Komunikasi dalam Teori Kritis
Terdapat tiga ciri yang menandai teori kritis, yaitu pertama, ilmuwan sosial kritis percaya bahwa memahami pengalaman hidup manusia yang nyata secara kontekstual adalah penting; kedua, pendekatan dalam teori kritis berusaha mengkaji kondisi sosial dan memperlihatkan sistem kuasa yang bersifat menindas. Dalam hal komunikasi, teori kritis berkaitan erat dengan bagaimana pesan dapat memperkuat penindasan; dan ketiga, teori kritis beranggapan bahwa teori tidak dapat dipisahkan dari praktiknya.
Teori kritis mempunyai bidang kajian dan aliran yang sangat luas, untuk keperluan pembahasan teori komunikasi kita perlu membatasinya. Dennis Mumby mengklasifikasikan teori kritis, dalam kaitannya dengan teori komunikasi, menjadi dua bagian besar, yaitu modern dan posmodern. Kedua bagian ini dapat dirinci menjadi empat bagian yang lebih spesifik, yaitu: pertama, discourse of representation, yaitu positivisme dalam pemikiran modern yang memisahkan secara jelas peneliti dari dunianya; kedua, discourse of understanding atau modernisme interpretif yang percaya bahwa hubungan antara dunia sebagai objek yang diketahui (known) dan subjek yang mengetahui (knower) bersifat saling mempengaruhi; ketiga, discourse of suspicion atau modernisme kritis yang berasal dari tradisi struktural yang mengkritisi struktur masyarakat yang menindas; dan keempat, discourse of vulnerability atau posmodernisme yang percaya bahwa terdapat beragam wacana dan ide yang saling bersaing untuk berkuasa. Dengan kata lain, mengenai perbedaan dua jenis teori kritis terakhir yang menjadi fokus pembahasan makalah ini, modernisme kritis masih bersifat teoritis dan struktural sedangkan posmodernisme bersifat antiteoritis dan post-struktural.
1. Pendekatan struktural
1.1 Marxisme
Kebanyakan teori kritis mersandar pada marxisme yang pada dasarnya merupakan buah pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels. Melalui ide base-superstructure, Marx percaya bahwa sistem produksi menjadi dasar (base) yang menentukan struktur sosial secara keseluruhan. Dalam pandangan marxisme klasik, sistem produksi yang menindas hanya dapat dimusnahkan dengan cara perjuangan kelas, yaitu dengan revolusi yang berakhir pada penghapusan hak kepemilikan. Pandangan yang biasa disebut “kritik terhadap politik ekonomi” (critique of political economy) ini bahkan percaya, melalui ide dialektika historis, bahwa struktur sosial akan berujung pada runtuhnya kapitalisme dan terwujudnya masyarakat tanpa kelas.
Berbeda dengan marxisme klasik yang percaya terhadap ide base-superstructure Marx, neo-marxisme percaya bahwa proses dan struktur sosial tidak ditentukan semata-mata oleh sistem ekonomi atau produksi, melainkan oleh banyak hal (overdetermined). Dapat dikatakan bahwa tujuan utama teori kritis adalah memperlihatkan kekuasaan yang menindas melalui analisis dialektis (dialectical analysis) yang secara strategis bertujuan memberi dasar perjuangan untuk menghadapi kekuasaan yang menindas. Dalam hal ini, neo-marxisme memandang komunikasi sebagai hal penting yang turut menentukan struktur sosial selain sistem produksi, yaitu bahwa pembebasan dapat diwujudkan melalui komunikasi yang mendudukkan partisipannya dalam posisi yang sama. Dengan kata lain, bahasa, sebagai alat komunikasi, memiliki peran penting.
Hal lain yang penting dalam marxisme adalah ideologi, yaitu sistem representasi atau kode pemaknaan yang mengarahkan seseorang dalam memahami dunianya. Dalam marxisme klasik, ideologi didefinisikan sebagai seperangkat ide palsu yang digunakan oleh kekuatan politik yang dominan. Oleh karena itu, dalam pandangan marxisme klasik, pengetahuan bertugas mengungkapkan kesadaran palsu (false consciousnes) ideologi. Dalam pandangan neo-marxisme, ideologi dominan tidaklah tunggal, melainkan bahwa ideologi dominan yang terdapat dalam masyarakat dicapai melalui persaingan antarideologi yang terdapat dalam masyarakat tersebut. Bahkan para pemikir saat ini percaya bahwa ideologi bukan sistem tertutup dan bahwa ideologi tertanam dalam bahasa dan seluruh proses sosial dan budaya.
Dalam pandangan Louis Althusser, seorang marxis asal Prancis, ideologi dibentuk oleh superstruktur, yaitu sistem organisasi masyarakat, yang kemudian balik mempengaruhi kesadaran masyarakat dan cara pandang subjektifnya terhadap dunia. Menurutnya, superstruktur mencakup dua hal, yaitu aparat represif negara (repressive state apparatus), misalnya polisi dan militer, dan aparat ideologis negara (ideological state apparatus), misalnya pendidikan, agama, dan media massa. Mekanisme represif bertugas menjaga ideologi dari tindakan menyerang orang-orang yang menyimpang dan mekanisme ideologis bertugas mereproduksi ideologi dalam kehidupan sehari-hari sehingga tampak normal.
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa kebanyakan teori dalam marxisme berusaha melihat masyarakat sebagai tempat pertarungan kepentingan melalui dominasi sebuah ideologi atas ideologi lainnya. Proses ini disebut Antonio Gramsci, seorang marxis asal Italia, hegemoni. Mumby menginterpretasi hegemoni sebagai pragmatis, interaktif, dan proses dialektis dari penegasan dan penolakan.
1.2 Mazhab Frankfurt dan Universal Pragmatics
Teori kritis sangat identik dengan Mazhab Frankfurt (Frankfurt School), sehingga ungkapan Teori Kritis (Critical Theory) kadang dengan sendirinya bermakna Mazhab Frankfurt. Mazhab Frankfurt didirikan oleh Theodor W Adorno, Marx Horkheimer, Herbert Marcuse, dan beberapa orang lainnya dari Franfurt Institute for Social Research pada 1923. Pemikiran Mazhab Frankfurt generasi awal, meskipun dipengaruhi oleh pemikiran Marx, banyak bereaksi keras terhadap pemikiran marxisme klasik dan kesuksesan revolusi di Rusia. Ketika Partai Nasionalis Sosialis berkuasa pada tahun 1930-an, kebanyakan anggota Mazhab Frankfurt, karena beragama Yahudi, hijrah ke Amerika. Migrasi ini mempengaruhi pemikiran mereka selanjutnya yang melihat peran komunikasi dan media massa dalam struktur penindasan masyarakat kapitalistis.
Salah satu tokoh Mazhab Frankfurt generasi kedua yang sangat terkenal adalah Jurgen Habermas. Menurut Habermas, masyarakat terdiri atas tiga unsur, yaitu pertama, pekerjaan (work), Pekerjaan mencakup segala usaha untuk menciptakan sumberdaya material yang bertujuan untuk mencapai tujuan nyata dan memenuhi kebutuhan konkret. Dalam pekerjaan, karena kepentingan teknisnya (technical interest), dibutuhkan ilmu empiris-analitis dengan rasio yang bersifat instrumental (instrumental rationality): kedua, interaksi (interaction), yaitu penggunaan bahasa dan sistem simbol lain dalam komunikasi. Dalam komunikasi, karena kepentingan praktisnya (practical interest), dibutuhkan rasio praktis (practical rationality) dan ilmu yang bersifat historis-hermeneutis; dan ketiga, kuasa (power). Ketreraturan sosial pada dasarnya selalu membentuk sebuah sistem distribusi kuasa. Oleh karena itu, setiap manusia harus bebas dari dominasi kuasa tertentu, sebab kuasa mengarah pada komunikasi yang terdistorsi. Dengan demikian dapat pahami bahwa kuasa memiliki kepentingan emansipatoris (emancipatory interest), membutuhkan ilmu yang bersifat kritis (critical theory), dan membutuhkan rasio yang reflektif (self-reflection).
Habermas berpendapat bahwa komunikasi memiliki peran penting dalam emansipasi. Dalam hal ini ia menyebut istilah kompetensi komunikasi (communicative competence), mencakup pengetahuan tentang cara wicara yang patut dalam menggapai tujuan. Selanjutnya, melalui konsep universal pragmatics yang mencakup prinsip universal dalam penggunaan bahasa, ia menyebut tiga macam fungsi dalam tindak tutur (speech-act), yaitu pertama, konstatif (constative) atau asertif, yaitu tindak-tutur berkaitan dengan nilai benar-salah ujaran yang dilandasi oleh syarat kebenaran; kedua, regulatif (regulative), yaitu tindak-tutur yang bertujuan mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lainnya atau kelompok tertentu dan dilandasi oleh syarat kepatutan (appropriateness); dan ketiga, avowals, yaitu tindak tutur yang bertujuan menggambarkan kondisi internal diri penutur dan disyaratkan oleh ketulusan (sincerity) kejujuran (truthfulness).
Selain itu, Habermas juga menyebut wacana (discourse), yaitu bentuk komunikasi yang di dalamnya pernyataan penutur diuji kebenarannya melalui argumen sistematis. Lebih jauh ia membedakan tiga macam wacana, yaitu: pertama, merupakan tingkat wacana terendah, wacana teoritis (theoritical discourse), berkaitan dengan fakta-fakta yang mendukung kebenaran suatu pernyataan; kedua, wacana praktis (practical discourse), berkaitan dengan norma, yaitu tentang kepatutan dalam negoisasi; dan ketiga, merupakan tingkat wacana tertinggi yang terbagi menjadi dua secara bertingkat, yaitu (1) wacana metateoretis (metatheritical discourse), memper-masalahkan fakta atau norma yang patut bagi situasi tertentu; dan (2) wacana metaetis (metaethical discourse), mempermasalahkan pengetahuan sebagai pengetahuan, yaitu mempermasalahkan prosedur yang digunakan dalam menggeneralisasi sebuah pengetahuan yang berlaku dalam masyarakat.
Lebih jauh, Habermas berpendapat tentang situasi wicara ideal (ideal speech situation), yaitu situasi kebebasan berbicara yang mendukung terwujudnya komunikasi noemal yang produktif yang memungkinkan berlakunya level tertinggi wacana. Situasi ini, menurut Habermas, bergantung pada tiga hal, yaitu pertama, kebebasan bicara tanpa halangan; kedua, kesamaan hak untuk bicara; dan ketiga, distribusi kuasa secara merata dalam setiap strata masyarakat. Habermas percaya bahwa kita hidup senantiasa dalam kehidupan yang tidak lagi dipertanyatakan yang di dalamnya bisa saja terjadi kolonisasi sistem atas individu.
2. Tradisi Post-struksturalisme
2.1 Cultural Studies
Kajian ini berawal dari penelitian Richard Hoggart dan Raymond Williams tentang masyarakat kelas pekerja Inggris setelah PD II. Studi budaya ini merupakan bagian dari usaha perjuangan budaya pendukung sosialisme yang berusaha merubah kebudayaan masyarakat Barat. Ilmuwan dalam bidang ini percaya bahwa perubahan tersebut dapat tercapai melalui dua hal, yaitu pertama, dengan mengidentifikasi kontradiksi dalam masyarakat dan menjadikannya sarana perlawanan bagi penindasan, perubahan positif dapat terjadi; dan kedua, untuk kepentingan perubahan pertama, dibutuhkan kerangka interpretasi yang baik dalam upaya memahami dominasi dan bentuk perubahan yang diinginkan. Oleh karena itu, kajian terhadap komunikasa sangat penting dalam kajian budaya ini, sebab media dalam hal ini dianggap sebagai alat ampuh bagi ideologi yang dominan.
Istilah budaya yang dimaksud dalam kajian ini mencakup dua pengertian, yaitu pertama, cara-cara kolektif yang digunakan masyarakat dalam memahami pengalaman mereka; dan kedua, praktik keseharian konkret dari apa yang mereka pahami tentang pengalaman mereka. Pemahaman bersama ini berasal dari berbagai macam pengaruh yang secara bersama-sama membentuk realitas umum yang tampak nyata yang prosesnya dapat disebut artikulasi (articulation). Teoritisi kajian budaya umumnya percaya bahwa masyarakat kapitalistis didominasi oleh ideologi kaum elit.
Seperti halnya marxisme, kajian budaya juga melihat hubungan antara infrastruktur (base), yaitu sistem ekonomi yang melandasi sebuah masyarakat, dan superstrukturnya, yaitu institusi sosial. Namun, berbeda dengan marxisme klasik yang melihat sistem produksi sebagai sebab yang menentukan superstrukturnya, teoritisi kajian budaya melihat hubungan keduanya bersifat interdependen. Komunikasi, terutama yang dilakukan melalui media massa, dipandang sangat berpengaruh dalam penyebaran budaya popular. Lebih tepatnya, penafsiran terhadap media selalu berkaitan dengan kontrol ideologis dalam, seperti yang dinyatakan oleh Ronald Lembo dan Kenneth Tucker, sebuah arena kompetitif tempat berbagai kekuatan dan kepentingan budaya bertarung. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tujuan utama kajian budaya adalah memperlihatkan cara sebuah ideologi dominan mereproduksi budaya secara terus-menerus dan cara menangkalnya, sehingga tidak mengacaukan sistem kuasa dan tidak merugikan kelompok tertentu.
2.2 Michel Foucault
Foucault beranggapan bahwa setiap periode sejarah memiliki episteme atau formasi diskursif, yaitu struktur konseptual atau worldview yang menentukan cara ilmu pengetahuan dijalankan. Episteme ini tidak ditentukan secara aktif oleh manusia, melainkan oleh struktur diskursif dominan yang terdapat dalam praktik keseharian atau dalam pengekspresian ide yang tidak dapat begitu saja dipisahkan dari penggunanya. Dengan kata lain, berbeda dengan anggapan umum, bagi Foucault bukan manusia yang menentukan sistem diskursif, melainkan sebaliknya. Dengan demikian, wacana bagi Foucault tidak berurusan dengan siapa penggunanya, sebab bahasalah yang menentukan manusia dan bukan sebaliknya. Maksudnya, kita melihat wacana cenderung berdasarkan kuasa, pengetahuan, dan etika tertentu yang dinyatakannya daripada berdasarkan fakta bahwa ia adalah alat seorang tertentu.
Untuk dapat memahami episteme ini, Foucault menggunakan arkeologi, yaitu sebuah usaha deskriptif terhadap cara wacana menyatakan aturan dan strukturnya. Dalam arkeologi yang penting bukan memperlihatkan koherensi dan kesinambungan antarwacana yang berlaku dari satu periode ke periode lainnya, melainkan memperlihatkan kontradiksi dan ketaksinambungan antarwacana. Melalui arkeologi ini, Foucault mengaitkan antara pengetahuan dan kuasa, sebab episteme, seperti terekspresikan melalui wacana, selalu berkaitan dengan kuasa disipliner (disciplinary power) atau preskripsi terhadap standar tingkah laku yang benar.
3. Feminisme
Feminisme berdasar pada asumsi bahwa gender merupakan konstruksi sosial yang didominasi oleh pemahaman yang bias laki-laki dan menindas perempuan. Feminisme secara umum menantang asumsi dasar masyarakat dan mencari alternatif pemahaman yang lebih membebaskan, yaitu pemahaman yang meletakkan wanita dan pria dalam posisi yang seimbang.
Feminisme secara garis besar dapat diklasifikasi menjadi dua golongan, yaitu feminisme liberal dan feminisme radikal. Feminisme liberal merupakan dasar pergerakan perempuan pada tahun 1960-an hingga 1970-an yang didasarkan atas paham demokrasi liberal, yaitu bahwa keadilan mencakup juga jaminan terhadap kesamaan hak bagi semua individu. Feminisme liberal berkaitan terutama dengan citra publik dan hak asasi perempuan. Berbeda dengan Feminisme liberal, feminisme radikal melihat persoalan ridak sebatas pada hak yang bersifat publik. Lebih jauh lagi, mereka mempersoalkan dasar struktur masyarakat yang menurut mereka patriarkis. Oleh karena itu, jika feminisme liberal beranggapan bahwa masalah gender dapat diatasi dengan distribusi hak secara adil, maka bagi feminisme radikal hal ini tidak menyelesaikan persoalan.
Sonja Foss, Karen Foss, dan Robert Trapp mengemukakan tahap perjuangan feminisme yang mirip dengan pembedaan antara feminisme liberal dan feminisme radikal, yaitu inclusion stage dan revisionist stage. Tahap inklusi berkaitan dengan pengakuan publik dan kontribusi aktif perempuan secara sosial, sedangkan tahap revisionis berkaitan dengan penbongkaran seluruh definisi yang digunakan dalam komunikasi masyarakat yang bersifat patriarkis.
Gerakan feminisme sangat terkait dengan komunikasi. Untuk kepentingan ini, dalam tulisan ini akan dikemukakan dua hal yang berkaitan dengan feminisme dan komunikasi, yaitu bahasa dan kuasa dan Retorika invitasional.
3.1 Bahasa dan Kuasa
Hubungan antara kuasa dan bahasa dalam feminisme dieksplorasi oleh Julia Fenelope. Menurut Fenelope, seperti halnya para fenomenolog, bahasa membentuk cara seseorang memahami pengalaman dan masyarakatnya. Oleh klarena itu, bahasa dipandangnya sebagai instrumen penindasan. Usaha ini dikembangkan lebih jauh oleh Cheris Kramarae dan Edwin Ardener, seorang antropolog, melalui muted-group theory. Menurut mereka para antropolog cenderung mengkaji budaya berdasarkan peran laki-laki di dalamnya. Menurut Ardener, secara aktual, dalam hal pemaknaan kelompok, bahasa dalam kebudayaan secara inheren bias laki-laki. Oleh karena itu, suara perempuan ditekan dan hal ini berakibat pada ketidakmampuan perempuan untuk mengekspresikan diri sebaik laki-laki.
Kramarae mengembangkan lebih jauh pendapat Ardener dalam hal perempuan dan komunikasi. Menurut Kramarae laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman yang berbeda dalam masyarakat, maka mereka mempersepsi dunia secara berbeda. Ia melanjutkan bahwa, karena perempuan sering dibungkam secara verbal, maka perempuan berekspresi secara nonverbal lebih banyak daripada laki-laki. Dalam percakapan, sebagai contoh, laki-laki cenderung mengontrolnya atas perempuan, misalnya dengan dominasi, interupsi dan respon yang minimal terhadap perempuan. Lebih jauh, dalam hal teknologi, Kramarae beranggapan bahwa teknologi berdampak buruk bagi hubungan gender dalam masyarakat. Akhirnya, Kramarae berpendapat bahwa kuasa atas perempuan terlihat jel;as dalam kekerasan atas perempuan, baik secara fisik, melalui komunikasi, melalui teknologi, dan dalam kekerasan seksual.
Untuk mengatasi dominsi patriarkis tersebut, Kramarae menyebut tiga cara, yaitu pertama, mengkaji dan memahami lebih baik dominasi linguistik laki-laki; kedua, mengkaji cara perempuan berkomunikasi dan alternatif lainnya yang menjunjung persamaan; dan ketiga, menciptakan cara komunikasi yang lebih baik dan menggunakannya.
3.2 Retorika Invitasional
Retorika invitasional, yang dikembangkan oleh Sonja Foss, mengajukan definisi retorika yang berbeda dengan yang kita kenal, yaitu dengan menggesenya dari persuasi atau mempengaruhi ke ajakan (invitation). Menurut Foss retorika sangat dikuasai oleh nilai patriarkis yang mengarah pada perubahan nilai, dominasi, dan kompetisi. Ia lebih jauh mengajukan retorika yang didasarkan atas pandangan feminisme, mencakup kesamaan (equality), nilai imanen (immanent value), dan determinasi diri (self determination). Ekualitas berkaitan dengan kesamaan derajat nilai perspektif, hubungan gender, dan penolakan terhadap dominasi. Nilai imanen berkaitan dengan pegghargaan terhadap nilai dan harga bagi seluruh kehidupan. Determinasi diri berkaitan dengan hak setiap individu untuk memutuskan apa yang ingin mereka lakukan.
Untuk mencapai bentuk komunikasi seperti ini, Sonja Foss dan Cindy Griffin mengajukan konsep offering perspective, yaitu bahwa daripada bertindak sebagai superior, setiap komunikator sepatutnya bertindak semata-mata sebagai pemulai yang bertujuan menawarkan sebuah cara pandang. Senada dengan Foss dan Griffin, Sally Miller Gearhart mengajukan konsep re-sourcement, yaitu strategi yang berguna untuk menekan konflik ketika banyak orang menggunakan kekuasaannya. Strategi offering ini mengandaikan tiga kondisi eksternal, yaitu pertama, merasa aman (safety), dalam arti bebas dari serangan; kedua, penilaian (value), dalam arti butuh penilaian dan didengarkan; dan ketiga, kebebasan (freedom). Menurut Gearhart retorika yang berdasarkan atas merubah orang lain (change the other) merupakan kekerasan, karena dengan sendirinya mengandaikan superioritas. Oleh karena itu, ia lebih jauh mengajukan retorika yang berdasarkan enfold the other, yaitu bersifat terbuka pada orang lain. Ia lebih jauh menyebut enam komponen enfoldment, yaitu (1) pengakuan (acknowledgement); (2) penggalian asas bersama; (3) kepemilikan bersama terhadap perspektif secara mutual; (4) keinginan terhadap hasil atau terbuka terhadap perubahan; (5) penyaksian (witnessing) atau penghormatan; dan (6) menanyakan kesediaan untuk berbagi.
4. Komentar dan Kritik
Keberatan atas tradisi kritis dalam komunikasi dialamatkan setidaknya pada tiga hal. Pertama, meskipun secara baik dapat menjelaskan peranan media yang harus bersifat egaliter, teoritisi kritis gagal menyediakan pedoman yang memadai untuk terlaksananya hal tersebut. Kedua, tradisi kritis mempunyai kecenderungan penghancuran diri sendiri (self-defeating) dan terjebak dalam utopianisme. Bahkan dengan mengabaikan kenyataan bahwa pembangunan demokrasi juga membutuhkan media, teori kritis, pada titik ekstrim, dapat digologkan sebagai antidemokrasi. Ketiga, banyak peneliti menyesalkan teori kritis yang mengabaikan beritu saja penelitian sosial lain, dalam arti bahwa penelitian dalam teori kritis kurang didukung oleh data yang, menurut peneliti tradisional, dapat dipertanggungjawabkan.
Acuan
Littlejohn, Stephen W,. 2002. Theories of Human Communication (edisi ketujuh). Belmont: Thomson Learning. Hal. 117-139