This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Saturday, February 28, 2009

Linguistik: Morfologi


Satuan Analisis dalam Morfologi: Leksem
Makyun Subuki
13 Februari 2005

Definisi paling umum dari leksem adalah “dictionary words” (Bauer 1988: 8 dan Haspelmath 2002: 13) atau, seperti dikutip oleh Katamba (1993: 18) dari Di Scuillo dan Williams (1987), kata yang tertulis dalam kamus. Lebih jauh lagi, Lyons (1968: 403) mendefinisikan leksem sebagai satuan dasar dalam sintaksis dan semantik, yaitu satuan yang lebih abstrak dibandingkan dengan bentuk inflektifnya yang terdapat dalam suatu keseluruhan kalimat (Lyons 1968: 179). Namun sebaliknya, penulisan leksem dalam kamus Arab dimulai dengan bentuk kala lampau dengan persona ketiga tunggal maskulin, misalnya KATABA ‘ia (laki-laki) telah menulis’ untuk leksem MENULIS (Haspelmath 2002: 14). Senada dengan Lyons, Bauer (1988: 17) dan Haspelmath (2002: 13) menyatakan bahwa leksem merupakan kosakata abstrak, yaitu bentuk umum, atau bisa jadi asal, yang dapat diasosiasikan dengan seluruh word-form-nya (Bauer 1988: 8) sebagai bentuk yang digunakan dalam teks atau text word (Haspelmath 2002: 13). Contoh:
(1) a. He goes to the market
b. I go to the market
c. I went to the market yesterday
d. He has gone
bentuk goes, go, went, dan gone merupakan realisasi dari leksem GO, dan sebagai sebuah kesatuan, seperangkat word-form tersebut dinamakan lexemic paradigm (Haspelmath 2002: 14). Dalam bahasa Indonesia, hubungan tersebut dapat dilihat dalam kata seperti berjalan, menjalani, menjalankan, dijalani, dan perjalanan sebagai perwujudan leksem JALAN (Dik dan Kooij 1979: 154).
Leksem sebagai bentuk abstrak dari word-form menurut Stump (1998), dalam Spencer dan Zwicky (1998: 13), merupakan satuan dalam analisis linguistik yang hanya memiliki sebagian kategori sintaksis, sebagian makna dan fungsi gramatikalnya, dan biasanya dapat hadir sebagai kata tunggal dalam kombinasi sintaksis tertentu. Dengan demikian, selain dapat dibedakan dari word-form, leksem juga dapat dibedakan dari kata gramatikal sebagai bentuk yang dilihat dari aspek deskriptifnya ketimbang bentuknya (Bauer 1988: 9) atau bentuk yang berhubungan dengan sifat morfo-sintaksisnya (Katamba 1993: 19), dalam contoh di bawah ini dapat kita lihat:
(2) a. Lee walked home.
b. lee went home.
(3) a. Lee has walked home.
b. lee has gone home.
word-form walked yang terdapat dalam kalimat (2a) dan (3a) merupakan realisasi dari leksem WALK. Namun, walked dalam kedua kalimat di atas tidak persis sama, seperti dapat kita lihat ketika kita membandingkan went dan gone dalam kalimat (2b) dan (3b) yang merupakan perwujudan atas leksem yang sama, GO. Dalam kalimat (2a), walked merealisasikan walk + past tense, sedangkan dalam kalimat (3a) walk + past participle. Kita dapat mengatakan bahwa walked dalam (2a) dan (3a) merupakan kata yang berbeda (different words), meskipun keduanya merupakan word-form yang sama dan merealisasikan leksem yang sama. Kita dapat mengatakan bahwa kata tersebut merupakan grammatical words yang berbeda.
Menurut Stump (1998), dalam Spencer dan Zwicky (1998:13), leksem dapat terdiri atas satu akar atau lebih, oleh karena itu leksem dapat dibedakan menjadi simple lexeme, complex lexeme, dan compound lexeme (Matthews 1991: 37). Simple lexeme adalah leksem yang hanya terdiri dari sebuah akar sebelum mendapat afiks derivatif, definisi dapat diturunkan dari contoh yang dikemukakan oleh Haspelmath (2002: 15) bahwa reads dan reading dalam the girl reads a magazine dan reading magazines is fun tidaklah menggambarkan konsep yang berbeda dari READ. Lebih tegas lagi dapat disimpulkan dari yang terdapat dalam contoh yang dikemukakan oleh Matthews (1991: 37) bahwa UNAGEING sebagai complex lexeme berhubungan dengan leksem AGEING yang lebih simpel namun juga kompleks, dan complex lexeme AGEING juga berhubungan dengan simple lexeme AGE. Contoh tersebut juga menjelaskan bahwa complexe lexeme merupakan leksem baru sebagai derivasi dari simple lexeme. Adapun compound lexeme adalah leksem yang terdiri atas gabungan dua buah simple lexeme atau lebih (Matthews 1991: 37), misalnya leksem FIREWOOD ‘kayu bakar’ yang merupakan gabungan dari buah simple lexeme, FIRE ‘api’ dan WOOD ’kayu’ (Haspelmath 2002: 16). Dalam bahasa Arab, sebuah verba berbentuk simple lexeme (mujarrad) dapat muncul dalam tigabelas word-form berkala lampau, tiga belas word-form berkala kini dan akan datang, dan lima word-form imperatif (al-Mishry t.th.: 557), misalnya ghafara ‘seorang laki-laki telah mengampuni,’ ghafarat ‘seorang perempuan telah mengampuni,’ taghfiruna ‘kalian (tiga laki-laki atau lebih) mengampuni,’ naghfiru ‘kami mengampuni,’ dan ighfirū ‘(kepada tiga orang laki-laki atau lebih) ampunilah!’ yang merupakan word-form dari GHAFARA. Bentuk simple lexeme seperti ini dapat diderivasikan menjadi complex lexeme (mazīd) yang dapat diwujudkan dalam jumlah word-form yang sama banyak, misalnya astaghfiru ‘saya memohon ampun’ dan yastaghfirūn ‘mereka memohon ampun’ yang merupakan perwujudan dari leksem ISTAGHFARA. Bentuk compound lexeme juga dapat dijumpai dalam bahasa Arab, misalnya dalam shillatur-rahim ‘silaturahmi,’ al-hajar al-aswad ‘hajar aswad,’ dan ahlul-bayt ‘keluarga Nabi.’ Bentuk simple lexeme dan complex lexeme dalam bahasa Indonesia dapat terlihat jelas dalam hubungan yang terdapat pada, misalnya HEWAN dan HEWANI atau dalam hubungan antara HIJAU dan KEHIJAU-HIJAUAN (Dik dan Kooij 1979: 173). Adapun compound lexeme dalam bahasa Indonesia dapat terlihat dalam bentuk seperti, misalnya DAYA GUNA yang dapat dikenai proses morfologis selanjutnya menjadi pendayagunaan.
Dalam compound lexeme atau paduan leksem dikenal istilah proleksem, yaitu satuan bahasa yang mempunyai makna leksikal tetapi tidak dapat diperluas (tidak dapat mengalami afiksasi) dan bersifat terikat misalnya pra, multi, pasca, dwi, pra, dan swa (Kridalaksana 1993: 178 dan 1988: 63). Bentuk proleksem ini tidak dapat menjadi input secara langsung dalam proses morfologis, namun harus bergabung dengan leksem lain untuk dapat dikenai proses morfologis yang menghasilkan output kata. Misalnya, proleksem dwi berpadu dengan leksem bahasa menjadi paduan leksem DWIBAHASA, leksem DWIBAHASA inilah yang dapat dikenai afiksasi menjadi kedwibahasaan.
Penjelasan tentang lekserm yang sederhana, kompleks, dan paduan di atas menunjukkan: pertama, hubungan antarsetiap word-form dalam sebuah lexemic paradigm; kedua, hubungan antarleksem dalam sebuah kesatuan yang dinamakan word family (Haspelmath 2002: 14), seperti hubungan antarleksem dalam LOGIC, LOGICIAN, LOGICAL, ILLOGICAL, dan ILLOGALITY dalam bahasa Inggris, atau dalam TULISAN, MENULIS, dan PENULIS dalam bahasa Indonesia, atau dalam KATABA, KITĀB, MAKTAB, dan MAKTABAH dalam bahasa Arab; dan ketiga, leksem sebagai satuan analisis dalam linguistik berkaitan erat dengan tiga proses morfologis, yaitu infleksi, derivasi, dan pemajemukan atau compounding.
Daftar Acuan
Al-Mishry, Muhammad Baha’ ad-Din Abdillah ibn ‘Aqil al-‘Uqayly al-Hamadany. t.th. Syarh ibn ‘Aqil (jilid kedua). Jakarta: Dinamika Berkah Utama.
Bauer, Laurie. 1988. Introducing Linguistic Morphology. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Dik, S.C. dan J.G. Kooij. 1979/1994. Ilmu Bahasa Umum. Terjemahan Algemene Taalwetenschap oleh T.W. Kamil. Jakarta: RUL-Pusat Bahasa.
Haspelmath, Martin. 2002. Understanding Morphology. New York: Oxford University Press Inc.
Katamba, Francis. 1993. Morphology. London: The Macmillan Press Ltd.
Kridalaksana, Harimurti. 1988. Beberapa Prinsip Perpaduan Leksem dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
--------- . 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lyons, John. 1968. Introduction to Theoretical Linguistic. New York: Cambridge University Press.
Matthews, P.H.. 1991. Morphology (edisi kedua). New York: Cambridge University Press.
Stump, Gregory T. 1998. Inflexion. Dalam Spencer, Andrew dan Arnold M. Zwicky (ed). 1998. The Handbook of Morphology. Malden: Blackwell Publisher Ltd.

Thursday, January 29, 2009

Semiotik: Analisis Foto

Mahasiswa, Polisi, dan Kekerasan: Analisis Semiotik terhadap Foto dalam Jurnal Fantasma

Makyun Subuki

Pendahuluan
Latar Belakang
Indonesia barangkali merupakan negara yang cukup akrab dengan kekerasan, mulai dari pembantaian dukun santet, perang antarsuku, kerusuhan dan penjarahan, hingga bom bunuh diri. Bahkan, mahasiswa, sebagai lambang kaum terpelajar, sering menyuarakan pendapatnya melalui kekerasan, sehingga berakhir dengan bentrokan fisik dengan aparat. Begitu akrabnya kita dengan kekerasan, sehingga berita yang sehari-hari kita dapat tentang kekerasan, baik melalui televisi maupun melalui media cetak, tidak lagi terasa menyeramkan. Hal ini mungkin juga dapat berarti sebaliknya, bahwa berita kekerasan yang kita lihat dan baca sehari-hari telah menjadikan kita terbiasa dengan kekerasan.

Yang lebih buruk lagi, media, selain membiasakan kita terhadap kekerasan, kadang juga menjadi pelaku atau, setidaknya, menjadi pemicu kekerasan. Dengan kata lain, sekadar membuat hipotesis yang menjadi dasar bagi tujuan dalam penelitian ini, media dan kekerasan mempunyai hubungan timbal balik. Dalam bentrokan-bentrokan yang melibatkan mahasiswa dan aparat, misalnya, banyak media yang mengidentifikasi kekerasan yang pada dasarnya dilakukan secara “kolaboratif” tersebut sebagai ‘milik’ polisi dan bukan 'milik' mahasiswa. Hal tersebut dapat kita lihat, misalnya, dalam foto yang ditampilkan dalam media massa yang menyudutkan polisi. Padahal, mahasiswa, bahkan mungkin juga kita semua, adalah pelaku kekerasan juga. Jika polisi cenderung melakukan kekerasan secara fisik, maka, barangkali, kita cenderung melakukannya lewat wacana secara simbolis, misalnya melalui provokasi.

Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menangkap kekerasan psikologis yang terdapat dalam wacana, dan lebih spesifik lagi kekerasan melalui fotografi di Jurnal Fantasma dengan cara menangkap konotasi yang terdapat dalam jalinan antara teks dan gambar yang saya teliti. Tulisan ini sama sekali tidak bertujuan membela polisi, apalagi menyatakan bahwa polisi bebas dari tindak kekerasan, tetapi hanya bermaksud menunjukkan bahwa kita, dan terutama media massa. melakukan kekerasan juga.

Sumber Data
Untuk tujuan ini, saya mengambil data dari Jurnal Fantasma: Oase Fotojurnalistik, yaitu Edisi II Desember 2000 dan Edisi III Mei 2001. Jurnal ini merupakan media fotografi berkala milik Galeri Foto Jurnalistik Antara yang diterbitkan sebagai ajang ekspresi, komunikasi, dan apresiasi pecinta fotografi. Saya menggunakan dua buah foto, salah satunya merupakan foto inti yang menjadi objek penelitian saya, sedangkan yang lainnya merupakan foto pendamping yang saya gunakan sebagai pembanding.

Kerangka Teoretis
Untuk dapat mencapai apa yang saya maksud dalam tujuan, saya membagi kerangka teoretis ini menjadi dua bagian, yaitu kekerasan media sebagai tema penelitian dan semiotik sebagai alat analisis.

Kekerasan dalam Media
Untuk memahami kekerasan, saya memulainya dengan arti yang paling sederhana sekaligus paling abstrak, yaitu definisi kamus. Poerwadarminta (1976: 488) mendefinisikan kekerasan menurut dua hal, yaitu sifat keras dan paksaan. Adapun keras sendiri, seperti diungkap Poerwadarminta (1976: 487-488), mengandungi makna padat, kuat, lantang, bersifat memaksa, lebat, cepat, kaku, tegar, dan tidak mau mengalah. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa kekerasan merupakan hal abstrak. Jadi, menurut saya kerusuhan, perang, dan bom bunuh diri, misalnya, hanyalah perwujudan kekerasan yang pada dasarnya bersemayam dalam diri manusia.

Kekerasan, seperti diungkap oleh Hardiman (2005: 100), berakar dalam diri manusia secara epistemologis, antropologis, dan sosiologis. Secara epistemologis, Hardiman (2005: 100-103) menyebutkan bahwa kekerasan berkaitan dengan proses pengenalan manusia. Dalam hal ini, pengenalan terkait dengan (1) dominasi, karena mengenali berarti mendefinisikan, dan pendefinisian dapat berkembang menjadi dehumanisasi terhadap orang lain; dan (2) stereotifikasi, yaitu identifikasi orang lain sebagai bagian kelompok tertentu, yang dapat berkembang menjadi stigmatisasi. Dengan kata lain, kekerasan mungkin terjadi karena korban tidak dianggap sebagai sesama, melainkan sebagai “yang lain”. Korban kekerasan dalam pandangan pelaku bukanlah “manusia seperti kita”, melainkan bagian dari kelompok lain, misalnya nonmuslim, nonpribumi, etnis Cina-Tionghoa, pelanggar aturan, aparat, tentara, dan antek orde baru. Dalam media massa, stigmatisasi yang dilakukan didasari pandangan bahwa yang distigmatisasi adalah “bukan kita”.

Secara antropologis, seperti diungkap Hardiman, kekerasan berkaitan dengan nilai, yaitu sesuatu yang kita hargai. Pengalaman manusia terhadap nilai bersifat ekstatis, yaitu menciptakan perasaan eksistensi ego. Nilai kecantikan, misalnya, mendorong seorang untuk berdandan dan berhias, kemudian melalui penghargaan orang lain eksistensi ego merasa terangkat. Pada puncaknya, nilai dapat mengatasi kecemasan terhadap kematian. Pelaku bom bunuh diri, misalnya, bersedia mati demi agamanya karena memandang kematian tersebut sebagai perjuangan demi agama. Pengabadian “kekerasan aparat” lewat fotografi, meskipun menempuh risiko yang tinggi, menjadi mungkin dilakukan karena seorang fotografer memandang hal tersebut sebagai perwujudan nilai kebaikan.

Secara sosiologis, kekerasan yang tertanam dalam diri manusia berasal dari tatanan masyarakat. Dalam hal ini, kekerasan dipahami sebagai strategi protes terhadap struktur sosial yang timpang. Dalam sebuah negara yang tiran, di mana represi, dominasi, dan marginalisasi kelompok tertentu banyak dilakukan, kekerasan dapat timbul ketika kelompok yang dirugikan merasa memiliki peluang untuk membongkarnya. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa stigmatisasi dan penghayatan nilai secara ekstrim belum cukup untuk melahirkan kekerasan, melainkan dipengaruhi juga oleh kondisi sosial masyarakat.

Selanjutnya, berkaitan dengan perwujudan kekerasan yang tertanam dalam diri manusia ke dalam tindakan nyata, Haryatmoko (2003: 48-49) menyebutkan bahwa kekerasan yang paling sulit dibongkar adalah kekerasan psikologis, yaitu bentuk kekerasan yang secara aktif digunakan untuk, misalnya, melemahkan lawan politik, meniadakan oposisi, dan mengorek informasi. Bentuk kekerasan ini juga sering digunakan oleh kelompok radikal sebagai alat cuci otak untuk membentuk semangat kelompok dalam bentuk militansi dan fanatisme. Dapat dikatakan bahwa kekerasan psikologis berhubungan dengan akar epistemologis dan antropologis kekerasan dalam diri manusia.

Selain itu, Haryatmoko (2003: 96) juga menyebut kekerasan simbolis yang terjadi melalui penggunaan wacana publik. Bentuk kekerasan seperti ini dapat muncul, misalnya, dalam demagogi, kebohongan, kemunafikan, manipulasi, dan provokasi. Dalam hal ini, terkait dengan masalah yang saya teliti, selain dilakukan oleh pihak dominan, kekerasan simbolis, misalnya yang terdapat dalam media, dapat juga dilakukan oleh kelompok marginal yang bermaksud memprovokasi massa untuk membenci kelompok dominan.

Konotasi dan Gambar-Teks dalam Semiotik Barthes
Teori konotasi dikembangkan Barthes dari konsep tanda de Saussure yang membagi tanda atas signifiant dan signifiě. Dengan ini, de Saussure berusaha melihat tanda sebagai sebuah kesatuan antara dua entitas mental yang terdiri atas signifiant (signifier atau penanda), yaitu image acoustique atau citra bunyi, dan signifiě (signified atau petanda), yang disebutnya sebagai konsep (de Saussure 1973: 146), misalnya citra bunyi kelinci merupakan penanda yang petandanya adalah "konsep tentang kelinci". Asosiasi antara citra bunyi dan konsep dapat dilihat dalam gambar berikut.
Gambar 1. Contoh konsep tanda de Saussure (diadaptasi dari de Saussure 1973: 147)

Teori tanda de Saussure ini dikembangkan oleh Barthes menjadi lebih dinamis. Dalam hal ini Barthes, pertama, mengembangkan konsep signifikasi, yaitu proses yang mengikat penanda (expression (E)) dengan petandanya (content (C)) (Barthes 1964: 48 dan Nöth 1990: 310). Oleh karena itu, Barthes menambahkan R (relation) yang menghubungkan penanda dengan petanda, sehingga dalam konsep tanda Barthes tanda adalah E-R-C. Kedua, Barthes tidak melihat jalinan petanda-penanda dalam hubungan yang statis, melainkan, karena adanya signifikasi, dinamis. Pergerakan hubungan ini dapat mengarah kepada metalanguage (E-R-(E-R-C)), di mana petanda (C) tingkat kedua terdiri atas E-R-C (Barthes 1964: 93 dan Nöth 1990: 311), dan atau connotation ((E-R-C)-R-C) (Barthes 1964: 90-91 dan Nöth 1990: 311), yaitu bahwa E pada penandaan tingkat kedua terdiri atas E-R-C. Berikut saya gambarkan pengembangan konsep tanda de Saussure oleh Barthes.
Gambar 2. Pengembangan teori tanda de Saussure oleh Barthes

Selain konotasi, saya juga mengutip pendapat Barthes tentang fungsi tulisan yang terdapat bersama gambar. Menurut Barthes (dalam Nöth 1990: 453-454) teks yang menjelaskan gambar berfungsi, pertama, menambat (anchorage), yaitu mengarahkan pembaca kepada makna tertentu dalam memaknai petanda gambar; dan kedua, memancarkan (relay), yaitu teks dan foto sebagai dua unsur yang saling melengkapi, bahwa keduanya merupakan bagian dari sebuah rangkaian sintagmatik yang lebih besar.

Analisis
Untuk mempermudah penguraian, sebelum memulai analisis, saya paparkan terlebih dahulu bagaimana foto ditampilkan bersama teks. Seluruh teks yang menjelaskan foto tersebut, termasuk nama rubrik, saya masukkan sebagai bagian analisis. Dalam foto di bawah ini, seluruh teks dalam halaman tersebut saya pertimbangkan sebagai bahan analisis, kecuali biografi fotografer. Berikut rangkaian foto-teks tersebut saya urai.

Gambar 3. diambil dari Jurnal Fantasma: Oase Fotojurnalistik. Edisi III Mei 2001

Teks:
Judul: “Menembak Mahasiswa”
Fotografer: Irwin Ferdiansyah
Rubrik: Foto Spot Pilihan.

Latar cerita: Foto ini dibuat saat ribuan mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia berunjuk rasa dan memaksa memasuki gedung DPR dengan merobohkan pagar gedung pada 17 januari lalu. Sebelumnya ia sempat dilarang pihak keamanan untuk memotret. “Saya nekat menerobos masuk ke dalam barikade pengamanan dan hanya sempat memotret dua frame. Setelah itu langsung keluar sebelum diusir oleh aparat” tuturnya.

Komentar 1. Edy Purnomo, pewarta foto lepas. “Si Pewarta foto berhasil memotret momen yang hanya terjadi dalam sekejap. Itu bisa terjadi karena ia berada dalam posisi dan waktu yang tepat (right time in the right place) sehingga hasilnya menjadi menarik. Jika terlambat sedikit saja hasilnya akan berbeda. Yang juga menarik adalah gerakan mahasiswa yang sangat decisive dan itu berhasil ia abadikan.”

Komentar 2. Rully Kesuma, redaktur foto Koran Tempo. Sebagai sebuah karya foto spot, karya irwin cukup luar biasa. Di samping berhasil memotret pada tempat dan waktu yang tepat, foto tersebut juga mampu memperlihatkan sebuah simbol yang mencerminkan sebuah dominasi aparat terhadap masyarakat sipil. Gestur aparat yang kokoh dengan kuda-kudanya dan senapan gas air mata yang siap ditembakkan memperlihatkan posisinya sebagai penguasa di tempat itu, sementara mahasiswa yang berhamburan sebagai sosok yang tak berdaya.

Komentar 3. Julian Sihombing, pewarta foto Kompas. Foto tipikal yang menggambarkan situasi politik di Indonesia belakangan ini terlalu sering disajikan –tetapi tetap harus diambil oleh setiap pewarta foto. Yang menjadi masalah adalah sudut yang diambil harus bisa berbeda dengan yang lainnya, seperti momen-momen hening dari dari sebuah hiruk pikuk unjuk rasa atau kerusuhan, misalnya seorang polisi yang keletihan dan lain-lain. Dengan kata lain, si pewarta foto harus selalu me-refresh ide-idenya mengingat idenya selalu berulang.

Untuk menangkap makna konotatif dari rangkaian foto-teks di atas, saya berusaha untuk mencari terlebih dahulu makna denotatifnya. Dalam hal ini, saya beranggapan bahwa konotasi dibentuk secara sengaja oleh Jurnal tersebut melalui teks yang kebanyakan berfungsi sebagai penambat. Oleh karena itu, menjelaskan apa yang saya maksud dengan makna denotatif mencakup pembicaraan tentang seluruh makna yang mungkin bagi foto tersebut. Dengan kata lain, saya tidak akan terlalu berpatokan pada judul, latar cerita, dan komentar yang mengiringi foto tersebut, melainkan melepaskannya dan memahaminya berdasarkan foto itu sendiri. Karena terbatasnya ruang penguraian, dalam makalah ini saya berusaha membahas denotasi foto tersebut melalui cara negatif, yaitu dengan mengidentifikasi bentuk kekerasan yang dilakukan melalui konotasi yang dilakukan oleh Jurnal tersebut dan mengungkapkan makna alternatif selain dari makna yang disediakan teks.

Seperti telah dinyatakan sebelumnya, menurut Barthes fungsi tulisan yang terdapat bersama gambar mempunyai dua macam fungsi, yaitu menambatkan (anchorage) dan memancarkan (relay). Teks yang mengiringi foto di atas, bagi saya, berfungsi sebagai penambat. Judul “menembak mahasiswa” pada rubrik “foto spot pilihan” dapat dinyatakan sebagai sebuah penambat bagi petanda yang diinginkan Jurnal tersebut. Foto spot pilihan, karena terdapat dalam setiap edisi, mengacu pada salah satu foto terpilih atau ‘foto spot terpilih edisi ini’, sedangkan “foto aparat menembak mahasiswa”, yaitu judul dan foto, merupakan petanda foto yang diinginkan Jurnal Fantasma yang mengacu pada “foto yang mengabadikan kekerasan aparat”. Dalam jalinan (E-R-C)-R-C, dapat dinyatakan bahwa: “foto spot terpilih (edisi ini)” merupakan penanda dari “foto aparat menembak mahasiswa”, dan selanjutnya mengacu pada “foto yang memperlihatkan kekerasan aparat”. Saya mengandaikan bahwa “terpilih” berhubungan dengan makna ‘baik’, sehingga dapat dipahami bahwa Jurnal ini mengonotasikan “foto yang memperlihatkan kekerasan aparat” dengan “kebaikan”.

Jika analisis di atas benar, dapatlah dinyatakan bahwa akar epistemologis kekerasan Jurnal ini terletak pada identifikasi aparat semata-mata sebagai pelaku kekerasan, sedangkan akar antropologisnya adalah mempercayai bahwa memperlihatkan kekerasan aparat adalah kebaikan. Atas dasar ini, dapat dipahami bahwa judul “menembak mahasiswa” dipilih tidak semata-mata berdasarkan peristiwa yang terangkum dalam foto tersebut, melainkan berdasarkan akar kekerasan epistemologis dan antropologis yang telah mendahului pemahaman Jurnal dan fotografer tersebut atas foto itu. Padahal, foto tersebut dapat saja diberi judul yang mengandung nilai kekerasan lebih sedikit, misalnya “membubarkan unjuk rasa”, atau bermakna positif, misalnya “mengendalikan situasi”.

Identifikasi kekerasan aparat yang menunjukkan bahwa Jurnal ini melakukan kekerasan juga terlihat dalam komentar-komentar yang juga menambatkan foto itu pada petanda tertentu. Rully Kesuma, redaktur foto Koran Tempo, misalnya, menyatakan

“ ..... foto tersebut juga mampu memperlihatkan sebuah simbol yang mencerminkan sebuah dominasi aparat terhadap masyarakat sipil. Gestur aparat yang kokoh dengan kuda-kudanya dan senapan gas air mata yang siap ditembakkan memperlihatkan posisinya sebagai penguasa di tempat itu....”.

Jika Kesuma mengandaikan bahwa foto ini adalah cermin dari dominasi aparat, maka itu dapat juga berarti bahwa sebelumnya ia telah mengidentifikasi dominasi aparat sebelum mengomentari foto itu. Hal ini dapat berarti sebaliknya, bahwa penilaian Kesuma atas foto tersebut didasari bukan semata-mata atas peristiwa dalam foto itu, misalnya “gesture” dan “kuda-kuda yang kokoh”, melainkan juga atas identifikasi aparat sebagai dominan. Sebab, “gesture” dan “kuda-kuda yang kokoh” pada dasarnya tidak menggambarkan dominasi, melainkan semata-mata posisi yang baik untuk menembak.

Selanjutnya, bagaimana identifikasi, atau lebih tepatnya stigmatisasi, dan nilai mempengaruhi cara memperlakukan orang lain dapat terlihat jelas dalam komentar Edy Purnomo

“Itu bisa terjadi karena ia berada dalam posisi dan waktu yang tepat (right time in the right place) sehingga hasilnya menjadi menarik. Jika terlambat sedikit saja hasilnya akan berbeda ...”.

Di sini, Purnomo tidak hanya membicarakan bahwa sang fotografer berada dalam sudut pandang yang tepat, yaitu bahwa sudut pandang foto ini sudah dikehendaki sebelum foto ini diambil, bahkan lebih jauh mengonotasikan “foto tentang kekerasan aparat” dengan sifat “menarik”. Adapun jika terlambat atau tidak pada posisi yang tepat, hasilnya bisa jadi berbeda, yaitu kurang menarik dan bahkan tidak menarik karena, misalnya, justru memperlihatkan mahasiswa yang anarkis. Lebih mudahnya, bagi saya, Purnomo mengandaikan bahwa fotografer tersebut berusaha mencari posisi dan waktu yang tepat untuk mengabadikan momen ketika aparat melakukan kekerasan. Sebab, jika hal tersebut dapat terlaksana, hasil foto menjadi menarik.

Masalah sudut pengambilan gambar ini, dapat kita lihat lebih jauh dalam komentar Julian Sihombing yang relatif lebih dapat dianggap netral. Berikut saya kutip kembali komentarnya

“ ... Yang menjadi masalah adalah sudut yang diambil harus bisa berbeda dengan yang lainnya, seperti momen-momen hening dari dari sebuah hiruk pikuk unjuk rasa atau kerusuhan, misalnya seorang polisi yang keletihan dan lain-lain. ...”

Melalui komentar ini, Sihombing nampaknya memahami bahwa gambar yang dihasilkan dalam foto tersebut sudah ditentukan dari awal. Oleh karena itu, ia justru mengajukan sudut pengambilan gambar yang lain, yang melihat polisi sebagai “yang sama”, bukan sebagai “yang lain”. Namun demikian, pembelaan Sihombing tidak berarti bahwa media ini bebas dari tindak kekerasan. Berikut kami bandingkan citra polisi dan mahasiswa dalam Jurnal Fantasma melalui foto di bawah ini.

Gambar 4. diambil dari Jurnal Fantasma: Oase Fotojurnalistik. Edisi II Desember 2000

Foto ini diambil oleh Gino Franki Hadi dan dimuat dalam Jurnal Fantasma pada rubrik “sanubari” dengan judul “Brave Heart”. Dalam foto ini, kebalikan dari foto sebelumnya, digambarkan mahasiswa sedang memukul aparat dengan tongkat. Judul foto ini, seperti judul foto sebelumnya, berfungsi menambatkan foto tersebut pada petanda tertentu yang dikehendaki oleh Jurnal tersebut. Dengan mengonotasikan kekerasan mahasiswa dengan perjuangan, Jurnal ini ingin menegaskan bahwa mahasiswa bukan pelaku kekerasan. Alasan untuk membenarkan tindak kekerasan mahasiswa berakar dari identifikasi mahasiswa sebagai “yang sama” dan identifikasi aparat sebagai “yang lain” dan melihat kekerasan mahasiswa sebagai upaya perjuangan, sehingga kekerasan, melalui penghayatan nilai perjuangan, dijustifikasi. Catatan yang terdapat dalam “alasan” dengan jelas menunjukkan bahwa fotografer menyebut kekerasan mahasiswa, dengan senang hati, sebagai kemenangan dan tetap mengungkit kekerasan aparat. Berikut saya kutip teksnya

“... di atas segala-galanya, saya merasa puas bukan hanya dengan hasil fotonya semata, tetapi juga gembira melihat para mahasiswa pada kesempatan itu berhasil membuat aparat kocar-kacir. Biasanya merekalah yang menjadi bulan-bulanan pentungan aparat ...”

Dengan kata-kata seperti ini, fotografer melihat aparat sebagai “pelaku tetap kekerasan” yang ketika itu mengalami “kalah perang” melawan mahasiswa. Tentu saja, kita dapat juga memahami melalui teks tersebut, bahwa kekerasan mahasiswa memiliki akar sosiologis, yaitu bahwa mahasiswa memang terbiasa menjadi bulan-bulanan aparat yang memang terbiasa membubarkan demonstrasi dengan cara yang tidak santun, sehingga ketika melihat peluang untuk melampiaskan kemarahannya mereka berlaku kasar.

Lebih jauh lagi, seperti telah diungkapkan di atas, mengidentifikasi kekerasan mahasiswa semata-mata sebagai perjuangan merupakan kekerasan psikologis yang berakar dalam kondisi antropologis. Sebab, hal ini akan mendorong mahasiswa untuk memahami kekerasan mereka sebagai bentuk penghayatan nilai yang pada akhirnya memicu penguatan eksistensi ego, sehingga, seperti halnya para pelaku bom bunuh diri, mahasiswa mampu mengatasi ketakutan mereka untuk melakukan bentrok fisik dengan aparat dengan menjustifikasi kekerasan mereka sebagai “baik”.


Kesimpulan
Berdasarkan apa yang saya maksud dalam penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, kekerasan merupakan hal abstrak yang terdapat dalam diri manusia. Hal ini berarti bahwa setiap orang berpotensi melakukan tindak kekerasan, baik secara fisik maupun secara psikologis. Kedua, karena kekerasan tidak selalu terwujud dalam bentuk kekerasan fisik, maka dapat dipahami bahwa stigmatisasi yang dilakukan Jurnal Fantasma terhadap aparat adalah tindak kekerasan, atau stidaknya sebuah usaha menanam benih kekerasan. Ketiga, berdasarkan analisis yang saya lakukan, saya menyimpulkan bahwa stigmatisasi dilakukan oleh Jurnal tersebut melalui pengkonotasian kekerasan aparat dengan kejahatan dan kekerasan mahasiswa sebagai perjuangan.


Daftar Acuan

Roland. 1964/1973. Elements of Semiology. Terjemahan Element de Semiologie oleh Annette Lavers dan Colin Smith. New York: Hill and Wang.
De Saussure, Ferdinand. 1973/1988. Pengantar Linguistik Umum. Terjemahan Cours de Linguistique Generale oleh Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Hardiman, F. Budi. 2005. Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Jurnal Fantasma: Oase Fotojurnalistik. Edisi II Desember 2000.
Jurnal Fantasma: Oase Fotojurnalistik. Edisi III Mei 2001.
Haryatmoko. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Nöth, Winfried. 1990. Handbook of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press.
Poerwadarminta, W. J. S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Monday, December 8, 2008

Linguistik: Morfologi


Satuan Analisis dalam Morfologi:
Akar, Dasar, dan Pangkal
Makyun Subuki
13 Februari 2005
1. Akar (Root)
Akar adalah bentuk yang tidak dapat dianalisis dalam bagiannya yang lebih kecil (Haspelmath 2002: 19), kecuali secara fonemis (Bauer 1988: 11), dan belum mendapat imbuhan apapun (Katamba 1993: 41). Dalam kata readability, misalnya, terdapat bentuk read, -able, dan -ity. Bentuk -able dan -ity merupakan afiks, sedangkan read adalah akar. Begitupun dalam kata keteraturan, terdapat bentuk ke-an, ter-, dan atur. ke-an, dan ter- merupakan afiks, sedangkan atur atur adalah akar, yaitu bagian struktur kata yang tertinggal apabila semua afiks telah dihilangkan (Robins 1989: 242).
Terdapat dua jenis akar, yaitu: pertama, morfem bebas (free morpheme) atau morfem yang dapat berdiri sendiri (Katamba 1993: 41), yaitu morfem yang tidak membutuhkan morfem lainnya untuk dapat digunakan dalam kalimat (Payne 1997: 22). Akar yang juga merupakan morfem bebas ini terbagi lagi menjadi morfem leksikal atau lexical morpheme dan kata tugas atau function word (Katamba 1993: 41). Morfem leksikal menyatakan sebagian besar makna yang dikandung dalam ujaran, termasuk di dalamnya nomina, adjektiva, verba, dan adverbia (Katamba 1993: 41). Kebanyakan kata tugas merupakan tanda dari informasi gramatikal atau relasi logis dalam kalimat, termasuk di dalamnya artikel, demonstratif, pronomina, dan konjungsi (Katamba 1993: 41-42); dan kedua, morfem terikat (bound morpheme) atau bentuk akar yang tidak dapat berdiri sendiri, yaitu morfem yang muncul dengan sekurang-kurangnya satu morfem lain (Robins 1989: 241), misalnya bentuk -mit pada permit, commit, dan admit atau bentuk –ceive pada perceive, conceive, dan receive.
Tidak semua bahasa memiliki akar berbentuk morfem bebas. Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa yang seluruh akar kata leksikalnya merupakan bentuk terputus dan terikat yang hanya dapat berdiri menjadi kata mandiri setelah mendapatkan transfiks (Bauer 1988: 24), yaitu afiks terputus yang terdapat pada akar yang juga terputus. Misalnya, bentuk k-t-b tidak dapat menjadi kata mandiri yang memiliki arti kecuali setelah mendapatkan transfiks -a-a-a menjadi kataba ‘ia laki-laki (telah) menulis. Dengan demikian, bentuk seperti nomina, verba, dan adjektiva dalam bahasa Arab bukanlah akar sebagaimana klasifikasi dalam bahasa Indonesia dan Inggris, melainkan dasar. Namun, Kilani-Shoch dan Dressler (1984), yang dikutip oleh Bauer (1988: 197), mencoba untuk mendekati bahasa Arab secara lebih natural dengan menganggap transfiks sebagai hasil dari analisis yang keliru. Mereka menganggap bahwa analisis terhadap bahasa Arab lebih baik didasarkan pada analisis terhadap bentuk dasar dan modifikasi internalnya sekaligus. Pendapat ini bisa jadi benar, sebab sebagian besar akar yang berbentuk kata tugas dalam bahasa Arab (harf) merupakan bentuk jamid yang tidak menerima perubahan (Ni’mah tt.: 6), dan tidak dapat dianalisis dengan melepaskan transfik dari akarnya, misalnya ka (كَ) ‘seperti’ tidak dapat dianalisis dalam bagiannya k- dan -a, karena k- tidak identik dengan makna apapun.
2. Dasar (Base)
Dasar adalah setiap bentuk yang dapat dimasuki oleh afiks, baik afiks derivatif maupun afiks inflektif (Katamba 1993: 45). Dasar dapat berupa akar ataupun bentuk yang lebih kompleks dari akar (Bauer 1988: 12). Misalnya dalam kata readability, read adalah akar sekaligus dasar dari readable, sedangkan readable hanya merupakan dasar bagi kata readability. Dengan kata lain, seperti dalam bentuk read pada readable, setiap dasar adalah akar jika ia baru akan mendapat imbuhan untuk pertama kalinya. Dalam bahasa Arab, misalnya, akar ‘-l-m dapat diderivasikan ke berbagai bentuk, misalnya ‘alīm ‘orang yang pandai,’ mu’allim ‘guru,’ ‘ilm ‘ilmu,’ dan ta’allum ‘proses belajar.’
3. Pangkal (Stem)
Pangkal adalah setiap bentuk sebelum mendapat afiks inflektif (Katamba 1993: 45), yaitu afiks yang hanya menentukan dan membatasi fungsi gramatikal dari bentuk kata yang dihasilkannya (Robins 1989: 286). Misalnya, kata dog merupakan pangkal dari kata dogs. Berbeda dengan Katamba (1993: 45) yang hanya menyebut pangkal sebagai dasar dalam konteks morfologi inflektif, Haspelmath (2002: 19) menyebut pangkal sebagai dasar, baik dalam konteks morfologi inflektif maupun sebagai derivasi dari bentuk tertentu. Misalnya, bentuk act adalah pangkal yang juga akar dan dasar dari kata active, dan bentuk active adalah dasar dan pangkal kata activity. Dalam bahasa Arab, seluruh verba sudah pasti bukan pangkal, karena bentuk verba yang paling sederhana terdiri atas susunan pelaku-perbuatan, misalnya dlaraba ‘ia laki-laki (telah) memukul,’ yadrisu ‘ia laki-laki belajar,’ dan kataba ‘ia laki-laki (telah) menulis.’ Namun melalui transfiksasi, yang kadang dapat disertai afiks lainnya, bentuk akar dalam bahasa Arab dapat diderivasikan dan diinfleksikan ke berbagai bentuk, misalnya akar s-l-m- dapat diberi prefiks mu- dan transfiks –i- menjadi muslim ‘orang Islam,’ dan bentuk muslim dapat diberi sufiks –ūna atau –h (ta marbuthah) menjadi muslimūna ‘orang Islam (jamak)’ dan muslimah ’muslim perempuan.’ Bentuk s-l-m- merupakan dasar, akar, dan juga pangkal dari kata muslim, dan bentuk muslim merupakan dasar dan pangkal dari kata muslimuna dan muslimah.
Daftar Acuan
Bauer, Laurie. 1988. Introducing Linguistic Morphology. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Fromkin, Victoria, Robert Rodman, dan Nina Hyams. 2003. An Introduction to Language (edisi ketujuh). Boston: Thomson Heinle.
Haspelmath, Martin. 2002. Understanding Morphology. New York: Oxford University Press Inc.
Katamba, Francis. 1993. Morphology. London: The Macmillan Press Ltd.
Ni’mah, Fuad. tt.. Mulakhas Qawā’id al-Lughah al-‘Arabiyah. Beirut: Dār ats-Tsaqāfah al-Islāmiyah.
Payne, Thomas E. 1997. Describing Morphosyntax: A Guide for Field Linguists. Cambridge: Cambridge University Press.
Robins. R.H. 1989/1995. Linguistik Umum: Sebuah Pengantar. Terjemahan General Linguistic: An Introductory Survey oleh S. Djajanegara. Yogyakarta: Kanisius

Sunday, November 30, 2008

Musik Populer

Musik Populer dan Kesadaran Musik Kita[1]

Makyun Subuki[2]

Setiap diskusi tentang musik populer biasanya terbentur pada persoalan dasar tentang definisi musik populer itu sendiri. Maksudnya, apakah terminologi musik populer itu berkaitan dengan “jenis musik” tertentu atau dengan “musik yang sedang populer”.[3] Jika mengacu kepada yang pertama, maka yang disebut musik populer haruslah dapat diidentifikasi secara tertutup, yaitu bahwa jenis musik tersebut merupakan sebuah jenis musik yang berbeda dari jenis musik lainnya, misalnya rock, jazz, dan blues. Pada kenyataannya, sangat sulit bagi kita untuk melihat batasan yang jelas tentang apa yang kita sebut sebagai musik populer, sehingga terminologi musik populer lebih sering mengarah kepada kategori yang kedua: “musik yang sedang populer”. Akan tetapi, jika kita menyerah dan menganggap musik populer masuk dalam kategori yang kedua, maka itu sama dengan kita merumuskan musik populer secara negatif, bukan ini-bukan itu dan atau ini juga-itu juga. Akibat lebih jauh dari pandangan semacam ini adalah bahwa musik sebagai sebuah disiplin harus dikeluarkan dari khazanah pengetahuan yang kita sebut “ilmu”, sehingga diskusi kita ini bukan saja menjadi tidak berguna, melainkan juga tidak berdasar. Selain itu, sikap semacam ini tentu saja berbahaya, bukan hanya bagi perkembangan musik itu sendiri, melainkan juga bagi intelektualitas kita. Sebab, barangkali (ingat! barangkali), mengeluarkan musik dari disiplin ilmiah tidak terlalu berbahaya dibandingkan pengaruh musik populer terhadap cara kita menghargai musik secara umum.

Ulasan di atas barang kali terlalu singkat untuk pembahasan kita yang terlalu rumit, tetapi mungkin cukup bagi saya untuk mengatakan bahwa dengan tujuan untuk melihat permasalahan yang disebabkan oleh musik populer secara lebih baik –kalau bisa dibilang begitu–, saya terlebih dulu mencoba menggunakan dua pendekatan tersebut secara sinkronik dalam memahami hakikat musik populer, yaitu bahwa kategori musik populer yang pertama digunakan untuk menganalisis kategori musik populer yang kedua dalam satu satuan waktu yang telah ditentukan, misalnya musik populer tahun delapan puluhan dan tahun sembilan puluhan. Dengan cara seperti ini, karakter musik populer akan dilihat dalam sebuah potongan waktu yang khas, sehingga abstraksi tentang hakikat musik populer menjadi mungkin. Setelah itu, baru kita dapat menjawab pertanyaan: bagaimana pengaruh musik populer secara umum, dan lebih khusus lagi di Indonesia? Lalu, Bagaimana pengaruhnya bagi cara kita memandang musik secara umum?

Untuk mempermudah, sebagai acuan bagi diskusi kita, saya kutipkan di sini pendapat Adorno tentang musik populer. Pendapat ini merupakan pendapat yang paling “menantang” dari sekian banyak pendapat tentang musik populer. Adorno mengemukakan bahwa musik populer memiliki tiga batasan utama, yaitu standarisasi, melemahkan kemampuan mendengar, dan berfungsi sebagai semen sosial. Ciri yang pertama berkaitan dengan produksi (penciptaan) musik populer, yang kedua berkaitan dengan konsumsi musik populer, dan yang ketiga berkaitan dengan fungsi sosialnya.

Musik Populer sebagai “Yang Populer”

Pembahasan musik populer sebagai “yang populer” tidak dapat dilepaskan dari pembahasan budaya populer secara umum. Untuk mempersingkat, saya ingin membuat sebuah batasan yang sedikit (atau sangat) serampangan tentang budaya populer, yaitu budaya yang dibentuk melalui dua hal: industri dan media.

Kekuatan produksi, seperti dikemukakan oleh Baudrillard, dibentuk bukan untuk menggali nilai guna (utility value), melainkan untuk mencari nilai lebih (profit) dari nilai tukar (exchange value). Hal ini mendorong para pemodal untuk terus meningkatkan kuantitas dan memperluas jaringan produksi, sehingga pada akhirnya kita hidup dalam "pasar" yang over-suplay produk. Kondisi seperti ini selanjutnya menjadikan konsumsi sebagai faktor penting dalam meningkatkan keuntungan, dan para pemodal perlu membangun suasana yang “kondusif” sebagai dasar pola konsumsi masyarakat. Dengan kata lain, dapat dikemukakan bahwa demi mendapatkan profit dari nilai tukar, pemodal sibuk mengampanyekan citra-citra tertentu produk yang melebihi nilai guna barang. Hal ini tentu saja dilakukan melalui iklan. Iklan menciptakan berbagai citra tentang percintaan, kecantikan, nafsu, pemenuhan kebutuhan, dan hal menarik lainnya untuk menyebarkan objek-objek konsumsi. Dengan cara ini iklan menghapus ingatan konsumen terhadap nilai-guna utama benda dan menggantikannya dengan nilai-guna sekunder. Permainan citra ini selanjutnya membentuk sebuah masyarakat yang over-communicated atau kebanjiran informasi, sehingga sulit untuk dibedakan mana yang citraan dan mana yang realitas, sebab tidak ada lagi ruang untuk melakukan refleksi.

Sebagai bagian dari budaya populer yang dibentuk melalui industri dan media, musik populer tidak dapat melepaskan diri dari sifat barang-barang industri lainnya. Maksudnya, musik populer adalah musik yang tidak lagi hanya ditujukan untuk kepentingan musik itu sendiri (artistik), melainkan juga untuk tujuan lain (profit). Ironisnya, karena mungkin kewenangan dalam produksi musik lebih banyak dikuasai oleh pemodal daripada pemusik, tujuan profit pada akhirnya menggeser tujuan artistik.[4] Dengan kata yang lebih kasar, dapat dikemukakan bahwa para produser musik populer (bahkan juga para pemainnya) membiayai pembuatan album musik populer tidak didasarkan atas keinginan untuk menciptakan sebuah karya yang bermutu, melainkan lebih didasarkan atas fungsi ekonomis yang dapat dicapai dari produksi musik populer.

Untuk memperoleh keuntungan yang tinggi, musik akhirnya diproduksi sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk dikonsumsi secara massal. Setidaknya, saya mencatat dua hal. Pertama, pola musik yang bertujuan akhir konsumsi massal ini biasanya hanya menyalin gaya yang sudah ada dan menambahkan sedikit inovasi di sana-sini. Tidak mengherankan apabila kemudian muncul beberapa istilah seni baru, seperti pastiche, parodi, kitsch, camp, dan skizofrenia. Penyalinan pola sebuah karya musik klasik dalam sebuah lagu rock atau penyalinan bunyi karakter suara dari satu band ke band lain dapat dikategorikan sebagai patiche, yaitu sebuah karya yang disusun dari elemen yang dipinjam dari karya lain atau karya masa lalu yang lebih mengutamakan ciri kesamaan daripada perbedaan. Hal ini dapat terlihat beberapa lagu Deep Purple atau Yngwie Malmsteen yang mencoba mengaransemen lagu mereka dengan pola aransemen klasik, atau dalam usaha Bill Saragih meniru warna vokal Louis Amstrong, atau dalam karakter bunyi drum Metallica dalam Justice for All yang meniru karakter bunyi drum tahun 70-an. Parodi tidak berbeda dengan pastiche. Hanya saja, jika pastiche dapat dianggap imitasi murni yang menegaskan persamaan, maka parodi adalah imitasi yang ingin memberikan kritik terhadap dan atau bermain-main dengan karya masa lalu. Konser Tiga Diva dengan iringan orkestra yang mencoba menghancurkan kesan keagungan musik klasik dengan menyandingkannya bersama lagu populer, atau usaha Krakatau mencampurkan jazz dengan musik sunda sebagai bentuk dialog musik antaretnik, dan atau usaha Rhoma Irama mendefinisikan dangdut sebagai campuran khas musik Melayu-India-rock adalah sebuah parodi. Begitu juga genre campur sari dan tarling. Lebih parah dari itu, pengambilan secara semena-mena gaya (style) vokal Jawa dalam lagu Kangen Band atau pengengambilalihan melodi lagu klasik sebagai latar dalam beberapa lagu hip-hop adalah kitsch, sampah estetik. Dengan semangat reproduksi, adaptasi, dan simulasi, kitsch mendemistifikasi nilai-nilai seni dan menjadikannya objek konsumsi budaya massa. Camp sedikit berbeda, meskipun ia juga mendemistifikasi keluhuran nilai seni. Camp lahir dari kebosanan, dan mengatasinya dengan ketidaknormalan dan ketidakorisinalan. Permainan drum a la John Bonham di tahun 70-an dapatlah dianggap camp. Fenomena skizofrenia, yang menandai putusnya rantai penandaan antara penanda dan petanda, di Indonesia barangkali dapat dilihat dalam perkembangan musik underground, dan terutama punk. Di negeri asalnya, punk menjadi musik yang menyuarakan pemberontakan, baik secara sosial maupun secara estetik. Di Indonesia, sebagian besar penganut punk hanya mengikuti modenya.

Kedua, agar seolah-olah musik menjadi lebih mudah dipahami, disertakan lirik yang vulgar. Dalam kasus musik populer ini, lirik dapat dianggap menjadi bagian yang, meminjam bahasa agama, “wajib kifayah”. Maksudnya begini: akan tampak berdosa jika sebuah album musik populer tidak memiliki satu lagu pun yang disertai lirik. Padahal, bagi saya, penyertaan lirik yang vulgar pada dasarnya mereduksi esensi musikal dari sebuah musik, sebab apresiasi terhadap musik dihalangi oleh keberadaan lirik. Pendengar dipaksa memahami bahwa makna sebuah karya musik ditentukan berdasarkan liriknya. Akibatnya, hanya sebagai contoh, banyak orang salah paham bahwa “minor” sama dengan “sedih”. Jadi, tidaklah mengherankan bahwa hampir tidak ada masyarakat yang bersikap kritis terhadap hampir seluruh lagu yang termasuk dalam kategori musik populer, yaitu bahwa lirik lagu-lagu populer kebanyakan membicarakan sebuah tema yang sama dan bentuk musiknya dikemas dalam format yang kurang-lebih sama,[5] karena orang-orang saat ini tidak lagi mampu melihat perbedaan musik berdasarkan bentuk musikalnya. Kebanyakan orang, sebagai contoh, dapat menjelaskan dengan fasih ciri lirik yang membedakan sebuah genre yang disebut “musik religi” dari “musik populer” biasa, padahal tidak ada esensi musik yang berbeda dari keduanya. Sebab, kata yang membentuk lirik bukanlah musik, bahkan seandainya yang dimaksud adalah unsur musik dalam kata seperti halnya yang biasa dimaksud dalam puisi. Dapat saya tambahkan di sini tuduhan saya bahwa dari sekian banyak pendengar musik di Indonesia, hanya sedikit orang yang mampu membedakan karakter musik antara satu penyanyi dengan yang lain berdasarkan kategori yang benar-benar batasan dari musik. Singkatnya, lirik dalam musik populer telah menjadikan penikmatnya lupa bahwa musik pada dirinya sendiri tidak mengatakan apa-apa.

Berkaitan dengan media, dapat dikatakan bahwa musik populer adalah musik “yang populer” karena iklan, dan iklan mengatakan kepada kita sesuatu yang “dusta”. Iklan mengemukakan sesuatu hanya dalam rangka mencari keuntungan. Semenjak meledaknya budaya menonton televisi, pembuatan video klip, penyiaran konser musik di televisi, dan juga iklan musik lewat acara lainnya (misalnya sebagai lagu tema dan ilustrasi dalam sinetron) telah menjadi bagian sah musik populer. Dalam rangka “iklan”, video klip dibuat sangat menarik dengan menghadirkan citra-citra berlebihan yang menghadirkan kisah percintaan, wanita cantik, mobil mewah, kostum yang mencolok mata, dan sebagainya. Konser musik, dalam rangka mengiklankan dirinya sendiri atau dalam rangka mengiklankan produk lain, dibuat sedemikian megah dengan taburan lampu yang mubazir, kostum yang sangat menarik, atraksi musik yang memikat, pembawa acara (atau kadang penyanyinya) yang cantik dan menggairahkan, dan kadang-kadang diselingi ceramah rohani da’i kondang yang kerap main sinetron. Dalam sinetron-sinetron, bagian dari lagu populer diiklankan berkali-kali lewat ilustrasi adegan (biasanya sebagai latar dari peristiwa dramatis artifisial yang dibintangi oleh bintang film yang cantik atau tampan) dan sebagai lagu tema. Uniknya, gambar-gambar bergerak dalam video klip, sinetron, dan peliputan konser musik di televisi pada titik tertentu menggeser unsur bunyi sebagai karakter utama musik, sehingga orang bukan saja lupa bahwa musik bukanlah lirik-lirik, orang malahan lupa bahwa musik pada dasarnya adalah bunyi.

Dari uraian di atas, tampaknya dapat dipahami bahwa musik yang lahir dari jantung budaya populer secara estetis memiliki dua kelemahan: pertama, dalam proses penciptaannya, musik populer lebih sering didasarkan atas tujuan industri (profit) daripada tujuan musik itu sendiri; dan kedua, apresiasi masyarakat terhadap musik populer bukan didasarkan atas pertimbangan musik sebagai sebuah karya seni, melainkan didasarkan atas apa yang dikatakan iklan musik tentang musik.

Namun demikian, dapat kita tambahkan di sini sebuah pertanyaan: Apakah segala seni yang berasal dari industri pasti buruk? Lebih jauh lagi, bagaimana kita dapat mengetahui keburukannya?

Musik Populer yang “Musik Populer”

Sebagaimana dapat kita pahami, seluruh penjelasan tentang “yang populer” tersebut hampir seluruhnya mengarah kepada apa yang berada di luar musik, seperti industri, media, lirik, video klip, mobil mewah, wanita cantik, dan tentu saja para da’i kondang.

Jadi, apa itu musik populer?

Seorang personil utama dari sebuah grup band papan atas pernah ditanya, “Mengapa musik Anda begitu-begitu aja?”. Si artis menjawab, “Karena, bagi kami, musik adalah kejujuran”. Seorang seniman yang giat menciptakan dan mempromosikan genre musikalisasi puisi pernah ditanya tentang motivasinya membuat musikalisasi puisi. Menurut seniman tersebut musikalisasi puisi patut diberdayakan sebagai upaya menangkal pengaruh buruk musik populer yang syairnya “dangkal”. Dua pendapat tersebut saya coba ringkas: si artis mendefinisikan musik sebagai “kejujuran bermain”, sedangkan si seniman mengidentifikasi musik populer dari “lirik yang dangkal”. Izinkan saya menuduh: yang pertama, karena terlanjur menikmati (sadar ataupun tidak) kebiasaan untuk tidak berjarak dari penilaian indah sebagai enak didengar dan enak didengar sebagai laku keras, gagal memisahkan antara “musik” (sebagai ilmu) dan “memainkan musik” (sebagai keterampilan); dan yang kedua, karena kebanjiran musik populer dengan lirik vulgar, menyederhanakan musik populer dari liriknya semata dan akhirnya gagal mengidentifikasi (memahami) ciri instrinsik musik populer.

Musik populer, menurut Adorno, adalah musik yang telah terstandarisasi, dari segi yang umum hingga segi yang khusus. Batasannya adalah, pertama, bahwa lagu dalam musik populer kedengaran semakin mirip, sehingga dapat dipertukarkan antara yang satu dengan yang lain; dan kedua, untuk menyembunyikan standarisasi, lagu dalam musik populer dihiasi dengan individualisasi semu. Sebagai contoh, standarisasi dalam segi yang umum pada musik populer dapat terlihat dalam pola perpindahan akord (chord) yang itu-itu saja, misalnya progresi akord II-V-I menjadi pola standar dalam musik jazz dan I-II-V dalam lagu populer era dulu; sedangkan standarisasi pada segi yang khusus dapat dilihat dalam (hal ini biasanya juga berasal dari segi yang umum tadi), misalnya, antara berbagai lagu yang diciptakan Melly Goeslaw bagian depan dan refrainnya dapat saling dipertukarkan. Lebih jauh lagi, sebagai contoh lain, dapat dilihat juga bahwa progresi yang digunakan dalam refrain kebanyakan lagu Melly Goeslaw, Radja, dan Bunglon adalah sama, yaitu II-V-I-IV-VII-III-VI. Progresi ini adalah progresi yang sama dengan yang terdapat dalam lagu I will Survive, Autumn Live, dan Fly me to the Moon. [6] Selanjutnya, contoh dari individualisasi semu dalam musik populer dapat dilihat dalam aransemen ulang lagu lama, misalnya dengan penyanyi baru, dengan progresi akord yang sedikit dimodifikasi, dengan genre musik yang berbeda, dan atau dengan karakter instrumentasi yang berbeda; atau lebih jauh lagi dalam improvisasi pola nyanyian dalam musik jazz. Deretan contoh ini masih dapat ditambah dengan deretan permasalahan non-musikal yang tidak memedulikan otentisitas, misalnya bahwa gaya Agnes Monica meniru Britney Spears.

Saya kira Adorno benar ketika mengatakan bahwa terdapat standarisasi dalam musik populer yang selanjutnya melemahkan kualitas mendengar penikmatnya. Akan tetapi terlalu berlebihan apabila kita mengatakan bahwa seluruh hal yang datang dari musik populer adalah buruk. Sebagai contoh, dapat saya kemukakan di sini bahwa aransemen Bimbo terhadap beberapa puisi religius Taufik Ismail, menurut saya, sangat bagus. Dalam artian bahwa Bimbo mengaransemen puisi tersebut dalam bentuk musik yang lebih-kurang baik. Hal ini, dengan meminjam pendapat Al-Ghazali tentang musik religius, dapat dipertimbangkan dari penerimaan yang dihasilkan dalam mendengar musik tersebut. Musik yang digubah Bimbo didesain secara halus untuk konsumsi yang menuntut keseriusan mendengar dalam suasana yang khidmat, sehingga tidak cocok dipentaskan secara terbuka (out door). Respon yang diharapkan dari musik semacam ini adalah ketenangan mendengarkan yang dalam kasus ini, yaitu bahwa musik ini adalah musik religi, berujung pada pemahaman keagamaan. Sebaliknya, musik religi yang diproduksi saat ini didesain dalam bentuk musik yang lebih cocok untuk sebuah pentas terbuka. Pendengarnya dengan mudah mendengarkan musik melalui hingar-bingar tata suara yang memekakkan telinga. Para pendengar juga bebas hilir-mudik mencari tempat yang mereka sukai sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing, misalnya dengar musik sambil joget-joget, dengar musik sambil peluk-pelukan dengan pacar tercinta, dengar musik sambil mabuk-mabukan, dan atau bahkan dengar musik sambil telefon-telefonan. Tentu saja hal ini menjadikan tujuan utama menghadiri konser musik religi ini menjadi gagal terpenuhi, bahkan seandainya terdapat ceramah agama yang terdapat di antara penampilan musik tersebut. Barangkali, jika Bimbo ingin mengatakan bahwa “beragama secara baik tidak harus membenci musik”, maka konser musik religi tersebut ingin mengatakan bahwa “anda tidak perlu lagi beragama secara baik”.

Kesadaran Musik Kita: Sebuah refleksi yang terlambat

Baru-baru ini, di Yogyakarta, beberapa musisi jazz menyelenggarakan acara untuk mempopulerkan di masyarakat pedesaan, sehingga masyarakat desa mampu mengapresiasi musik jazz. Alasannya adalah, menurut mereka, musik jazz berasal dari rakyat kecil, jadi sudah selayaknya musik jazz dikembalikan kepada rakyat kecil. Terus terang, meskipun sama sekali tidak berniat membubarkannya, saya merasa sedikit terganggu dengan program ini. Untuk apa menyosialisasikan jazz kepada masyarakat desa? Apakah ada hal penting terkait dengan kenyataan bahwa jazz harus diterima masyarakat desa? Apakah tidak ada musik lain yang lebih penting diketahui oleh orang desa selain jazz? Apakah benar jika mengembalikan musik jazz kepada masyarakat yang bukan merupakan tempat lahirnya jazz? Saya tidak ingin mengatakan bahwa musik jazz tidak baik bagi masyarakat desa. Tentu saja, ada nilai positif dari pertunjukan jazz di desa. Akan tetapi, bagi saya, memperkenalkan musik jazz ke desa-desa sama dengan membangun sebuah restoran cepat saji, misalnya Mc Donald, di tengah-tengah desa.

Sudah menjadi kebiasaan orang Indonesia untuk menganggap apa yang datang dari Barat adalah lebih baik dari apa yang ada dalam negeri sendiri. Dengan cara seperti ini pembangunan dilaksanakan. Pembangunan adalah kemajuan. Segala sesuatu yang menghalangi pembangunan dianggap anti kemajuan dan sebaiknya disingkirkan. Ironisnya, hal ini merambat kepada hal-hal yang menyangkut identitas bangsa. Budaya yang diimpor bersama ideologi pembangunan dianggap lebih baik dibandingkan budaya kita sendiri, sehingga ada anggapan bahwa mencintai dan mempertahankan budaya lokal sama dengan tidak tahu budaya yang baik dan sekaligus anti kemajuan. Dalam seni juga ada pandangan seperti itu: mencintai seni impor sama dengan cinta kemajuan dan mempertahankan seni lokal sama dengan keterbelakangan. Meskipun tidak dapat berarti sebaliknya, dapat dikatakan bahwa anggapan tersebut adalah salah.

Persoalan menyangkut musik populer di Indonesia barangkali lebih pelik dari yang dibayangkan Adorno. Di Indonesia, musik populer ibarat pisau bermata ganda. Di satu sisi, musik populer mengakibatkan sejumlah masalah budaya seperti halnya masalah budaya yang terjadi di tempat lain di negeri tempatnya berasal, misalnya bahwa musik populer menjadikan musik kehilangan aura dan memalingkan pendengarnya dari kekuatan kapitalisme yang opresif. Di lain sisi, musik populer di Indonesia menghasilkan sejumlah masalah budaya yang khas, misalnya bahwa musik populer membumi-hanguskan musik khas Indonesia sambil memberangus unsur budaya lain yang khas Indonesia juga. Seperti juga di Barat, di Indonesia, pada mulanya musik diapresiasi secara terbatas dalam sebuah ruang yang tertutup, sehingga ritualitasnya dan sakralitasnya terjaga.[7] Semenjak ditemukan teknologi rekaman dan juga media televisi, musik telah mengalami “pengalengan”. Untuk mendengarkannya, Anda tidak perlu memerhatikannya dengan serius layaknya dalam ruang konser musik klasik. Anda dapat menyetel siaran musik di televisi, atau dapat juga menyetel musik melalui kaset, lalu mendengarkannya sambil membaca lowongan kerja di koran, sambil main ular tangga, sambil memasak sayuran, atau bahkan Anda dapat mengacuhkannya sama sekali.

Haruslah diakui bahwa musik populer di Barat, seberapapun akibat buruknya bagi pemenggalan aura dari musik yang agung, lahir dari tradisi barat. Seberapapun jauh bentuknya, musik populer masih menggunakan aturan-aturan yang juga umum digunakan dalam tradisi musik yang dihancurkannya. Di Indonesia, musik populer adalah produk impor. Musik populer di Indonesia menghancurkan tradisi lain yang sama sekali tidak ikut membentuknya. Jadi, masalah yang ditimbulkan musik populer di Indonesia lebih dari sekadar memudarnya aura seni. Musik populer di Indonesia telah menghancurkan bangunan tradisi yang sudah dipelihara sekian lama dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk di dalamnya tradisi musik. Musik populer telah mengusir tradisi musik khas Indonesia keluar dari kesadaran masyarakatnya. Lebih parah lagi, masyarakat Indonesia, dan sepertinya ini didukung oleh Pemerintah, dengan senang hati membenci dan mengusir tradisinya sendiri lalu menggantikannya dengan budaya rendah hasil impor. Jadi, tidak usah menangis jika Reog Ponorogo dan lagu Rasa Sayange diakui oleh Malaysia. Bukankah sudah lama kita membuangnya dan menggantikannya dengan modern dance dan lagu-lagu Kangen Band?

Tentu saja, tidak ada tradisi yang betul-betul alami. Musik melayu dan keroncong sedikit-banyak mendapat pengaruh dari musik Arab dan musik Portugis. Begitupun musik Jawa, Sunda, dan Bali yang mendapat pengaruh dari tradisi agama Hindu dan Islam. Tidak ada yang betul-betul alami. Akan tetapi, harus diakui bahwa dalam musik Melayu dan musik Keroncong, terdapat semacam dialog antara tradisi musik lokal dan tradisi musik pendatang. Bahkan lebih intens lagi dalam musik Jawa. Sebagai tambahan, musik-musik tersebut masih memiliki dimensi sakral dan ritual, bahkan secara serius menjaganya, sehingga memungkinkan aura musik tetap terjaga. Dalam musik populer tidak ada dialog, setidaknya yang sungguh-sungguh. Musik populer hanya bersedia melakukan dialog dengan tradisi lokal sejauh terdapat keuntungan di dalamnya, dan kebanyakan tidak ada. Kalau perlu, atas nama “kemajuan”, tradisi lokal harus musnah. Itulah anehnya: dengan senang hati kita memusnahkan rumah yang kita bangun dengan susah payah untuk kemudian hidup ngontrak berpindah-pindah.

Daftar Bacaan

Budiarto, Teguh. 2001. Musik Modern dan Ideologi Pasar. Yogyakarta: Tarawang Press.

Featherstone, Mike. 2001. Postmodernisme dan Budaya Konsumen. Terjemahan Consumer Culture and Postmodernism oleh Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kleden, Ignas. 1996. Pergeseran Nilai Moral, Perkembangan Kesenian, dan Perubahan Sosial. Dalam Ignas Kleden. 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Munsyi, Alif Danya. 1999. Underground, Ngandergron, Ngegron. Dalam Alif Danya Munsyi. 2005. Bahasa Menunjukkan Makna. Jakarta: KPG

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Bandung: Jalasutra.

Postman, Neil. 1985/1995. Menghibur Diri sampai Mati: Mewaspadai Media Televisi. Terjemahan Amusing Ourselves to Death oleh Inggita Notosusanto. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Terjemahan The Postmodern Social Theory oleh Muhammad Taufiq. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Sarup, Madan. 1993/2007. Poststrukturalisme dan Postmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis. Terjemahan An Introductory Guide to Poststructuralism and Postmodernism oleh Medhi Aginta Hidayat.Yogyakarta: Jendela.

Storey, John. 1996/2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop: Pengantar Komprehensif teori dan Metode. Terjemahan Culturel Studies and the Study of Popular Culture: Theories and Methods oleh Layli Rahmawati. Yogyakarta: Jalasutra.

Strinati, Dominic. 1995/2003. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Terjemahan An Introduction to Theories of Popular Culture oleh Abdul Mukhid. Yogyakarta: Bentang Budaya.



[1] Disampaikan dalam Progeni ke-8, KMM RIAK UIN Jakarta, 3 Desember 2008.

[2] Ketua KMM RIAK 1999-2000

[3] Kalau saja dokumentasinya masih ada, salah satu senior PSM UIN Jakarta, Iwan Buana Fr., pernah menulis masalah ini dengan sangat bagus, khusus buat anak KMM RIAK UIN Jakarta.

[4] Sama sekali tidak berarti sebaliknya bahwa jika industri musik dikuasai pemusik, maka tujuan artistik akan mengalahkan tujuan profit.

[5] Barangkali kita dapat meminjam kritik Adorno terhadap Musik Romantik, yaitu bahwa Musik Romantik disusun dengan suatu “cetakan mati”. Seperti itulah kiranya musik populer saat ini: disusun berdasarkan sebuah “cetakan mati”.

[6] Tentu lebih menarik jika ada ruang untuk menggabungkan batasan Adorno tentang musik popular dengan strukturalisme yang berkembang dari pemikiran linguistik de Saussure.

[7] Barangkali ini penting diketahui: “Anak RIAK seharusnya tahu banyak, atau setidaknya pernah dengar, perdebatan antara Adorno dan Benjamin tentang hilangnya aura dalam seni”.