

Austin (dalam Thomas 1995: 31) berpendapat bahwa salah satu cara untuk membuat pembedaan yang baik bukanlah menurut kadar benar atau salahnya, melainkan melalui bagaimana bahasa dipakai sehari-hari. Melalui hipotesis performatifnya, yang menjadi landasan teori tindak-tutur (speech-act), Austin berpendapat bahwa dengan berbahasa kita tidak hanya mengatakan sesuatu (to make statements), melainkan juga melakukan sesuatu (perform actions). Ujaran yang bertujuan mendeskripsikan sesuatu disebut konstatif dan ujaran yang bertujuan melakukan sesuatu disebut performatif. Yang pertama tunduk pada persyaratan kebenaran (truth condition) dan yang kedua tunduk pada persyaratan kesahihan (felicity condition) (Gunarwan 2004: 8). Contoh.

(3) Dengan ini, saya nikahkan kalian (performatif)

(4) Rumah Joni terbakar (konstatif)

Selanjutnya Austin, seperti juga ditekankan lebih lanjut oleh Searle (dalam Gunarwan 2004: 9), memasukkan ujaran konstatif, karena memiliki struktur dalam yang mengandungi makna performatif, sebagai bagian dari performatif (Austin 1962: 52 dan Thomas 1995: 49). Dalam contoh (4), struktur dalam ujaran tersebut dapat saja berbunyi Saya katakan bahwa rumah Joni terbakar.

Tindakan yang dihasilkan dengan ujaran ini mengandung tiga tindakan lain yang berhubungan, yaitu lokusi (locutionary act), ilokusi (illocutionary act), dan perlokusi (perlocutionary act) (Yule 1996: 48). Tindak lokusioner berkaitan dengan produksi ujaran yang bermakna, tindak ilokusioner terutama berkaitan dengan intensi atau maksud pembicara, dan tindak perlokusioner berkaitan dengan efek pemahaman pendengar terhadap maksud pembicara yang terwujud dalam tindakan (Thomas 1995: 49). Tindak-tutur, seperti dikembangkan lebih jauh oleh Searle (dalam Gunarwan 2004: 9), dapat berupa tindak-tutur langsung (direct speech-act) dan tindak-tutur tidak langsung (indirect speech-act). Dalam direct speeh-act terdapat hubungan langsung antara struktur kalimat dengan fungsinya, sedangkan dalam indirect speech-act hubungannya tidak langsung atau menggunakan (bentuk) tindak-tutur lain (Gunarwan 2004: 9; dan Yule 1996: 54-55).

Selain itu, Searle juga menyebut lima jenis fungsi tindak-tutur, yaitu asertif (assertive), direktif (directive), komisif (comissive), ekspresif (expressive), dan deklarasi (declaration) (Littlejohn 2002: 80; dan Yule 1996: 53-54). Asertif atau representatif merupakan tindak-tutur yang menyatakan tentang sesuatu yang dipercayai pembicaranya benar; direktif merupakan tindak-tutur yang menghendaki pendengarnya melakukan sesuatu; komisif merupakan tindak-tutur yang digunakan pembicaranya untuk menyatakan sesuatu yang akan dilakukannya; ekspresif merupakan tindak-tutur yang menyatakan perasaan pembicaranya; dan deklarasi merupakan tindak-tutur yang mengubah status sesuatu.

4.2 Prinsip Kerja Sama (Cooperative Principle)

Grice mengemukakan bahwa percakapan yang terjadi di dalam anggota masyarakat dilandasi oleh sebuah prinsip dasar, yaitu prinsip kerja sama (cooperative principle) (Yule 1996: 36-37 dan Thomas 1995: 61). Kerja sama yang terjalin dalam komunikasi ini terwujud dalam empat bidal (maxim), yaitu (1) bidal kuantitas (quantity maxim), memberi informasi sesuai yang diminta; (2) bidal kualitas (quality maxim), menyatakan hanya yang menurut kita benar atau cukup bukti kebenarannya; (3) bidal relasi (relation maxim), memberi sumbangan informasi yang relevan; dan (4) bidal cara (manner maxim), menghindari ketidakjelasan pengungkapan, menghindari ketaksaan, mengungkapkan secara singkat, mengungkapkan secara beraturan (Gunarwan 2004: 11 dan Thomas 1995: 63-64).

Berkaitan dengan prinsip kerja sama Grice di atas, pada kenyataannya, dalam komunikasi kadang kita tidak mematuhi prinsip tersebut. Hal ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 12-14), didasarkan atas beberapa alasan, misalnya untuk memberikan informasi secara tersirat (implicature) dan menjaga muka lawan bicara (politeness).

4.3 Implikatur (Implicature)

Grice, seperti diungkap oleh Thomas (1995: 57), menyebut dua macam implikatur, yaitu implikatur konvensional dan implikatur konversasional. Implikatur konvensional merupakan implikatur yang dihasilkan dari penalaran logika, ujaran yang mengandung implikatur jenis ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 14), dapat dicontohkan dengan penggunaan kata bahkan. Implikatur konversasional merupakan implikatur yang dihasilkan karena tuntutan konteks tertentu (Thomas 1995: 58). Contoh.

(5) Bahkan Bapak Menteri Agama menghadiri sunatan anak saya

(6) Saya kebetulan ke Inggris untuk studi selama dua tahun dan berangkat besok

Contoh (5) di atas merupakan implikatur konvensional yang berarti Bapak Menteri Agama biasanya tidak menghadiri acara sunatan, sedangkan contoh (6) merupakan implikatur konversasional yang bermakna ‘tidak’ dan merupakan jawaban atas pertanyaan maukah Anda menghadiri selamatan sunatan anak saya?

Berbeda dengan Grice, menurut Gazdar, dengan menggunakan prinsip kerja sama Grice, implikatur dapat dibedakan menjadi implikatur khusus dan implikatur umum. Yang pertama ada karena konteks ujaran, misalnya contoh (6) di atas, sedangkan yang kedua tidak, misalnya contoh (5) di atas.

4.4 Teori Relevansi

Teori relevansi yang dikembangkan oleh Sperber dan Wilson merupakan kritik terhadap empat maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama Grice. Menurut mereka, bidal yang terpenting dalam teori Grice adalah bidal relevansi, dan percakapan dapat terus berjalan meski hanya melalui bidal ini. Dalam teori relevansi dipelajari bagaimana sebuah muatan pesan dapat dipahami oleh penerimanya. Sperber dan Wilson (1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 22), menyebutkan bahwa bahasa dalam penggunaannya (language in use) selalu dapat diidentifikasi melalui hal yang disebutnya indeterminacy atau underspecification. Melalui hal tersebut, penerima pesan (addressee) hanya memilih sesuatu yang dianggapnya relevan dengan apa yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan (addresser) dalam konteks komunikasi tertentu. Contoh.

(7) Pastikan semua pintu terkunci jika meninggalkan ruangan ini.

Setiap pembaca dapat memahami bahwa pesan ini hanya berlaku jika ia akan meninggalkan ruangan tersebut untuk terakhir kalinya, bukan untuk setiap kali meninggalkan ruangan, misalnya untuk ke kamar mandi. Dengan kata lain, pesan ini berada dalam spesifikasi tertentu yang disepakati oleh addresser dan addressee dalam konteks komunikasi.

Selanjutnya, untuk menjelaskan cara sebuah pesan dipahami penerimanya, Sperber dan Wilson (1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 22), menetapkan tiga macam hubungan antara cue dan implicature, yaitu: pertama, ujaran merupakan sebentuk tindakan dari komunikasi ostensif, misalnya tindakan untuk membuat sesuatu menjadi jelas dan dapat dimengerti oleh penerima pesan; kedua, komunikasi tidak hanya memasukkan apa yang ada dalam pikiran pengirim pesan ke dalam pikiran penerima pesan, namun mencakup perluasan wilayah kognitif (cognitive environment) kedua belah pihak. Misalnya pada contoh (7) di atas, pengirim pesan dapat memperkirakan reaksi penerima pesan terhadap pesan yang disampaikannya, yaitu tidak perlu mengunci pintu jika keluar dalam batasan waktu dan situasi yang diperkirakan cukup aman; dan ketiga, explicature atau degree of relevance, tahapan yang harus dilewati untuk memahami implikatur dalam percakapan. Contoh yang ditulis Renkema (2004: 23) di bawah ini memberikan gambaran yang cukup jelas.

(8) A: Well, there is a shuttle service sixty euros one-way, when do you want to go?

B: At the weekend.

A: What weekend?

B: Next weekend. How does it works? You just turn up for the shuttle service?

A: That might be cheaper. Then that's fifty.

Dalam percakapan di atas, pemahaman penerima pesan terhadap apa yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan terjadi melalui beberapa tahapan. Dalam percakapan tersebut, B mengira A mengerti bahwa at the weekend berarti next weekend, padahal A harus memastikan dengan jelas setiap pemesanan pembelian tiket. Begitu juga A, ia mengandaikan B dapat mengerti bahwa that migh be cheaper dapat berarti If you purchase a ticket now, you have booked seat which costs 60 euros. If you buy ticket when you turn up, it costs 50 euros. Dalam hal ini, ujaran at the weekend, dalam pengertian degree of relevance, merupakan ujaran yang relevansinya rendah dan membutuhkan processing effort yang lebih besar, sedangkan that might be cheaper merupakan ujaran yang relevansinya lebih baik; karena semakin tinggi contextual effect maka semakin rendah ia membutuhkan processing effort.

4.5 Kesantunan (Politeness)

Konsep strategi kesantunan yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson diadaptasi dari konsep face yang diperkenalkan oleh seorang sosiolog bernama Erving Goffman (1956) (Renkema 2004: 24-25). Menurut Goffman (1967: 5), yang dikutip oleh Jaszczolt (2002: 318), "face merupakan gambaran citra diri dalam atribut sosial yang telah disepakati". Dengan kata lain, face dapat diartikan kehormatan, harga diri (self-esteem), dan citra diri di depan umum (public self-image). Menurut Goffman (1956), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 25), setiap partisipan memiliki dua kebutuhan dalam setiap proses sosial: yaitu kebutuhan untuk diapresiasi dan kebutuhan untuk bebas (tidak terganggu). Kebutuhan yang pertama disebut positive face, sedangkan yang kedua disebut negative face.

Berdasarkan konsep face yang dikemukakan oleh Goffman ini, Brown dan Levinson (1978) membangun teori tentang hubungan intensitas FTA dengan kesantunan yang terrealisasi dalam bahasa (Renkema 2004: 25). Intensitas FTA diekspresikan dengan bobot atau weight (W) yang mencakup tiga parameter sosial, yaitu: pertama, tingkat gangguan atau rate of imposition (R), berkenaan dengan bobot mutlak (absolute weight) tindakan tertentu dalam kebudayaan tertentu, misalnya permintaan "May I borrow your car?" mempunyai bobot yang berbeda dengan permintaan "May I borrow your pen?"; kedua, jarak sosial atau social distance (D) antara pembicara dengan lawan bicaranya, misalnya bobot kedua permintaan di atas tidak terlalu besar jika kedua ungkapan tersebut ditujukan kepada saudara sendiri; dan ketiga, kekuasaan atau power (P) yang dimiliki lawan bicara (Renkema 2004: 26). Contoh.

(9) a. Maaf, Pak, boleh tanya?

b. Numpang tanya, Mas?

Dalam contoh di atas terlihat jelas, ujaran (9a) mungkin diucapkan pembicara yang secara sosial lebih rendah dari lawan bicaranya, misalnya mahasiswa kepada dosen atau yang muda kepada yang tua; sedangkan ujaran (9b) mungkin diucapkan kepada orang yang secara sosial jaraknya lebih dekat (9a).

Politeness (kesantunan) dalam hal ini dapat dipahami sebagai upaya pencegahan dan atau perbaikan dari kerusakan yang ditimbulkan oleh FTA; semakin besar intensitas FTA mengancam stabilitas komunikasi, maka politeness strategy semakin dibutuhkan. Politeness, face work technique, yang bertujuan untuk mendapatkan positive face disebut solidarity politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan pujian; sedangkan politeness yang dilakukan untuk tujuan sebaliknya disebut respect politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan melakukan tindakan yang tidak kooperatif dalam komunikasi (Renkema 2004: 25). Berkaitan dengan politeness strategy ini, Brown dan Levinson (1978), seperti diungkapkan oleh Renkema (2004: 26), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat banyak cara untuk menghindari FTA yang dapat direduksi menjadi lima macam cara. Kelima strategi tersebut diurut berdasarkan tingkat resiko "kehilangan muka"; semakin tinggi resiko kehilangan muka, maka semakin kecil kemungkinan pembicara melakukan FTA. Dalam hal ini, Renkema (2004: 27) memberi contoh strategi tersebut.

(5) a. Hey, lend me a hundred dollars. (baldly)

b. Hey, friend, could you lend me a hundred bucks? (positive polite)

c. I'm sorry I have to ask, but could you lend me a hundred dollars? (negative polite)

e. Oh no, I'm out of cash! I forgot to go to the bank today. (off record)

Teori kesantunan lain dibahas oleh Leech (1983). Pakar ini membahas teori kesantunan dalam kerangka retorika interpersonal (Eelen 2001: 6). Dalam hal ini, Leech (dalam Eelen 2001: 8) menyebutkan enam bidal kesantunan, yaitu bidal kebijaksanaan (tact maxim), bidal kedermawanan (generosity maxim), bidal pujian (approbation maxim), bidal kerendahhatian (modesty maxim), bidal kesetujuan (aggreement maxim), bidal simpati (sympathy maxim); dan, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 19), ditambah bidal pertimbangan (consideration maxim).

5. Pragmatik dalam Linguistik

Seperti telah saya uraikan sedikit dalam sub 3 di atas, salah satu kecenderungan yang melatarbelakangi berkembangnya pragmatik adalah antisintaksisme Lakoff dan Ross. Dalam sintaksis, seperti dikemukakan oleh Yule (1996: 4), dipelajari bagaimana hubungan antarbentuk linguistis, bagaimana bentuk-bentuk tersebut dirangkai dalam kalimat, dan bagaimana rangkaian tersebut dapat dinyatakan well-formed secara gramatikal. Secara umum, sintaksis tidak mempersoalkan baik makna yang ditunjuknya maupun pengguna bahasanya, sehingga bentuk seperti kucing menyapu halaman, meskipun tidak dapat diverifikasi secara empiris, tetap dapat dinyatakan apik secara sintaksis.

Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata didasarkan atas prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi tetap dapat berjalan. Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan dalam etnometodologi, bahasa digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat dipahami, dan memang sering kita temukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun menggunakan bahasa yang tidak apik secara sintaksis; dan kedua, demi kebutuhan para anggota masyarakat tutur untuk mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka, selain tata bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam analisis bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama antara sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya studi pragmatik dalam linguistik, terletak pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa.

Pembahasan tentang makna membawa kita pada pentingnya semantik, yaitu tataran linguistik yang mengkaji hubungan antara bentuk-bentuk linguistik (linguistic forms) dan entitas yang terdapat di luar bahasa, dalam analisis bahasa. Berdasarkan truth conditional semantics, untuk dapat dinyatakan benar, sebuah pernyataan harus dapat diverifikasi secara empiris atau harus bersifat analitis. Dengan demikian, bentuk kucing menyapu halaman adalah bentuk yang tidak berterima secara semantis, karena tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan termasuk pernyataan logika. Namun demikian, pembahasan makna dalam semantik belum memadai, karena masih mengabaikan unsur pengguna bahasa, sehingga bentuk seperti seandainya saya dapat berdiri tentu saya tidak akan dapat berdiri dan saya akan datang besok pagi, meskipun bentuk seperti ini dapat saja kita jumpai, tidak dapat dinyatakan benar karena yang pertama menyalahi logika dan yang kedua tidak dapat diverifikasi langsung. Dengan kata lain, untuk menjelaskan fenomena pemakaian bahasa sehari-hari, di samping sintaksis dan semantik, dibutuhkan juga pragmatik yang dalam hal ini saya pahami sebagai bidang yang mengkaji hubungan antara struktur yang digunakan penutur, makna apa yang dituturkan, dan maksud dari tuturan. Kegunaan pragmatik, yang tidak terdapat dalam sintaksis dan semantik, dalam hal ini dapat ditunjukkan dengan, misalnya, bagaimana strategi kesantunan mempengaruhi penggunaan bahasa, bagaimana memahami implikatur percakapan, dan bagaimana kondisi felisitas yang memungkinkan bagi sebuah tindak-tutur.

Selanjutnya, untuk melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik, saya akan mengemukakan pendapat Leech (1980). Menurut Leech (dalam Eelen 2001: 6) perbedaan antara semantik dan pragmatik pada, pertama, semantik mengkaji makna (sense) kalimat yang bersifat abstrak dan logis, sedangkan pragmatik mengkaji hubungan antara makna ujaran dan daya (force) pragmatiknya; dan kedua, semantik terikat pada kaidah (rule-governed), sedangkan pragmatik terikat pada prinsip (principle-governed). Tentang perbedaan yang pertama, meskipun makna dan daya adalah dua hal yang berbeda, keduanya tidak dapat benar-benar dipisahkan, sebab daya mencakup juga makna. Dengan kata lain, semantik mengkaji makna ujaran yang dituturkan, sedangkan pragmatik mengkaji makna ujaran yang terkomunikasikan atau dikomunikasikan. Selanjutnya, kaidah berbeda dengan prinsip berdasarkan sifatnya. Kaidah bersifat deskriptif, absolut atau bersifat mutlak, dan memiliki batasan yang jelas dengan kaidah lainnya, sedangkan prinsip bersifat normatif atau dapat diaplikasikan secara relatif, dapat bertentangan dengan prinsip lain, dan memiliki batasan yang bersinggungan dengan prinsip lain.

Lebih jauh lagi, dalam pengajaran bahasa, seperti diungkapkan Gunarwan (2004: 22), terdapat keterkaitan, yaitu bahwa pengetahuan pragmatik, dalam arti praktis, patut diketahui oleh pengajar untuk membekali pemelajar dengan pengetahuan tentang penggunaan bahasa menurut situasi tertentu. Dalam pengajaran bahasa Indonesia, misalnya, pengetahuan ini penting untuk membimbing pemelajar agar dapat menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan situasinya, karena selain benar, bahasa yang digunakan harus baik. Dalam pengajaran bahasa asing, pengetahuan tentang prinsip-prinsip pragmatik dalam bahasa yang dimaksud penting demi kemampuan komunikasi yang baik dalam bahasa tersebut. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa kaitan antara pragmatik dan pengajaran bahasa adalah dalam hal kompetensi komunikatif yang mencakup tiga macam kompetensi lain selain kompetensi gramatikal (grammatical competence), yaitu kompetensi sosiolinguistik (sociolinguistic competence) yang berkaitan dengan pengetahuan sosial budaya bahasa tertentu, kompetensi wacana (discourse competence) yang berkaitan dengan kemampuan untuk menuangkan gagasan secara baik, dan kompetensi strategik (strategic competence) yang berkaitan dengan kemampuan pengungkapan gagasan melalui beragam gaya yang berlaku khusus dalam setiap bahasa.

6. Penutup

Seperti telah disebutkan di muka, tujuan tulisan ini adalah menunjukkan bahwa pragmatik penting dipelajari dalam program studi linguistik. Berdasarkan penjelasan di atas, saya melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik setidaknya dalam dua hal, pertama, pragmatik merupakan satu-satunya tataran dalam linguistik yang mengkaji bahasa dengan memperhitungkan juga penggunanya; kedua, berkaitan dengan ketidakmampuan sintaksis dan semantik dalam menjelaskan fenomena penggunaan bahasa sehari-hari, saya melihat kedudukan semantik dan pragmatik sebagai dua hal yang saling melengkapi. Selain itu, berkaitan dengan pengajaran bahasa, pragmatik berperan dalam pengembangan kompetensi komunikatif.

Daftar Acuan

Austin, John L. 1962. How to Do Things with Word (edisi kedua). Oxford: Oxfod University Press.

Brown, Penelope., dan Stephen C. Levinson. 1978. Politeness: Some Universal in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.

Eelen, Gino. 2001. A Critique of Politeness Theories. Manchester, UK: St. Jerome Publishing

Gunarwan, Asim. 2004. Dari Pragmatik ke Pengajaran Bahasa (Makalah Seminar Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah). IKIP Singaraja.

Jaszczolt, K.M. 2002. Semantics and Pragmatics: Meaning in Language and Discourse. Edinburgh: Pearson Education.

Renkema, Jan. 2004. Introduction to Discourse Studies. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.

Thomas. Jenny. 1995. Meaning in Interaction: an Introduction to Pragmatics. London/New York: Longman.

Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford. Oxford University Press.