Monday, December 8, 2008
Linguistik: Morfologi
Sunday, November 30, 2008
Musik Populer
Musik Populer dan Kesadaran Musik Kita[1]
Makyun Subuki[2]
Setiap diskusi tentang musik populer biasanya terbentur pada persoalan dasar tentang definisi musik populer itu sendiri. Maksudnya, apakah terminologi musik populer itu berkaitan dengan “jenis musik” tertentu atau dengan “musik yang sedang populer”.[3] Jika mengacu kepada yang pertama, maka yang disebut musik populer haruslah dapat diidentifikasi secara tertutup, yaitu bahwa jenis musik tersebut merupakan sebuah jenis musik yang berbeda dari jenis musik lainnya, misalnya rock, jazz, dan blues. Pada kenyataannya, sangat sulit bagi kita untuk melihat batasan yang jelas tentang apa yang kita sebut sebagai musik populer, sehingga terminologi musik populer lebih sering mengarah kepada kategori yang kedua: “musik yang sedang populer”. Akan tetapi, jika kita menyerah dan menganggap musik populer masuk dalam kategori yang kedua, maka itu sama dengan kita merumuskan musik populer secara negatif, bukan ini-bukan itu dan atau ini juga-itu juga. Akibat lebih jauh dari pandangan semacam ini adalah bahwa musik sebagai sebuah disiplin harus dikeluarkan dari khazanah pengetahuan yang kita sebut “ilmu”, sehingga diskusi kita ini bukan saja menjadi tidak berguna, melainkan juga tidak berdasar. Selain itu, sikap semacam ini tentu saja berbahaya, bukan hanya bagi perkembangan musik itu sendiri, melainkan juga bagi intelektualitas kita. Sebab, barangkali (ingat! barangkali), mengeluarkan musik dari disiplin ilmiah tidak terlalu berbahaya dibandingkan pengaruh musik populer terhadap cara kita menghargai musik secara umum.
Ulasan di atas barang kali terlalu singkat untuk pembahasan kita yang terlalu rumit, tetapi mungkin cukup bagi saya untuk mengatakan bahwa dengan tujuan untuk melihat permasalahan yang disebabkan oleh musik populer secara lebih baik –kalau bisa dibilang begitu–, saya terlebih dulu mencoba menggunakan dua pendekatan tersebut secara sinkronik dalam memahami hakikat musik populer, yaitu bahwa kategori musik populer yang pertama digunakan untuk menganalisis kategori musik populer yang kedua dalam satu satuan waktu yang telah ditentukan, misalnya musik populer tahun delapan puluhan dan tahun sembilan puluhan. Dengan cara seperti ini, karakter musik populer akan dilihat dalam sebuah potongan waktu yang khas, sehingga abstraksi tentang hakikat musik populer menjadi mungkin. Setelah itu, baru kita dapat menjawab pertanyaan: bagaimana pengaruh musik populer secara umum, dan lebih khusus lagi di Indonesia? Lalu, Bagaimana pengaruhnya bagi cara kita memandang musik secara umum?
Untuk mempermudah, sebagai acuan bagi diskusi kita, saya kutipkan di sini pendapat Adorno tentang musik populer. Pendapat ini merupakan pendapat yang paling “menantang” dari sekian banyak pendapat tentang musik populer. Adorno mengemukakan bahwa musik populer memiliki tiga batasan utama, yaitu standarisasi, melemahkan kemampuan mendengar, dan berfungsi sebagai semen sosial. Ciri yang pertama berkaitan dengan produksi (penciptaan) musik populer, yang kedua berkaitan dengan konsumsi musik populer, dan yang ketiga berkaitan dengan fungsi sosialnya.
Musik Populer sebagai “Yang Populer”
Pembahasan musik populer sebagai “yang populer” tidak dapat dilepaskan dari pembahasan budaya populer secara umum. Untuk mempersingkat, saya ingin membuat sebuah batasan yang sedikit (atau sangat) serampangan tentang budaya populer, yaitu budaya yang dibentuk melalui dua hal: industri dan media.
Kekuatan produksi, seperti dikemukakan oleh Baudrillard, dibentuk bukan untuk menggali nilai guna (utility value), melainkan untuk mencari nilai lebih (profit) dari nilai tukar (exchange value). Hal ini mendorong para pemodal untuk terus meningkatkan kuantitas dan memperluas jaringan produksi, sehingga pada akhirnya kita hidup dalam "pasar" yang over-suplay produk. Kondisi seperti ini selanjutnya menjadikan konsumsi sebagai faktor penting dalam meningkatkan keuntungan, dan para pemodal perlu membangun suasana yang “kondusif” sebagai dasar pola konsumsi masyarakat. Dengan kata lain, dapat dikemukakan bahwa demi mendapatkan profit dari nilai tukar, pemodal sibuk mengampanyekan citra-citra tertentu produk yang melebihi nilai guna barang. Hal ini tentu saja dilakukan melalui iklan. Iklan menciptakan berbagai citra tentang percintaan, kecantikan, nafsu, pemenuhan kebutuhan, dan hal menarik lainnya untuk menyebarkan objek-objek konsumsi. Dengan cara ini iklan menghapus ingatan konsumen terhadap nilai-guna utama benda dan menggantikannya dengan nilai-guna sekunder. Permainan citra ini selanjutnya membentuk sebuah masyarakat yang over-communicated atau kebanjiran informasi, sehingga sulit untuk dibedakan mana yang citraan dan mana yang realitas, sebab tidak ada lagi ruang untuk melakukan refleksi.
Sebagai bagian dari budaya populer yang dibentuk melalui industri dan media, musik populer tidak dapat melepaskan diri dari sifat barang-barang industri lainnya. Maksudnya, musik populer adalah musik yang tidak lagi hanya ditujukan untuk kepentingan musik itu sendiri (artistik), melainkan juga untuk tujuan lain (profit). Ironisnya, karena mungkin kewenangan dalam produksi musik lebih banyak dikuasai oleh pemodal daripada pemusik, tujuan profit pada akhirnya menggeser tujuan artistik.[4] Dengan kata yang lebih kasar, dapat dikemukakan bahwa para produser musik populer (bahkan juga para pemainnya) membiayai pembuatan album musik populer tidak didasarkan atas keinginan untuk menciptakan sebuah karya yang bermutu, melainkan lebih didasarkan atas fungsi ekonomis yang dapat dicapai dari produksi musik populer.
Untuk memperoleh keuntungan yang tinggi, musik akhirnya diproduksi sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk dikonsumsi secara massal. Setidaknya, saya mencatat dua hal. Pertama, pola musik yang bertujuan akhir konsumsi massal ini biasanya hanya menyalin gaya yang sudah ada dan menambahkan sedikit inovasi di sana-sini. Tidak mengherankan apabila kemudian muncul beberapa istilah seni baru, seperti pastiche, parodi, kitsch, camp, dan skizofrenia. Penyalinan pola sebuah karya musik klasik dalam sebuah lagu rock atau penyalinan bunyi karakter suara dari satu band ke band lain dapat dikategorikan sebagai patiche, yaitu sebuah karya yang disusun dari elemen yang dipinjam dari karya lain atau karya masa lalu yang lebih mengutamakan ciri kesamaan daripada perbedaan. Hal ini dapat terlihat beberapa lagu Deep Purple atau Yngwie Malmsteen yang mencoba mengaransemen lagu mereka dengan pola aransemen klasik, atau dalam usaha Bill Saragih meniru warna vokal Louis Amstrong, atau dalam karakter bunyi drum Metallica dalam Justice for All yang meniru karakter bunyi drum tahun 70-an. Parodi tidak berbeda dengan pastiche. Hanya saja, jika pastiche dapat dianggap imitasi murni yang menegaskan persamaan, maka parodi adalah imitasi yang ingin memberikan kritik terhadap dan atau bermain-main dengan karya masa lalu. Konser Tiga Diva dengan iringan orkestra yang mencoba menghancurkan kesan keagungan musik klasik dengan menyandingkannya bersama lagu populer, atau usaha Krakatau mencampurkan jazz dengan musik sunda sebagai bentuk dialog musik antaretnik, dan atau usaha Rhoma Irama mendefinisikan dangdut sebagai campuran khas musik Melayu-India-rock adalah sebuah parodi. Begitu juga genre campur sari dan tarling. Lebih parah dari itu, pengambilan secara semena-mena gaya (style) vokal Jawa dalam lagu Kangen Band atau pengengambilalihan melodi lagu klasik sebagai latar dalam beberapa lagu hip-hop adalah kitsch, sampah estetik. Dengan semangat reproduksi, adaptasi, dan simulasi, kitsch mendemistifikasi nilai-nilai seni dan menjadikannya objek konsumsi budaya massa. Camp sedikit berbeda, meskipun ia juga mendemistifikasi keluhuran nilai seni. Camp lahir dari kebosanan, dan mengatasinya dengan ketidaknormalan dan ketidakorisinalan. Permainan drum a la John Bonham di tahun 70-an dapatlah dianggap camp. Fenomena skizofrenia, yang menandai putusnya rantai penandaan antara penanda dan petanda, di Indonesia barangkali dapat dilihat dalam perkembangan musik underground, dan terutama punk. Di negeri asalnya, punk menjadi musik yang menyuarakan pemberontakan, baik secara sosial maupun secara estetik. Di Indonesia, sebagian besar penganut punk hanya mengikuti modenya.
Kedua, agar seolah-olah musik menjadi lebih mudah dipahami, disertakan lirik yang vulgar. Dalam kasus musik populer ini, lirik dapat dianggap menjadi bagian yang, meminjam bahasa agama, “wajib kifayah”. Maksudnya begini: akan tampak berdosa jika sebuah album musik populer tidak memiliki satu lagu pun yang disertai lirik. Padahal, bagi saya, penyertaan lirik yang vulgar pada dasarnya mereduksi esensi musikal dari sebuah musik, sebab apresiasi terhadap musik dihalangi oleh keberadaan lirik. Pendengar dipaksa memahami bahwa makna sebuah karya musik ditentukan berdasarkan liriknya. Akibatnya, hanya sebagai contoh, banyak orang salah paham bahwa “minor” sama dengan “sedih”. Jadi, tidaklah mengherankan bahwa hampir tidak ada masyarakat yang bersikap kritis terhadap hampir seluruh lagu yang termasuk dalam kategori musik populer, yaitu bahwa lirik lagu-lagu populer kebanyakan membicarakan sebuah tema yang sama dan bentuk musiknya dikemas dalam format yang kurang-lebih sama,[5] karena orang-orang saat ini tidak lagi mampu melihat perbedaan musik berdasarkan bentuk musikalnya. Kebanyakan orang, sebagai contoh, dapat menjelaskan dengan fasih ciri lirik yang membedakan sebuah genre yang disebut “musik religi” dari “musik populer” biasa, padahal tidak ada esensi musik yang berbeda dari keduanya. Sebab, kata yang membentuk lirik bukanlah musik, bahkan seandainya yang dimaksud adalah unsur musik dalam kata seperti halnya yang biasa dimaksud dalam puisi. Dapat saya tambahkan di sini tuduhan saya bahwa dari sekian banyak pendengar musik di Indonesia, hanya sedikit orang yang mampu membedakan karakter musik antara satu penyanyi dengan yang lain berdasarkan kategori yang benar-benar batasan dari musik. Singkatnya, lirik dalam musik populer telah menjadikan penikmatnya lupa bahwa musik pada dirinya sendiri tidak mengatakan apa-apa.
Berkaitan dengan media, dapat dikatakan bahwa musik populer adalah musik “yang populer” karena iklan, dan iklan mengatakan kepada kita sesuatu yang “dusta”. Iklan mengemukakan sesuatu hanya dalam rangka mencari keuntungan. Semenjak meledaknya budaya menonton televisi, pembuatan video klip, penyiaran konser musik di televisi, dan juga iklan musik lewat acara lainnya (misalnya sebagai lagu tema dan ilustrasi dalam sinetron) telah menjadi bagian sah musik populer. Dalam rangka “iklan”, video klip dibuat sangat menarik dengan menghadirkan citra-citra berlebihan yang menghadirkan kisah percintaan, wanita cantik, mobil mewah, kostum yang mencolok mata, dan sebagainya. Konser musik, dalam rangka mengiklankan dirinya sendiri atau dalam rangka mengiklankan produk lain, dibuat sedemikian megah dengan taburan lampu yang mubazir, kostum yang sangat menarik, atraksi musik yang memikat, pembawa acara (atau kadang penyanyinya) yang cantik dan menggairahkan, dan kadang-kadang diselingi ceramah rohani da’i kondang yang kerap main sinetron. Dalam sinetron-sinetron, bagian dari lagu populer diiklankan berkali-kali lewat ilustrasi adegan (biasanya sebagai latar dari peristiwa dramatis artifisial yang dibintangi oleh bintang film yang cantik atau tampan) dan sebagai lagu tema. Uniknya, gambar-gambar bergerak dalam video klip, sinetron, dan peliputan konser musik di televisi pada titik tertentu menggeser unsur bunyi sebagai karakter utama musik, sehingga orang bukan saja lupa bahwa musik bukanlah lirik-lirik, orang malahan lupa bahwa musik pada dasarnya adalah bunyi.
Dari uraian di atas, tampaknya dapat dipahami bahwa musik yang lahir dari jantung budaya populer secara estetis memiliki dua kelemahan: pertama, dalam proses penciptaannya, musik populer lebih sering didasarkan atas tujuan industri (profit) daripada tujuan musik itu sendiri; dan kedua, apresiasi masyarakat terhadap musik populer bukan didasarkan atas pertimbangan musik sebagai sebuah karya seni, melainkan didasarkan atas apa yang dikatakan iklan musik tentang musik.
Namun demikian, dapat kita tambahkan di sini sebuah pertanyaan: Apakah segala seni yang berasal dari industri pasti buruk? Lebih jauh lagi, bagaimana kita dapat mengetahui keburukannya?
Musik Populer yang “Musik Populer”
Sebagaimana dapat kita pahami, seluruh penjelasan tentang “yang populer” tersebut hampir seluruhnya mengarah kepada apa yang berada di luar musik, seperti industri, media, lirik, video klip, mobil mewah, wanita cantik, dan tentu saja para da’i kondang.
Jadi, apa itu musik populer?
Seorang personil utama dari sebuah grup band papan atas pernah ditanya, “Mengapa musik Anda begitu-begitu aja?”. Si artis menjawab, “Karena, bagi kami, musik adalah kejujuran”. Seorang seniman yang giat menciptakan dan mempromosikan genre musikalisasi puisi pernah ditanya tentang motivasinya membuat musikalisasi puisi. Menurut seniman tersebut musikalisasi puisi patut diberdayakan sebagai upaya menangkal pengaruh buruk musik populer yang syairnya “dangkal”. Dua pendapat tersebut saya coba ringkas: si artis mendefinisikan musik sebagai “kejujuran bermain”, sedangkan si seniman mengidentifikasi musik populer dari “lirik yang dangkal”. Izinkan saya menuduh: yang pertama, karena terlanjur menikmati (sadar ataupun tidak) kebiasaan untuk tidak berjarak dari penilaian indah sebagai enak didengar dan enak didengar sebagai laku keras, gagal memisahkan antara “musik” (sebagai ilmu) dan “memainkan musik” (sebagai keterampilan); dan yang kedua, karena kebanjiran musik populer dengan lirik vulgar, menyederhanakan musik populer dari liriknya semata dan akhirnya gagal mengidentifikasi (memahami) ciri instrinsik musik populer.
Musik populer, menurut Adorno, adalah musik yang telah terstandarisasi, dari segi yang umum hingga segi yang khusus. Batasannya adalah, pertama, bahwa lagu dalam musik populer kedengaran semakin mirip, sehingga dapat dipertukarkan antara yang satu dengan yang lain; dan kedua, untuk menyembunyikan standarisasi, lagu dalam musik populer dihiasi dengan individualisasi semu. Sebagai contoh, standarisasi dalam segi yang umum pada musik populer dapat terlihat dalam pola perpindahan akord (chord) yang itu-itu saja, misalnya progresi akord II-V-I menjadi pola standar dalam musik jazz dan I-II-V dalam lagu populer era dulu; sedangkan standarisasi pada segi yang khusus dapat dilihat dalam (hal ini biasanya juga berasal dari segi yang umum tadi), misalnya, antara berbagai lagu yang diciptakan Melly Goeslaw bagian depan dan refrainnya dapat saling dipertukarkan. Lebih jauh lagi, sebagai contoh lain, dapat dilihat juga bahwa progresi yang digunakan dalam refrain kebanyakan lagu Melly Goeslaw, Radja, dan Bunglon adalah sama, yaitu II-V-I-IV-VII-III-VI. Progresi ini adalah progresi yang sama dengan yang terdapat dalam lagu I will Survive, Autumn Live, dan Fly me to the Moon. [6] Selanjutnya, contoh dari individualisasi semu dalam musik populer dapat dilihat dalam aransemen ulang lagu lama, misalnya dengan penyanyi baru, dengan progresi akord yang sedikit dimodifikasi, dengan genre musik yang berbeda, dan atau dengan karakter instrumentasi yang berbeda; atau lebih jauh lagi dalam improvisasi pola nyanyian dalam musik jazz. Deretan contoh ini masih dapat ditambah dengan deretan permasalahan non-musikal yang tidak memedulikan otentisitas, misalnya bahwa gaya Agnes Monica meniru Britney Spears.
Saya kira Adorno benar ketika mengatakan bahwa terdapat standarisasi dalam musik populer yang selanjutnya melemahkan kualitas mendengar penikmatnya. Akan tetapi terlalu berlebihan apabila kita mengatakan bahwa seluruh hal yang datang dari musik populer adalah buruk. Sebagai contoh, dapat saya kemukakan di sini bahwa aransemen Bimbo terhadap beberapa puisi religius Taufik Ismail, menurut saya, sangat bagus. Dalam artian bahwa Bimbo mengaransemen puisi tersebut dalam bentuk musik yang lebih-kurang baik. Hal ini, dengan meminjam pendapat Al-Ghazali tentang musik religius, dapat dipertimbangkan dari penerimaan yang dihasilkan dalam mendengar musik tersebut. Musik yang digubah Bimbo didesain secara halus untuk konsumsi yang menuntut keseriusan mendengar dalam suasana yang khidmat, sehingga tidak cocok dipentaskan secara terbuka (out door). Respon yang diharapkan dari musik semacam ini adalah ketenangan mendengarkan yang dalam kasus ini, yaitu bahwa musik ini adalah musik religi, berujung pada pemahaman keagamaan. Sebaliknya, musik religi yang diproduksi saat ini didesain dalam bentuk musik yang lebih cocok untuk sebuah pentas terbuka. Pendengarnya dengan mudah mendengarkan musik melalui hingar-bingar tata suara yang memekakkan telinga. Para pendengar juga bebas hilir-mudik mencari tempat yang mereka sukai sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing, misalnya dengar musik sambil joget-joget, dengar musik sambil peluk-pelukan dengan pacar tercinta, dengar musik sambil mabuk-mabukan, dan atau bahkan dengar musik sambil telefon-telefonan. Tentu saja hal ini menjadikan tujuan utama menghadiri konser musik religi ini menjadi gagal terpenuhi, bahkan seandainya terdapat ceramah agama yang terdapat di antara penampilan musik tersebut. Barangkali, jika Bimbo ingin mengatakan bahwa “beragama secara baik tidak harus membenci musik”, maka konser musik religi tersebut ingin mengatakan bahwa “anda tidak perlu lagi beragama secara baik”.
Kesadaran Musik Kita: Sebuah refleksi yang terlambat
Baru-baru ini, di Yogyakarta, beberapa musisi jazz menyelenggarakan acara untuk mempopulerkan di masyarakat pedesaan, sehingga masyarakat desa mampu mengapresiasi musik jazz. Alasannya adalah, menurut mereka, musik jazz berasal dari rakyat kecil, jadi sudah selayaknya musik jazz dikembalikan kepada rakyat kecil. Terus terang, meskipun sama sekali tidak berniat membubarkannya, saya merasa sedikit terganggu dengan program ini. Untuk apa menyosialisasikan jazz kepada masyarakat desa? Apakah ada hal penting terkait dengan kenyataan bahwa jazz harus diterima masyarakat desa? Apakah tidak ada musik lain yang lebih penting diketahui oleh orang desa selain jazz? Apakah benar jika mengembalikan musik jazz kepada masyarakat yang bukan merupakan tempat lahirnya jazz? Saya tidak ingin mengatakan bahwa musik jazz tidak baik bagi masyarakat desa. Tentu saja, ada nilai positif dari pertunjukan jazz di desa. Akan tetapi, bagi saya, memperkenalkan musik jazz ke desa-desa sama dengan membangun sebuah restoran cepat saji, misalnya Mc Donald, di tengah-tengah desa.
Sudah menjadi kebiasaan orang Indonesia untuk menganggap apa yang datang dari Barat adalah lebih baik dari apa yang ada dalam negeri sendiri. Dengan cara seperti ini pembangunan dilaksanakan. Pembangunan adalah kemajuan. Segala sesuatu yang menghalangi pembangunan dianggap anti kemajuan dan sebaiknya disingkirkan. Ironisnya, hal ini merambat kepada hal-hal yang menyangkut identitas bangsa. Budaya yang diimpor bersama ideologi pembangunan dianggap lebih baik dibandingkan budaya kita sendiri, sehingga ada anggapan bahwa mencintai dan mempertahankan budaya lokal sama dengan tidak tahu budaya yang baik dan sekaligus anti kemajuan. Dalam seni juga ada pandangan seperti itu: mencintai seni impor sama dengan cinta kemajuan dan mempertahankan seni lokal sama dengan keterbelakangan. Meskipun tidak dapat berarti sebaliknya, dapat dikatakan bahwa anggapan tersebut adalah salah.
Persoalan menyangkut musik populer di Indonesia barangkali lebih pelik dari yang dibayangkan Adorno. Di Indonesia, musik populer ibarat pisau bermata ganda. Di satu sisi, musik populer mengakibatkan sejumlah masalah budaya seperti halnya masalah budaya yang terjadi di tempat lain di negeri tempatnya berasal, misalnya bahwa musik populer menjadikan musik kehilangan aura dan memalingkan pendengarnya dari kekuatan kapitalisme yang opresif. Di lain sisi, musik populer di Indonesia menghasilkan sejumlah masalah budaya yang khas, misalnya bahwa musik populer membumi-hanguskan musik khas Indonesia sambil memberangus unsur budaya lain yang khas Indonesia juga. Seperti juga di Barat, di Indonesia, pada mulanya musik diapresiasi secara terbatas dalam sebuah ruang yang tertutup, sehingga ritualitasnya dan sakralitasnya terjaga.[7] Semenjak ditemukan teknologi rekaman dan juga media televisi, musik telah mengalami “pengalengan”. Untuk mendengarkannya, Anda tidak perlu memerhatikannya dengan serius layaknya dalam ruang konser musik klasik. Anda dapat menyetel siaran musik di televisi, atau dapat juga menyetel musik melalui kaset, lalu mendengarkannya sambil membaca lowongan kerja di koran, sambil main ular tangga, sambil memasak sayuran, atau bahkan Anda dapat mengacuhkannya sama sekali.
Haruslah diakui bahwa musik populer di Barat, seberapapun akibat buruknya bagi pemenggalan aura dari musik yang agung, lahir dari tradisi barat. Seberapapun jauh bentuknya, musik populer masih menggunakan aturan-aturan yang juga umum digunakan dalam tradisi musik yang dihancurkannya. Di Indonesia, musik populer adalah produk impor. Musik populer di Indonesia menghancurkan tradisi lain yang sama sekali tidak ikut membentuknya. Jadi, masalah yang ditimbulkan musik populer di Indonesia lebih dari sekadar memudarnya aura seni. Musik populer di Indonesia telah menghancurkan bangunan tradisi yang sudah dipelihara sekian lama dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk di dalamnya tradisi musik. Musik populer telah mengusir tradisi musik khas Indonesia keluar dari kesadaran masyarakatnya. Lebih parah lagi, masyarakat Indonesia, dan sepertinya ini didukung oleh Pemerintah, dengan senang hati membenci dan mengusir tradisinya sendiri lalu menggantikannya dengan budaya rendah hasil impor. Jadi, tidak usah menangis jika Reog Ponorogo dan lagu Rasa Sayange diakui oleh Malaysia. Bukankah sudah lama kita membuangnya dan menggantikannya dengan modern dance dan lagu-lagu Kangen Band?
Tentu saja, tidak ada tradisi yang betul-betul alami. Musik melayu dan keroncong sedikit-banyak mendapat pengaruh dari musik Arab dan musik Portugis. Begitupun musik Jawa, Sunda, dan Bali yang mendapat pengaruh dari tradisi agama Hindu dan Islam. Tidak ada yang betul-betul alami. Akan tetapi, harus diakui bahwa dalam musik Melayu dan musik Keroncong, terdapat semacam dialog antara tradisi musik lokal dan tradisi musik pendatang. Bahkan lebih intens lagi dalam musik Jawa. Sebagai tambahan, musik-musik tersebut masih memiliki dimensi sakral dan ritual, bahkan secara serius menjaganya, sehingga memungkinkan aura musik tetap terjaga. Dalam musik populer tidak ada dialog, setidaknya yang sungguh-sungguh. Musik populer hanya bersedia melakukan dialog dengan tradisi lokal sejauh terdapat keuntungan di dalamnya, dan kebanyakan tidak ada. Kalau perlu, atas nama “kemajuan”, tradisi lokal harus musnah. Itulah anehnya: dengan senang hati kita memusnahkan rumah yang kita bangun dengan susah payah untuk kemudian hidup ngontrak berpindah-pindah.
Daftar Bacaan
Budiarto, Teguh. 2001. Musik Modern dan Ideologi Pasar. Yogyakarta: Tarawang Press.
Featherstone, Mike. 2001. Postmodernisme dan Budaya Konsumen. Terjemahan Consumer Culture and Postmodernism oleh Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kleden, Ignas. 1996. Pergeseran Nilai Moral, Perkembangan Kesenian, dan Perubahan Sosial. Dalam Ignas Kleden. 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Munsyi, Alif Danya. 1999. Underground, Ngandergron, Ngegron. Dalam Alif Danya Munsyi. 2005. Bahasa Menunjukkan Makna. Jakarta: KPG
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Bandung: Jalasutra.
Postman, Neil. 1985/1995. Menghibur Diri sampai Mati: Mewaspadai Media Televisi. Terjemahan Amusing Ourselves to Death oleh Inggita Notosusanto. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Terjemahan The Postmodern Social Theory oleh Muhammad Taufiq. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Sarup, Madan. 1993/2007. Poststrukturalisme dan Postmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis. Terjemahan An Introductory Guide to Poststructuralism and Postmodernism oleh Medhi Aginta Hidayat.Yogyakarta: Jendela.
Storey, John. 1996/2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop: Pengantar Komprehensif teori dan Metode. Terjemahan Culturel Studies and the Study of Popular Culture: Theories and Methods oleh Layli Rahmawati. Yogyakarta: Jalasutra.
Strinati, Dominic. 1995/2003. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Terjemahan An Introduction to Theories of Popular Culture oleh Abdul Mukhid. Yogyakarta: Bentang Budaya.
[1] Disampaikan dalam Progeni ke-8, KMM RIAK UIN Jakarta, 3 Desember 2008.
[2] Ketua KMM RIAK 1999-2000
[3] Kalau saja dokumentasinya masih ada, salah satu senior PSM UIN Jakarta, Iwan Buana Fr., pernah menulis masalah ini dengan sangat bagus, khusus buat anak KMM RIAK UIN Jakarta.
[4] Sama sekali tidak berarti sebaliknya bahwa jika industri musik dikuasai pemusik, maka tujuan artistik akan mengalahkan tujuan profit.
[5] Barangkali kita dapat meminjam kritik Adorno terhadap Musik Romantik, yaitu bahwa Musik Romantik disusun dengan suatu “cetakan mati”. Seperti itulah kiranya musik populer saat ini: disusun berdasarkan sebuah “cetakan mati”.
[6] Tentu lebih menarik jika ada ruang untuk menggabungkan batasan Adorno tentang musik popular dengan strukturalisme yang berkembang dari pemikiran linguistik de Saussure.
[7] Barangkali ini penting diketahui: “Anak RIAK seharusnya tahu banyak, atau setidaknya pernah dengar, perdebatan antara Adorno dan Benjamin tentang hilangnya aura dalam seni”.
Friday, February 29, 2008
Linguistik: Morfologi
Produktivitas
Makyun Subuki
27 Februari 2006
1. Pengertian dan Konsep Dasar
Aronoff dan Anshen (1998), dalam Spencer dan Zwicky (1998: 242-243), mendefinisikan produktifitas sebagai kesinambungan kemungkinan yang dapat memperkirakan penggunaan kata potensial (potential words). Haspelmath (2002: 39) dan Bauer (1988: 57) menghubungkan konsep produktif dengan pola morfologis (morphological patterns) yang dapat dipakai dalam pembentukan kata baru. Fromkin (2003: 88), yang berpendapat bahwa kaidah morfologi disebut produktif, jika kaidah-kaidah tersebut dapat digunakan secara bebas untuk membentuk kata-kata baru dari sederetan morfem bebas maupun morfem terikat. Fromkin (2003: 88) dan Katamba (1993: 66-67), yang berpendapat bahwa kaidah morfologi disebut produktif, jika kaidah tersebut dapat digunakan secara bebas untuk membentuk kata baru dari sederetan morfem bebas maupun morfem terikat. Semakin aplikatif suatu proses, maka semakin ia produktif, misalnya, dalam bahasa Inggris sufiks –able merupakan morfem yang dapat diimbuhkan pada verba apapun untuk membentuk ajektiva, dengan arti kurang lebih ‘able to be’ seperti pada accept+able, blam(e)+able, adapt+able, dan lain-lainnya. Produktifitas kaidah ini terbukti, dengan digunakannya afiksasi –able pada verba yang relatif baru seperti downloadable and faxable.
Konsep produktifitas di atas kemudian dihubungkan dengan berbagai konsep yang berbeda-beda oleh para linguis. Katamba (1993: 66) menghubungkan produktifitas dengan generalitas (generality). Berdasarkan hal ini, Katamba (1993: 67) dan Bauer (1988: 57) melihat produktifitas dalam dua tataran: pertama, menyangkut gradasi atau tingkatan, bukan dikotomi yang memisahkan antara yang produktif dan yang tidak produktif. Hal ini berkaitan dengan sebuah proses morfologis tertentu yang relatif lebih umum dibanding proses morfologis lainnya. Karena menurutnya, mungkin tidak ada satu proses pun yang dapat diaplikasikan ke semua bentuk dasar. Contoh, sufiks -ist pada bahasa Inggris yang dapat membentuk begitu banyak nomina yang salah satunya berarti ‘pemain,’ misalnya pada pianist dan guitarist, tidak dapat dipakai untuk menyebut pemain drum; sehingga yang terbentuk adalah drummer, dengan sufiks –er, bukan drummist; dan kedua, produktifitas tergantung pada dimensi waktu (synchronic notion). Suatu proses yang sangat lazim dalam kurun waktu tertentu bisa menjadi tidak lazim pada kurun waktu berikutnya. Misalnya, bentuk loadsa (kolokasi dari loads of) digunakan untuk bahasa informal di Inggris pada akhir tahun 1980-an, contohnya, loadsamoney. Pada tahun 1988, bentuk itu digunakan sebagai prefiks dalam pembentukan kata baru seperti loadsasermons, loadsaglasnost yang dimuat di harian yang terbit di London (Spiegel 1989: 230-1). Walaupun prefiks ini tetap eksis, dan ada upaya untuk mengembangkannya ke kata lain, namun menjelang tahun 1989 prefiks tersebut hanya dipakai pada segelintir kata dasar saja.
Berbeda dengan Katamba dan Bauer, Matthews (1991: 69) melihat produktifitas dari bentuk yang berubah-ubah. Atas dasar ini, ia melihat produktifitas dalam tiga tataran: pertama, secara keseluruhan, sebuah proses pembentukan (formation) bisa jadi merupakan proses yang paling produktif dibandingkan proses lainnya; kedua, dalam keadaan tertentu, sebuah proses lebih produktif dari proses lainnya; dan ketiga, dalam berbagai bentuk yang memiliki makna sama, yang lebih produktif bersaing dengan yang kurang produktif. Kemudian Matthews (1991: 69-70) memilah bentuk tersebut ke dalam bentuk yang produktif untuk menyebut bentuk yang masih sangat produktif, misalnya sufiks –able pada computable; tidak produktif untuk menyebut bentu yang sudah tidak digunakan lagi, misalnya bentuk –th pada growth. Aronoff dan Anshen (1998), dalam Spencer dan Zwicky (1998: 243) menyebut afiks jenis ini sebagai dead affixes atau completely unproductive affixes; dan semi produktif untuk jenis afiks idiosinkratik yang hanya dapat dilekatkan pada bentuk tertentu, misalnya sufiks –ant, yang diturunkan dari bahasa Latin sebagai bentuk akhiran present participle –antem/-entem --sehingga hanya dilekatkan pada kata dasar yang berasal dari bahasa Latin--, tidak konsisten ditinjau dari segi pemilihan kata dasar dan makna kata Contoh kata yang dapat diberi sufiks ini adalah: communicant, defendant, dan applicant (Matthews 1991: 70). Berdasarkan pemilahan ini, Matthews (1991: 76) kemudian mengategorikan leksem menjadi established lexemes dan potential lexemes. Established lexemes adalah bentuk yang secara aktual merupakan bagian dari kosakata pembicara, sedangkan potential lexemes adalah setiap kata yang mungkin terbentuk dari proses yang produktif. Demikian juga halnya dengan accountant. Namun, Katamba (1993: 72) secara teoritis tidak mengakui konsep semi-produktifitas, karena sukar untuk menentukan proses pembentukan kata yang dapat diklasifikasikan sebagai semi-produktif.
Berbeda dengan ketiga linguis di atas, Haspelmath (2002: 39) melihat produktifitas melalui pengamatan yang lebih luas pada kompleksitas bentuk morfologis dalam bahasa. Pertama-tama, ia menghubungkan produktifitas dengan actual word (usual word) dan possible word (potential word) (Haspelmath 2002: 39 dan 98). Actual word merupakan kata yang terdapat dalam kamus, sedangkan possible word merupakan kata yang mungkin saja terbentuk berdasarkan pola morfologis (Haspelmath 2002: 39). Ia menghubungkan pemilahan tersebut dengan apa yang disebutnya Morphological competences yang berkaitan dengan kemungkinan proses morfologis yang terdapat dalam sistem kebahasaan dan morphological performances yang berkaitan dengan penggunaan sistem tersebut dalam komunikasi dan tujuan lainnya (Haspelmath 2002: 98). Kedua, ia menghubungkan produktivitas dengan dua peran dalam proses morfologis, yaitu: pertama, creative role yang mengacu pada proses morfologis dalam pembentukan kata baru yang tidak terdapat dalam leksikon; dan kedua, descriptive role yang digunakan untuk menyebut proses morfologis dalam pembentukan kata baru yang terdapat dalam leksikon (Haspelmath 2002: 41).
Konsep yang sering dihubungkan dengan produktivitas adalah kretivitas (creativity) yang juga ditanggapi berbeda-beda. Matthews (1991: 75) mengaitkan kreatifitas dengan kreasi individual kata demi pemakaian individu, sedangkan Haspelmath (2002: 100) menekankan pada pembentukan kata baru yang secara sengaja mengikuti pola yang tidak produktif. Sebagian linguis, sebagaimana diungkapkan Haspelmath (2002: 100), membedakan antara produktivitas dan kreativitas berdasarkan kesengajaan dan kesadaran. Namun atas dasar itu, Haspelmath (2002: 100-101) menolak pembedaan antara kreativitas dan produktivitas. Secara metodologis, ia menolak konsep ketaksadaran dan ketaksengajaan (unconscious dan unintentional) dalam produktifitas, sedangkan secara empirik ia menganggap terlalu banyak cara untuk menghasilkan neologisms yang tidak dapat dikenali lagi namun tidak langsung teramati. Ia lebih senang menggunakan kreatifitas dalam kaitannya dengan penyalahgunaan bahasa biasa dalam puisi (poetic lisence), bahkan Katamba (1993: 72) mengungkapkan bahwa kedua istilah ini kadang dapat disamakan.
Berkenaan dengan hal tersebut, Haspelmath (2002: 102) membedakan kreativitas menjadi creation by rule dan creation by analogy, sedangkan Katamba (1993: 72) membedakannya menjadi rule-governed creativity dan rule-bending creativity. Creation by rule dan rule-governed creativity merupakan kreativitas dalam penciptaan bentuk melalui proses yang sesuai dengan pola morfologis yang ada (Haspelmath 2002: 102 dan Katamba 1993: 73), sedangkan creation by analogy dan rule-bending creativity merupakan kebalikan dari keduanya.
2. Faktor Penghalang Produktifitas
Terdapat beberapa faktor yang menghambat produktifitas (blocking, preemption, dan atau restriction), yaitu faktor fonologis, morfologis, semantis (Katamba 1993: 74), pragmatik, sintaksis, kata pinjaman, dan sinonimi (Haspelmath 2002: 104-109).
2.1 Faktor Fonologis
Bentuk yang kompleks tidak dapat dibentuk jika menimbulkan kesukaran secara fonetis (Haspelmath 2002: 104) Misalnya, sufiks –ly merupakan sufiks derivasi yang dapat diberikan pada adjektiva untuk membentuk adverbia, seperti kind menjadi kindly, fierce menjadi fiercely, dan serious menjadi seriously. Namun sufiks ini tidak dapat diimbuhkan pada kata silly menjadi sillily, friendly menjadi friendlily, miserly menjadi miserlily. Nampaknya sufiks –ly ini cenderung dihindari bila suatu adjektiva berakhiran –ly agar tidak ada pengulangan pengucapan li /-lili/. Sufiks –ly ini banyak digunakan pada ajektiva yang tidak berakhiran –ly. Kesukaran fonetis ini juga menghalangi produktifitas bentuk transfiks tertentu pada akar yang mengandung salah satu dari tiga harf ‘illah (w, y, dan a) dalam bahasa Arab, misalnya bentuk transfiks ya--a- pada waqa’a ‘telah terjadi/jatuh’ menjadi yaqa’u ‘sedang terjadi/jatuh’ yang berbeda dari bentuk yaftahu ‘ia membuka’ dari fataha ‘telah membuka’ (al-Mishry t.th.: 530).
2.2 Faktor Morfologis
Dalam bahasa tertentu, terdapat pola morfologis yang menuntut kebersesuaian dengan bentuk dasarnya. Misalnya, dalam bahasa Ibrani pola nomina yang menunjukkan perbuatan berbentuk (CiC(C)uC) hanya dapat diturunkan dari verba yang berpola (CiC(C)eC), maka kata seperti tixnut ‘pemrograman’ dan dibur ’pembicaraan’ hanya dapat diturunkan dari bentuk verba tixnet ‘memrogram’ dan diber ‘berbicara’ (Haspelmath 2002: 106). Bentuk seperti ini juga terdapat dalam bahasa Arab, bentuk transfiks ya-u- pada verba berkala kini hanya akan menghasilkan transfiks -u--u- verba imperatif, misalnya yaktubu ‘ia (seorang laki-laki) menulis’ hanya akan menghasilkan uktub ‘(kepada seorang laki-laki) tulislah!’ (al-Ghulayayn 1912: 210).
2.3 Faktor Semantis
Proses morfologis kadang tidak menjadi produktif jika dihadapkan pada persoalan semantik. Contoh, penggunaan prefiks –un pada kata unill, unsad, unpessimistic, undirty dirasakan janggal. Hal ini disebabkan karena prefiks negative –un biasanya diimbuhkan pada ajektiva positif yang bentuk aslinya telah mengandung arti dari bentuk yang diberi afiks negatif tersebut. Contohnya:
benar salah
unwell unill
unloved unhated
unhappy unsad
unclean undirty
2.4 Faktor Pragmatik
Faktor pragmatik berkaitan dengan kepentingan suatu bentuk tertentu untuk hadir secara well-formed, baik secara fonologis maupun secara semantik (Haspelmath 2002: 105). Pemberian sufiks –in sebagai pembeda antara bentuk feminin dan maskulin pada binatang kecil, seperti pada wurm ‘cacing jantan’ dari wurmin ‘cacing betina’ dalam bahasa Jerman tidaklah produktif, karena pembedaan seperti ini dalam bahasa Jerman tidak terlalu berguna.
2.5 Faktor Sinonimi
Hubungan sinonimi dapat juga menghalangi produktifitas bentuk tertentu, misalnya sufiks –er pada typer tidak dapat diterima karena ada bentuk typist dalam bahasa Inggris, begitu juga prefiks+transfiks ma—a- sebagai nomina penanda tempat pada masjad ‘tempat sujud’ dalam bahasa Arab tidak produktif karena bersinonim dengan masjid ‘tempat sujud.’
2.6 Faktor Sintaksis
Haspelmath (2002: 106) mengungkapkan bahwa pada bahasa tertentu kondisi sintaksis menuntut kondisi tertentu dari kata. Dalam bahasa Kiribatese, pembentukan verba kausatif dengan menambah prefiks ka- hanya dapat dibentuk dari verba intransitif, misalnya nako ‘pergi’ menjadi kanakoa ‘mengirim/mengusir.’
Daftar Acuan
Al-Ghulayayn, Mushthafa. 1912. Jami’ ad-Durus al-‘Arabiyah (jilid pertama). Beirut: al-Maktabah al’Ashriyah.
Al-Mishry, Muhammad Baha’ ad-Din Abdillah ibn ‘Aqil al-‘Uqayly al-Hamadany. t.th. Syarh ibn ‘Aqil (jilid kedua). Jakarta: Dinamika Berkah Utama.
Aronoff, Mark dan Frank Anshen. 1998. “Morphology and the Lexicon: Lexicalization and Productivity” Dalam Spencer, Andrew dan Arnold M. Zwicky (ed). 1998. The Handbook of Morphology. Malden: Blackwell Publisher Ltd.
Bauer, Laurie. 1988. Introducing Linguistic Morphology. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Haspelmath, Martin. 2002. Understanding Morphology. New York: Oxford University Press Inc.
Katamba, Francis. 1993. Morphology. London: The Macmillan Press Ltd.
Matthews, P.H.. 1991. Morphology (edisi kedua). New York: Cambridge University Press.
Teori Komunikasi
Komunikasi dalam Teori Interaksionisme Simbolis,
Strukturasi, dan Konvergensi
Makyun Subuki
15 November 2006
Dalam tradisi interaksional, komunikasi dan arti bersifat sosial, sehingga penjelasan kognitif merupakan penjelasan yang bersifat sekunder. Dalam pandangan mereka, seluruh konvensi sosial menjadi mapan, bertahan, dan berubah melalui interaksi sosial.
1. Interaksionisme Simbolis
Interaksionalisme simbolis merupakan perkembangan teori sosiologi yang menaruh perhatian pada hal komunikasi dan masyarakat, bahwa makna dan struktur sosial tercipta dan terpelihara dalam interaksi sosial. Barbara Ballis Lal mengungkap enam premis dasar yang melandasi pemikiran interaksionisme simbolis, yaitu (1) orang selalu membuat keputusan dan bertindak berdasarkan pemahaman subjektif terhadap situasi di mana mereka berada; (2) kehidupan sosial terdiri bukan atas struktur, melainkan proses interaksi yang secara konstan berubah; (3) bahasa merupakan bagian dari kehidupan sosial yang memegang peran penting dalam usaha pemahaman manusia atas pengalaman mereka; (4) dunia terdiri atas objek sosial yang dinamai dan diberi arti secara sosial; (5) tindakan manusia selalu didasarkan atas interpretasi; dan (6) seperti halnya objek sosial, objek individual juga didefinisikan melalui interaksi sosial.
Aliran interaksionalisme simbolis terbagi dalam dua aliran, yaitu aliran Chicago dan aliran Iowa yang perbedaan keduanya akan dijelaskan di bawah.
1.1 Aliran Chicago
Aliran ini dirintis oleh Goerge Herbert Mead yang kemudian dilanjutkan oleh Herbert Blumer. Blumer percaya bahwa untuk mempelajari manusia tidak bisa menggunakan cara yang sama dengan cara mempelajari benda-benda. Mempelajari manusia harus dapat berempati terhadap subjek penelitiannya, memasuki struktur pengalamannya, dan berusaha memahami nilai yang dipercaya setiap orang. Oleh karena itu, dalam karya Mead, sebagai pelopor teori ini, disebut tiga konsep pokok yang, menurut Mead, merupakan aspek penting dalam memahami proses tindakan sosial (social act), meliputi masyarakat (society), diri (self), dan pikiran (mind).
Masyarakat terdiri atas laku kerja sama (cooperative behaviour) seluruh anggotanya. Kerja sama sendiri, menurut Mead, berarti pembacaan atas tindakan (action) dan maksud tindakan (intention) orang lain serta cara meresponnya yang dilakukan dengan cara patut. Pembacaan dilakukan dengan interpretasi, yaitu percakapan internal, terhadap tindakan dan maksud tindakan individual yang dilakukan melalui significant symbols atau isyarat yang maknanya disepakati secara sosial. Tindakan sosial, sebagai bentuk kerja sama sosial, terdiri atas tiga bagian yang saling berhubungan, yaitu isyarat permulaan, respons, dan hasil atau makna tindakan bagi para peserta komunikasi. Sebuah tindakan bersama (joint action), misalnya pernikahan, selalu terdiri atas kesalingterkaitan (interlinkage) dari interaksi yang lebih kecil. Dengan demikian, dapat dikatakan masyarakat terdiri atas jaringan tindakan sosial yang maknanya ditentukan oleh tindakan dan respons individual dengan menggunakan simbol.
Konsep pokok lain dalam teori Mead adalah diri (self). Pemahaman konsep diri yang paling pokok dalam teori ini adalah dengan role taking, yaitu berasumsi dengan perspektif orang lain (others) dan melalui generalisasi "yang lain" (generalized other), yaitu sejumlah perspektif yang kita gunakan untuk menilai diri kita sendiri. Dalam hal ini, keberadaan orang-orang terdekat (significant others) sangat penting, karena reaksi mereka memberi kita pengaruh yang penting. Diri memiliki dua sisi, pertama, Aku (I), merupakan sisi diri kita yang impulsif (takterkendali), tidak tertata, tidak terarah, dan tidak dapat diprediksi; dan kedua, aku (me), yaitu yang kita sebut sebagai generalized other, terdiri atas sejumlah pola konsisten dan tertata yang dibagi bersama orang lain (others). Setiap tindakan berasal dari dorongan Aku yang kemudian dikendalikan oleh aku. Dengan kata lain, Aku menentukan daya tindakan, sedangkan aku menentukan tujuan dan sekaligus menjadi pembimbing.
Konsep ketiga yang disebut Mead adalah pikiran. Menurutnya, pikiran bukanlah sesuatu, melainkan sebuah proses: kemampuan untuk menggunakan simbol dalam merespon diri sendiri, sehingga berpikir menjadi mungkin. Dalam hal ini, objek hanya dapat dianggap sebagai objek melalui proses berpikir simbolis. Lebih jauh, Blumer membedakan tiga macam objek, yaitu objek fisik (sesuatu atau things), objek sosial (people atau orang), dan objek abstrak (ideas atau ide-ide). Setiap orang memperlakukan objeknya secara berbeda, sehingga, misalnya, seorang PSK dapat dianggap sebagai things ketimbang people.
1.2 Aliran Iowa
Berbeda dengan Blumer yang menolak pendekatan objektif dalam penelitian manusia, Manford Kuhn, salah satu tokoh aliran Iowa, berpendapat bahwa metode objektif lebih mungkin berhasil daripada metode ‘lembut’ yang digunakan oleh Blumer. Kuhn berusaha mengembangkan setidaknya dua langkah baru, yaitu pertama, membuat konsep tentang diri (self) menjadi lebih konkret; dan kedua, membuat usaha tersebut mungkin. Namun demikian, ia tetap melandaskan pemikirannya pada premis dasar teori Mead. Bagi Kuhn, penamaan objek adalah penting, karena menamakan sesuatu selalu membawa serta maknanya. Oleh karena itu, pertama, ia menekankan pentingnya bahasa dalam berpikir dan berkomunikasi. Seperti juga Blumer dan Mead, Kuhn juga menekankan pentingnya kedudukan objek dalam dunia manusia. Baginya, objek merupakan aspek dari realitas seseorang, baik berupa sesuatu (things), kualitas (quality), peristiwa (event), maupun situasi (state of affairs).
Konsep kedua yang dikemukakan Kuhn adalah tentang perencanaan tindakan (plan of action), yaitu pola tingkah laku seseorang terhadap objek tertentu. Karena perencanaan diarahkan oleh sikap (attitude), yaitu pernyataan verbal yang menunjukkan nilai tujuan tindakan, maka sikap, bagi Kuhn, dapat diukur.
Konsep ketiga yang dikemukakan Kuhn, serupa dengan konsep significant other yang dikemukakan oleh Mead, adalah orientational other. Konsep ini mengacu pada orang tertentu yang memberikan pengaruh terhadap kehidupan seseorang. Orang-orang ini biasanya merupakan (1) orang yang mempunyai komitmen emosional dan psikologis dengan individu tertentu; (2) seseorang yang mempengaruhi kerangka konseptual, kosa kata, dan kategori seorang lainnya; (3) seorang yang berbeda dari orang tersebut; dan (4) orang-orang yang keberadaannya menjaga kelangsungan konsep diri orang tertentu.
Konsep terakhir yang dikemukakan oleh Kuhn adalah diri (self). Bagi Kuhn, konsep diri menyangkut perencanaan tindakan individual terhadap diri, meliputi identitas, kepentingan dan hal yang tidak disukai, tujuan, ideologi, dan evaluasi diri.
Kuhn juga mengajukan konsep pengujian sikap diri melalui dua puluh pernyataan (twenty statements self-attitude test). Hasil dari tes ini dianalisis dengan banyak cara, dua di antaranya adalah dengan ordering variable dan locus variable. Ordering variable menyatakan kepentingan yang relatif menonjol yang dimiliki oleh individu, sedangkan locus variable menyatakan perluasan tendensi yang secara umum dilakukan individu dalam mengidentifikasi kolompok konsensual. Penilaian dari test tersebut adalah dengan meletakkan pernyataan-pernyataan tersebut dalam dua kategori, konsensual dan subkonsensual. Pernyataan dianggap konsensual jika ia mengandung identifikasi kelas atau golongan, sedangkan jika mengandung identifikasi yang mengarah ke kualitas tertentu maka ia merupakan pernyataan subkonsensual.
1.3 Perluasan Interaksionisme: Erving Goffman
Dengan menggunakan analogi permainan drama, Goffman berasumsi bahwa setiap orang selalu berusaha memberi makna bagi peristiwa yang ditemuinya sehari-hari. Hal ini berarti bahwa interpretasi terhadap situasi merupakan definisi situasi. Definisi ini dapat dipecah menjadi dua, pertama, strip atau rangkaian tindakan; dan kedua, frame atau pola penataan dasar yang digunakan dalam mendefinisikan strip. Analisis bingkai (frame) berarti mengkaji bagaimana pengalaman ditata dalam diri seseorang melalui kerangka kerja (framework), yaitu model yang digunakan seseorang dalam memahami pengalamannya. Kerangka kerja dapat berupa kerangka kerja alami (natural framework), yaitu peristiwa alam yang terjadi tidak berdasarkan arahan, dan kerangka kerja sosial (social framework), yaitu peristiwa yang terjadi berdasarkan arahan dan dapat dikendalikan. Lebih jauh, Goffman membedakan kerangka kerja dua macam jenis keranka kerja, yaitu, pertama, kerangka kerja primer (primary framework), yaitu unit penataan dasar, misalnya makan dan berpakaian; dan kedua, kerangka kerja sekunder (secondary framework), penggunaan penataan dasar pada kerangka kerja primer demi tujuan tertentu.
Dalam konteks analisis bingkai ini aktivitas komunikasi dilihat berdasarkan perjumpaan muka (face engagement/encounter) yang terjadi dalam interaksi antarorang yang dilakukan secara terfokus. Dalam hal ini, isyarat memegang peran penting dalam pemaknaan hubungan, sepenting kebutuhan terhadap definisi mutual terhadap situasi. Goffman percaya bahwa diri secara literer terbatasi oleh dramatisasi. Sebab, seperti halnya audiens yang menangkap karakter yang dibawakan aktor melalui peran tertentu dalam pementasan drama, dalam menjumpai orang lain kita selalu menghadirkan karakter tertentu. Adapun dalam mendefinisikan situasi, menurut Goffman, kita biasa melakukannya melalui dua bagian proses, yaitu (1) berusaha mendapatkan informasi tentang orang lain dalam situasi tersebut; dan (2) memberikan informasi tentang diri kita. Pertukaran ini biasanya terjadi secara tidak langsung melalui observasi tingkah laku orang lain dan menstrukturkan tingkah laku pribadi untuk mendatangkan impresi pada diri orang lain.
2. Teori Struktrasi
Gagasan yang terdapat dalam interaksionisme simbolis secara umum berkaitan dengan mikroproses, yaitu interaksi aktual antarorang hingga tingkat kemungkinan yang paling kecil, yang berpengaruh membentuk makrostruktur masyarakat. Namun gagasan tersebut tidak membahas kebalikannya, yaitu pengaruh makrostruktur terhadap mikroproses. Teori strukturasi, yang dikemukakan oleh Anthony Giddens, berusaha menjelaskan secara lebih lengkap hubungan mikro-makro tersebut. Dalam pandangan Giddens tindakan manusia merupakan proses produksi dan reproduksi beragam sistem sosial. Dengan kata lain, dalam komunikasi, para pesertanya bertindak strategis untuk mencapai tujuan mereka yang kemudian menghasilkan struktur yang berbalik mempengaruhi tindakan mereka selanjutnya. Sebab, meskipun kita bertindak dalam rangka melengkapi keinginan kita, pada saat yang sama, tindakan tersebut menghasilkan konsekuensi yang tidak diinginkan (unintended consequences) yang menjadikan sebuah struktur sosial mapan dan mempengaruhi tindakan kita selanjutnya. Oleh karena itu, Donald Ellis menyebutkan bahwa interaksi dan struktur sosial merupakan entitas teranyam (braided entity). Dalam praktek aktual, di mana lebih dari sebuah struktur bertemu, dapat terjadi dua hal, pertama, mediasi, struktur yang satu memperantarai hadirnya struktur lain; dan kedua, kontradiksi, struktur yang satu mengatasi struktur yang lainnya.
Dalam pandangan Giddens, strukturasi mengandung tiga dimensi, yaitu pemahaman (interpretation/understanding), moralitas atau arahan yang tepat, dan kekuasaan dalam bertindak. Interpretasi menyatakan cara memahami sesuatu, moralitas menyatakan cara bagaimana seharusnya sesuatu dilakukan, dan kekuasaan menyatakan cara mencapai suatu keinginan.
3. Proses Simbolis dalam Teori Konvergensi
3.1 Kenneth Burke
Untuk memahami komunikasi dalam pandangan Burke, kita harus mengetahui konsepnya tentang tindakan yang berarti juga mengerti beberapa ide sentral yang dikemukakannya, seperti simbol, bahasa, dan komunikasi.
Tindakan dipahami oleh Burke seperti ia dipahami dalam drama, bahwa tindakan (action) berbeda dengan gerakan (motion). Tindakan terdiri atas tingkah laku yang bertujuan dan bermakna, sedangkan gerakan tidak. Ia memandang manusia sebagai makhluk biologis dan neurologis yang berbeda dari makhluk lain karena tingkah laku penggunaan simbol (symbol-using), yaitu kemampuan bertindak. Bagi Burke, manusia menciptakan simbol (symbol-creating) untuk menamai sesuatu, menggunakan simbol (symbol-using) untuk berkomunikasi, dan mengabaikan simbol (symbol-misusing) yang tidak menguntungkan.
Adapun dalam hal bahasa, Burke memandang setiap kata selalu bersifat emosional dan tidak pernah netral. Maksudnya, setiap sikap, putusan, dan perasaan kita selalu terdapat dalam bahasa yang kita gunakan. Untuk memahami ini, kita perlu menilik konsep Burke tentang rasa bersalah (guilt), yaitu perasaan dan tekanan yang terdapat pada diri seseorang akibat penggunaan simbol, misalnya kegelisahan, benci diri sendiri (self-hatred), dan kebencian. Menurut Burke guilt diakibatkan oleh tiga hal, yaitu (1) negatif, rasa bersalah dalam hal ini dipandang sebagai akibat dari mengikuti peraturan yang bertentangan dengan aturan lain; (2) prinsip perfeksi, dalam hal ini rasa bersalah dihasilkan dari ketidaksesuaian antara yang ideal dengan kenyataan; dan (3) prinsip hirarkis, dalam hal ini rasa bersalah merupakan hasil dari persaingan dan perbedaan yang pada akhirnya membentuk sebuah hirarki. Seluruh tindakan dan komunikasi, menurut Burke, didasari oleh guilt, yaitu untuk mengusir rasa bersalah.
Lebih jauh, dalam menjelaskan komunikasi, Burke menggunakan beberapa istilah yang bersinonim, yaitu konsubstansialitas (consubstantiality), identifikasi (identification), persuasi (persuasion), komunikasi (communication), dan retorika (rethoric). Konsubstansialitas menyatakan makna substansi yang dibagi bersama antarindividu dalam masyarakat, sedangkan identifikasi, lawan dari pembedaan (division), menyatakan peningkatan pemahaman yang bermaksud persuasi dan atau komunikasi yang efektif. Burke selanjutnya membedakan tiga macam identifikasi, yaitu (1) identifikasi material, merupakan hasil dari abstraksi yang meliputi, misalnya, benda, kebutuhan, dan kepemilikan yang terwujud dalam hal, seperti memiliki mobil yang sama; (2) identifikasi idealistik, merupakan hasil dari abstraksi yang meliputi, misalnya, nilai, sikap, perasaan, dan ide yang terwujud dalam hal, seperti menjadi anggota organisasi yang sama; dan (3) identifikasi formal, merupakan hasil dari abstraksi yang berasal dari pemaknaan peristiwa yang menempatkan kelompok-kelompok tertentu dalam pihak tertentu. Lebih singkat, menurut Burke komunikasi lebih sukses jika identifikasi lebih besar dari divisi. Komunikasi yang sukses dapat dilakukan dengan strategi, dalam hal ini berarti retorika, yang memiliki jumlah hampir tak terbatas.
Meskipun tidak menyebut beragam strategi yang mungkin digunakan seseorang dalam sebuah peristiwa retoris, Burke menyediakan kerangka kerja analisis dasar untuk mengkaji tindakan yang disebutnya lima sisi dramatis (dramatistic pentad), meliputi tindakan (act), adegan (scene) atau situasi dan seting kejadian, pelaku (agent), fungsi pelaku (agency), dan tujuan (purpose).
3.2 Teori Konvergensi Simbolis
Teori konvergensi simbolis dikembangkan oleh Ernest Boemann, John Cragan, dan Donald Shield. Teori yang dikenal juga dengan sebutan analisis tema fantasi (fantasy-theme analysis) ini berkaitan dengan kegunaan narasi dalam komunikasi. Tema fantasi merupakan bagian dari drama atau cerita besar yang lebih rumit yang disebut visi retoris (rethorical vision), yang secara esensial berarti pandangan tentang bagaimana sesuatu terjadi atau akan terjadi. Visi retoris membentuk cara kita memahami realitas dalam wilayah yang tidak bisa kita alami langsung, melainkan melalui reproduksi simbolis. Sebuah tema fantasi, bahkan visi retoris yang lebih besar, biasanya terdiri atas karakter (characters), bangunan cerita (plot line), seting atau scene yang terdiri atas lokasi, properti, lingkungan sosiokultural, dan sumber yang melegitimasi cerita (sanctioning agent).
Dalam keseharian, visi retoris menjadi mapan melalui tema fantasi yang dimiliki bersama dan membuat kelompok tersebut lebih peka terhadap cara memandang sesuatu. Dengan kata lain, visi retoris menjaga kesadaran bersama (shared consciousness) komunitas tertentu, sebab ia memiliki struktur dalam yang memperlihatkan dan mempengaruhi cara kita memandang realitas. Meskipun demikian, visi retoris dapat berubah, berkembang, atau bertambah melalui komunikasi publik yang biasanya menawarkan sebuah visi baru melalui tiga macam analogi, yaitu (1) analogi kebenaran, berhubungan dengan bagaimana kita dapat hidup secara bermoral; (2) analogi sosial, berkaitan dengan bagaimana seharusnya kita berhubungan dengan orang lain; dan (3) analogi pragmatis, berkaitan dengan cara kita melakukan sesuatu.
4. Catatan Kritis
Kritik terhadap interaksionalisme simbolis mencakup empat hal. Pertama, karena terlalu sibuk dengan abstraksi yang spekulatif, interaksionalisme simbolis lebih tepat dianggap sebagai filsafat sosial daripada teori sosial. Kedua, karena alasan yang sama, interaksionalisme simbolis dianggap mengabaikan banyak variabel eksplanatoris. Ketiga, banyak konsep dalam interaksionalisme simbolis digunakan dengan batasan yang kurang jelas, misalnya diri, Aku, aku, dan peran. Keempat, teori ini dituduh gagal menghubungkan konsep makna dengan diri
Daftar Acuan
Littlejohn, Stephen W,. 2002. Theories of Human Communication (edisi ketujuh). Belmont: Thomson Learning. Hal. 144-162